Diskursus mengenai deforestasi memang tampak mengerikan jika kita tidak melihatnya dari orientasi masa depan. Bukan sekedar upaya pemenuhan ekonomi daerah/pemerintah, dengan membuka ruang terbuka untuk eksplorasi hutan-hutan lindung di Indonesia. Melainkan bentuk kebijakan khusus yang mengatur secara rinci bagaimana orientasi eksplorasi harus disertai wawasan lingkungan.
Apalagi jika orientasi eksplorasi kemudian memasuki ke tahap eksploitasi, yang kerap menjadikan area hutan menjadi wilayah yang harus dihilangkan. Terlebih jika berkaitan dengan tujuan pertambangan, yang harus mengeruk hasil tambang dari dalam tanah. Termasuk dengan laju perkembangan penduduk, yang juga menjadi faktor berkurangnya jumlah hutan, dengan tujuan pembangunan.
Belum lagi dalam orientasi pembukaan lahan garap atau perkebunan yang selalu menjadikan hutan sebagai area eksplorasinya. Ini kiranya yang dapat menjadi catatan penting bagi kita semua. Khususnya Indonesia, yang konon didaulat sebagai salah satu negara paru-paru dunia. Apalagi jika bukan karena area hutan hujan tropis yang luas, yang harus dilindungi dari kerusakan alamnya.
Namun apakah Indonesia akan dapat mempertahankan predikatnya sebagai negara paru-paru dunia? Terlebih selama kurun waktu 10 tahun belakangan telah terjadi penurunan jumlah area hutan lindung yang ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, hingga Papua. Kita dapat perhatikan dari analisis data yang telah dihimpun dari berbagai sumber.
Walau secara statistik tren deforestasi mengalami penurunan sejak tahun 2016, ini kiranya dapat dipahami sebagai bentuk kerusakan area hutan yang terjadi sebelumnya. Bahkan dalam kategori mengkhawatirkan dengan angka kerusakan sebesar 1.092.181 hektar pada tahun 2015-2016. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, mengalami penurunan hingga sekitar 75 persen.
Artinya bahwa, hutan tidak dapat dibangun kembali secara cepat. Selain mengurangi unsur alaminya, juga ada kerusakan ekosistem yang tak dapat diperbaharui ketika proses perusakan terjadi sebelumnya. Bahkan secara konsisten dari tahun 2017-2019, kerusakan hutan yang tercatat sebanyak 480.000 hektar hingga 462.460 hektar setiap tahunnya.
Angka-angka tersebut bukanlah diasumsikan sebagai upaya peremajaan atau membangun kembali area hutan yang rusak. Melainkan karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dapat dikatakan semakin protektif dalam upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Walau tren deforestasi tetap tampak hingga tahun 2020, dengan kisaran 115.460 hektar hutan yang rusak.
Semua tentu kembali kepada orientasi investasi dalam sektor pertambangan, ataupun pembukaan lahan garap (sawit). Dua hal inilah yang menjadi polemik dalam pencapaian ekonomi atau mempertahankan lingkungan. Secara lambat laun persoalan ini tentu dapat membuat area hutan lindung semakin sempit setiap tahunnya, walau dikatakan menurun.
Bukan sekedar di kawasan yang telah disebutkan sebelumnya, bahkan di Jawa yang menjadi sentra perekonomian bangsa, mengalami hal yang serupa. Misal di Jawa Barat sendiri, yang memang memiliki kawasan hutan lindung penopang DKI Jakarta. Sejak tahun 2018 ada tren perusakan hutan dikarenakan akibat pembukaan lahan garap, perladangan liar, dan pemukiman liar.