Beberapa waktu belakangan memang tampak sebuah fenomena mega korupsi terungkap dengan melibatkan beberapa lembaga Pemerintahan. Jikalau ini adalah bentuk dari upaya penyelewengan dana, maka tak lain adalah politisasi dari setiap kasus yang diungkap atau terungkap.
Apalagi jelang putaran Pemilu di tahun depan, mayoritas publik tentu menilai bahwa terangkatnya persoalan ini kepermukaan ada kaitannya dengan orientasi politis yang dibangun. Terlebih jika bersinggungan dengan partai-partai politik yang tengah bertarung untuk menjaga citra baiknya dihadapan publik.
Spekulasi politik yang bertebaran akhirnya membuat publik bertanya atas apa yang tengah terjadi. Pun dengan persoalan kebangsaan yang luput dari perhatian pengambil kebijakan. Perihal persoalan infrastruktur di berbagai daerah yang secara faktual tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Kesenjangan sosial yang terjadi akibat maraknya aksi flexing yang dilakukan oleh oknum pejabat publik beserta keluarganya. Selain dari previlege yang dimiliki sehingga semakin memberi sekat antar manusia dengan manusia. Banyak kiranya promblematika sosial yang terjadi sebagai sebab akibat dari problem perpolitikan saat ini.
Bukan lagi soal siapa oknum pejabat yang terlibat, melainkan budaya yang justru diperangi kala Reformasi diperjuangkan. Kiranya hal ini adalah bukti, bagaimana cita-cita Reformasi telah bergeser dari apa yang sepatutnya dijaga. Maka tidak heran, jika banyak animo publik mempertanyakan dimana dan bagaimana peran para tokoh bangsa kini, kala Reformasi terjadi.
Disorientasi dalam berbangsa dan bernegara, ataupun sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban. Hingga muncul pula ke permukaan perihal jalan umum yang diserobot pemilik modal usaha. Ini secara ringkas bentuk nyata dari penyalahgunaan hak yang sekiranya telah diatur oleh Undang-Undang.
Serupa dengan kasus yang tengah ramai diperbincangkan, menyoal Graha Cempaka Mas. Dimana telah membuat citra Polisi semakin dipertaruhkan dalam mengemban amanahnya sebagai petugas hukum. Inilah abstraksi yang dapat dirangkum dalam konteks rasuah yang marak belakangan ini. Terlebih jika soal penegakan hukum "dibilang" berlarut-larut.
Bukan secara tendensi mendeskreditkan sebuah lembaga atau proses hukum, melainkan kewajiban menjalankan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bernegara. Sebagai refleksi dari problematika kebangsaan yang tampak dihadapan masyarakat. Terlebih dengan berbagai polemik di berbagai daerah, perihal land reform. Konflik panjang yang tak berkesudahan dengan pelibatan segala aparatur negara.
25 tahun Reformasi, kiranya menjadi hal yang sia-sia. Dalam tujuan dan harapan yang sedianya menjadi cita-cita perubahan bangsa kala itu. Kita tidak menyoalkan bagaimana perihal bergesernya arah juang Reformasi kini, melainkan bagaimana sikap dan tindakan kita selaku warga negara dapat menjaga ruang-ruang hak agar dapat terus terbuka.
Hak menyuarakan pendapat, sebagai bentuk koreksi atau kritik bagi kebijakan yang dirasa tidak tepat. Bukan justru diintimidasi atau dibatasi ketika menyuarakan pendapat. Seperti kasus Bima, ataupun kasus lainnya, yang mungkin luput dari perhatian publik. Walau kiranya netizen memiliki kekuatan sendiri dalam upaya menjaga opini.