Siapa sangka, pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi saat ini justru semakin membuat sekat sosial makin terbuka lebar. Tak lain karena banyak masyarakat yang berhasil berkolaborasi dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang. Namun bagi masyarakat yang tidak mampu berkolaborasi, justru realitas tersebut menjadi area rentan marginalisasi sosial.
Utamanya karena faktor keterbatasan ekonomi dan kemampuan mengakses ruang teknologi secara memadai. Terlebih dalam upaya aksesibilitas teknologi, harus ada materi (finansial) yang besar demi pemenuhannya. Baik dalam kehidupan sehari-hari, atau dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang mengharuskan setiap individu terkoneksi dengan teknologi.
Inilah wujud ketimpangan sosial yang marak terjadi belakangan ini. Tak hanya dalam gaya hidup, pun dengan perilaku sosial yang juga larut dalam mekanisme statis teknologi. Walau wujud nyatanya secara faktual hanya terjadi di wilayah yang kurang dalam status ekonomi. Serta kurangnya daya serap pengetahuan masyarakat dalam proyeksi modernisasi.
Ini dapat menjadi telaah kritis bagaimana perkembangan realitas sosial saat ini, yang termanifestasi dalam bentuk budaya flexing. Kalau tidak modis, tentu akan dianggap kuno. Kalau tidak keren, tentu akan dianggap tidak peka zaman. Fakta modernisasi yang sudah mulai mengakar dalam bentuk kebiasaan hidup sehari-hari manusia Indonesia.
Sebenarnya realitas ini telah menjadi area kritik bagi Jurgen Habermas, namun lambatnya pola kesadaran terhadap humanisasilah yang seakan menjadi penghalang bagi terbangunnya kepedulian sosial. Semakin kesini, kok malah semakin kesana. Inilah abstraksi yang dapat disajikan dalam konteks modernisasi kontemporer.
Individualistik seolah menjadi tujuan hidup yang membuat segalanya menjadi mudah. Konteksnya tak lain demi kepentingan pribadi yang sarat akan muatan pragmatisnya. Terlebih dalam kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan kemajuan ekonomi bagi setiap individu di era modern ini. Bahkan, hal ini terjadi hampir di setiap negara berkembang, yang minim akses transaksional.
Dapat dikatakan minim akses transaksional, tentunya dalam upaya membangun perekonomian bangsanya. Demi dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lainnya. Dalam hal ini, kita tidak hanya melihat dalam konteks Indonesia semata. Terlebih kala dunia tengah dihadapkan dengan era artificial intelligence (kecerdasan buatan).
Maka, era dimana moderniasi teknologi seperti yang marak dibicarakan, tidak akan mampu menembus sekat para penduduk desa yang bersahaja. Naik turunnya jumlah penduduk miskin pada setiap negara, khususnya Indonesia, secara langsung menjadi faktor utama bagi terhambatnya laju modernisasi.
Jika kita dapat pinjam istilah Fukuyama, terkait End of History and The Last Man, kiranya ini menjadi titik balik dari neo kapitalisme berbasis teknologi. Perspektif modernisasi dalam konsep teknologi pun telah menjadi area kritik bagi Herbert Marcuse. Lantaran memiliki sikap yang tidak netral dalam orientasi humanis, karena dapat "membunuh" nalar pembebasan.
Bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan finansial, akan tereliminasi secara alamiah dalam laju modernisasi teknologi. Khususnya bagi masyarakat tradisional, yang rentan persoalan ekonomi. Eksploitasi identitas budaya dalam pendekatan modernisasi inilah yang lambat laun dapat menyingkirkan eksistensi kearifan lokal.