Apa yang dapat dikatakan, jika ribuan mbok jamu harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)? Inilah aturan yang termuat secara valid dalam RUU Kesehatan usulan Kemenkes kepada DPR. Bukan sembarang STR, pendapatan sehari-hari saja dapat dikatakan tidak menentu. Apalagi pasca Covid-19 usai, dimana masyarakat sudah mulai terbiasa dengan perilaku hidup new normal.
Jika acuannya adalah masa pandemi, tentu tidak fair jika kebijakan kepemilikan STR harus diterapkan secara luas. Khususnya kepada tukang jamu tradisional, yang sejatinya telah mengkantongi rekomendasi BPOM. Tentu dalam konteks pemasaran secara langsung, melalui obat-obat alami yang diracik secara mandiri, dan bukan untuk dipasarkan dalam skala besar dan komersil.
Melainkan sekedar menjajakan obat tradisional, yang memiliki rasa khasnya sebagai bagian dari budaya Indonesia. Inilah mengapa, perihal RUU Kes yang membahas mengenai aturan STR bagi para pelaku usaha kesehatan, dirasa bias makna. Walau pada RUU Kes, Pasal 1 Poin 18 telah dijelaskan bahwa jamu adalah obat tradisional Indonesia yang teruji secara empirik.
Namun hal itu justru bertentangan, jika melihat Pasal 456, yang menjelaskan perihal pidana bagi orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan melakukan tindakan kefarmasian. Walaupun pada Pasal 147, dijelaskan bahwa hal tersebut tidak mencakup bagi usaha jamu gendong.
Walau memiliki area yang berbeda dengan praktik kefarmasian profesional, apakah dapat menjadi acuan (delik) ketika praktik jamu gendong juga tertuntut untuk memiliki STR. Apalagi pada Pasal 338 secara jelas tertulis, bahwa jamu terdiri atas jamu empiris, jamu terstandar, dan jamu fitofarmaka. Secara legal formal tentunya pemakaian bahan alam, harus melalui mekanisme yang juga diatur.
Redaksi bahan alam inilah yang kemudian juga menimbulkan bias persepsi. Kembali merujuk pada Pasal 1 Poin 13, yang menyebutkan bahwa sediaan bahan farmasi salah satunya adalah obat berbahan alam. Sedangkan jamu, rata-rata berasal dari bahan-bahan alam yang dipakai untuk membuat racikan obat tradisional.
Inilah mengapa, seolah ada upaya untuk memformalkan profesi tukang jamu gendong di kemudian hari. Baik secara bertahap atau secara kolektif, demi pemenuhan syarat usaha edar obat tradisional. Terlebih dalam aturan tindak pidana pada RUU Kes, sama sekali tidak menyebutkan posisi tukang jamu gendong, sebagai bagian dari tradisi Indonesia yang memiliki aturannya sendiri.
Artinya bahwa, tukang jamu gendong sudah menjadi bagian dari industri kefarmasian tradisional yang bersifat komersil. Dengan aturan yang telah ditentukan sesuai dengan mekanisme perundang-undangan pada RUU Kes tersebut. Upaya sertifikasi sebenarnya pernah dilakukan oleh BPOM di Jogjakarta pada tahun 2020 silam. Sebanyak 3o penjual jamu gendong disertifikasi secara kolektif.
Apalagi jika berkaitan dengan praktik kefarmasian, dimana realitasnya para pegiat jamu gendong juga memberi dampak positif bagi masyarakat. Dalam hal ini tentu saja akan memberi ruang terbuka dalam unsur tindak pidana. Jika jamu tradisional dapat dikatakan juga berkaitan dengan nyawa manusia, maka akan memberi ruang hukum yang terbuka bagi para tukang jamu gendong.
Secara hukum posisi mereka juga tidak dijelaskan dalam RUU Kes, layaknya petugas atau tenaga kesehatan lainnya. Nyaris tidak ada satupun pasal yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi tukang jamu gendong. Sama halnya ketika persinggungan ekonomi kerap terjadi pada locus sosial berskala kecil di masyarakat. Baik dalam persaingan dagang, hingga faktor pergesekan sosial.