Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Budaya Flexing di Antara Kemelaratan Sosial

9 Juni 2023   05:30 Diperbarui: 9 Juni 2023   05:54 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ketimpangan sosial (sumber: kompas.com/Priyombodo)

Walau telah ada himbauan terhadap pejabat publik untuk mengurangi kebiasaan flexing di media sosial, kiranya persoalan ini dapat kembali mengemuka untuk diulas. Publik yang masih terhenyak dengan kasus Rafael Alun, ataupun Kadinkes Lampung, ternyata masih banyak menemukan realitas hedonis dari para oknum petugas atau pejabat publik.

Misalnya adalah masih banyak diantara para pejabat yang gemar menunjukkann gaya hidup mewahnya di media sosial. Dimana media sosial merupakan area umum yang dapat diakses semua masyarakat, baik kalangan atas, menengah, ataupun bawah. Khusus bagi masyarakat yang kurang mampu dalam konteks ekonomi. Persoalan flexing kerap menjadi area konflik batin yang tak terungkap.

Maka tidak heran, jika kemudian persoalan kesenjangan sosial menjadi hal yang biasa terjadi. Dalam hal ini tentu saja akan membuat sekat yang semakin mendekreditkan masyarakat kelas bawah dalam perilaku sosial. Seperti yang diungkap oleh Abad Badruzaman, dalam Teologi Menuju Aksi: Membela Yang Lemah, Menggempur Kesenjangan (2009).

Hal tersebut dapat terjadi akibat ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga menampakkan bentuk perbedaan yang mencolok. Terlebih jika status si kaya memiliki jabatan dan memiliki kuasa lebih tinggi daripada si miskin, yang menyebabkan sisi semu anti sosial membuat komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.

Apalagi jika statusnya adalah pejabat publik, akan ada rasa segan untuk dapat berinteraksi guna mendapatkan hak-haknya sebagai rakyat yang harus diayomi. Bukankah ungkapan pengayom masyarakat adalah doktrin utama bagi setiap aparatur negara ataupun pegawai negeri sipil?

Walau secara statistik kemiskinan dapat dikatakan turun, tapi perkara kesenjangan sosial memberikan fakta bahwa sebaliknya. Hak kuasa atas kebijakan publik kelak tidak akan berjalan dengan baik, jikalau kebiasaan flexing justru jadi ajang unjuk status sosial. Terlebih lagi jika kebiasaan tersebut juga ditampakkan dalam keseharian bekerja melayani masyarakat.

Misal, seorang petugas publik yang melayani urusan masyarakat kerap bergaya glamour, bahkan di ruang publik, tentu masyarakat akan segan untuk mendapatkan akses pelayanan publik. Nah, dalam hal ini biasanya yang akan muncul adalah masalah sosial. Dimana hak memperoleh pelayanan menjadi tidak berjalan dengan baik karena status sosial memberi sekat yang tidak humanis.

Bahkan Gillin dan Gillin menjelaskannya dalam area budaya yang tidak sesuai seperti yang menjadi ciri khas pada suatu masyarakat. Jika mayoritas rakayt Indonesia yang kental akan adat dan budaya dihadapkan dengan gaya modernis yang negatif, secara tidak sadar akan memproteksi diri untuk terlibat ataupun bersentuhan dengan anomali kebiasaan tersebut.

Walau kemudian secara sadar akan membangun komunikasi yang terbatas, karena kebutuhan terhadap haknya sebagai warga negara. Dalam pendekatan psikologi ini kiranya dikenal dengan istilah personal space. Katz juga menjelaskan lebih jauh mengenai personal space yang secara sadar dilakukan guna mengurangi interaksi yang berlebihan, karena berkaitan dengan subjektifitas individual.

Jadi secara tidak sadar (reflek) dan secara sadar (subjketif) pembatasan inilah yang kelak berkembang menjadi sebuah masalah sosial. Apalagi jika terkait dengan kondisi ekonomi dan status sosial antar individu. Rasa enggan dan malas seakan menjadi hal yang lumrah terjadi, karena budaya flexing kerap ditampilkan dalam locus area ataupun media publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun