Ini berita memang harus diviralkan. Bukan karena latar belakangnya, melainkan dampak sosial yang terjadi akibat sikap Pemkot Jambi yang dirasa tidak tepat kepada masyarakatnya. Seketika ingat akan pesan Widji Thukul, jika kritik dilarang, maka hanya ada satu kata, lawan! Apalagi terhadap seorang siswi SMP yang tengah mengutarakan protesnya kepada Pemerintah. Terkait kerusakan jalan yang diakibatkan dari eksploitasi alam di kampungnya.
Keputusan eksploitasi alam mungkin dapat ditinjau ulang, ketika memberikan dampal buruk terhadap masyarakat. Tak terkecuali warga yang berada di sekitar area industri tersebut. Dijelaskan bahwa seorang siswi SMP melayangkan protes terhadap Pemkot Jambi lantaran jalan desanya dan sumur air neneknya rusak akibat kendaraan berat yang melaju di sekitar rumahnya.
Namun, bukan justru ditanggapi, malah dikriminalisasi karena berani melakukan protes melalui media sosialnya. Jerat UU ITE terkait pencemaran nama baik pun melayang, dan membuat dirinya sebagai terdakwa. Terlebih aduan pencemaran nama baik kepada Pemkot dikeluarkan oleh Kabag Humas Pemkot, yang juga memiliki jabatan sebagai Jaksa Pengadilan Negeri Jambi. Alhasil berita mengenai siswi SMP ini pun viral, apalagi nenek yang dibelanya merupakan seorang veteran.
Bahkan influencer/buzzer pun gencar menyerang akun media sosial siswi SMP tersebut. Disertai narasi yang melecehkan derajatnya sebagai perempuan. Parahnya para buzzer yang melakukan persekusi via media justru didukung oleh Pemkot Jambi. Ini bukanlah hal yang lumrah dalam negara demokrasi. Dimana kritik justru dilarang, demi stabilitas Pemerintah.
Sudah barang tentu, sikap siswi SMP yang berani memberi kritik positif, banyak menuai dukungan oleh netizen. Apalagi ia hanya meminta pertanggungjawaban atas kerusakan jalan dan sumur neneknya. Sebenarnya jika regulasi pemerintahan berjalan baik, tentu tidak ada masalah. Apalagi ada dana CSR dari perusahaan yang dapat direalisasikan untuk kepentingan masyarakat sekitarnya.
Belum usai Lampung, kini kita lihat Jambi. Sebagai bentuk pemerintahan yang diberi label anti kritik oleh warganet. Terlebih ada pejabat publik yang rangkap jabatan, dalam bidang eksekutif dan yudikatif. Ini tentu menuai persepsi negatif bagi publik.
Sebenarnya memang tepat apa kata Rocky Gerung. Bahwa tidak perlu jadi intelektual jika tak berani menyuarakan keadilan. Karena dari seorang anak SMP justru kita belajar arti dari memperjuangkan hak demokrasi rakyat.
Bukan sekedar tegas menuntut kewajiban sebagai warga negara. Namun hak-hak sebagai warga negara justru tidak dapat terpenuhi. Anomali demokrasi yang hanya dapat dibawa kepermukaan oleh orang-orang yang berani. Tak terkecuali oleh seorang siswi SMP. Sebenarnya hal ini luar biasa terjadi, nalar kritis dan keberanian telah terpadu jadi kekuatan besar dalam menuntut keadilan. Dimana justru dari kalangan intelektual kini harus berpikir ratusan kali, ketika hendak melakukan kritik.
Jadi tidak serta merta melayangkan kritik, dimana proses perjuangan menuntut hak telah dilakukan oleh siswi SMP tersebut selama beberapa waktu. Namun tidak ada respon positif dari pihak Pemkot. Nah, ketika telah dipolisikan, dan viral, justru Mahfud MD selaku Menkopolhukam turun tangan. Tentunya atas dukungan warganet yang turut serta meneruskan perjuangan adik dari Jambi ini hingga ke Mahfud MD.
Tak lain karena simpati atas apa yang diperjuangkannya, walaupun berbagai narasi mendeskreditkannya sebagai pihak yang salah. Kiranya hukum tidak dapat dimaknai sebagai langkah utama dalam menyelesaikan problematika sosial seperti ini.