Siapa yang tidak menginginkan sosok pemimpin yang hebat dan berwibawa bagi bangsa Indonesia. Sebuah catatan dari refleksi kisah sejarah bangsa yang besar karena rasa bangga terhadap tanah airnya. Layaknya Soekarno, seorang tokoh paripurna dari seorang negarawan yang menjadi panutan para punggawa negeri hingga kini.
Tak lain karena proses perjalanan terbentuknya sebuah bangsa dilakoninya, hingga rakyat Indonesia mendaulatnya sebagai Presiden pertama bersama Moh. Hatta. Kiranya hal ini adalah final, yang tidak patut untuk diperdebatkan. Walau pada perjalanannya, beliau dihadapkan dengan persoalan kebangsaan yang membuat dirinya harus turun jabatan.
Pun demikian dengan Soeharto, yang kala itu dianggap sebagai tokoh paripurna dalam memimpin sebuah negara. Tidak tanggung-tanggung, selama 32 tahun lamanya, beliau menjabat sebagai Kepala Negara. Walau banyak polemik yang melatarbelakanginya. Namun kehadirannya tetap saja telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan bangsa.
Kiranya demikian, dengan para Kepala Negara yang hadir pasca Reformasi 1998. Semua memiliki tingkat paripurnanya masing-masing dalam mengejawantahkan arti dari seorang negarawan yang sanggup membawa perubahan bagi bangsa. Tidak luput karena pemahaman dan kebijakan yang memang mempunyai arah dan tujuan masing-masing dalam memajukan bangsa.
Walau banyak kekurangan yang kita pahami, namun itu adalah sebagai fitrah dari seorang manusia. Sejatinya tugas dan tanggung jawab dalam bernegara adalah hal yang tidak dapat ditawar. Maka, kecakapan seorang pemimpin akan teruji disini. Tidak hanya sebagai seorang negarawan, melainkan pula mengerti konsepsi dari sebuah negara dan karakter bernegara.
Suatu hal yang kontra produktif, jika seorang pemimpin tidak memiliki kecakapan atau tujuan dalam membangun bangsa. Terlebih ketika pengamalannya dalam merealisasikan konsep bernegara dengan perjuangan bersama. Demikian yang patut dipahami dalam konsensus mayor bagi setiap warga yang ada dalam sebuah negara, nation state, yang artinya sudah final kala Indonesia merdeka.
Keterikatan dengan tujuan negara tentu tidak dapat dipisahkan dari para pemimpin bangsanya. Dengan kesadaran membangun atas tujuan demokratisasi sosial bagi kepentingan seluruh rakyatnya. Atau dapat dikatakan sebagai welfare state, yang mengedepankan hak atas kesejahteraan bagi rakyatnya. Tentunya melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya kala memimpin negara.
Walaupun Indonesia dikatakan masih dalam kapasitas minimal, dan kerap disesuaikan dengan realitas politik didalamnya. Kiranya hal ini dapat tetap menjadi tonggak bersama guna tercapainya sebuah negara yang berkeadilan sosial. Bukan serta merta hanya diamanatkan kepada pemimpinnya, melainkan seluruh warga negara, dan khususnya bagi para politisinya.
Merujuk apa yang telah diungkapkan oleh Thomas Aquinas, keadilan sosial ini dapat diproyeksikan menjadi perolehan bagi setiap orang untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional. Inilah yang kiranya menjadi salah satu dasar dari upaya mendapatkan hak dan kewajiban dalam konteks keadilan sosial.
Secara konstitusional hal ini sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tepatnya pada Pasal 27, 28, 31, 33 dan 34. Dimana kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama dalam pemerintahan. Semua dapat dikatakan harus diorientasikan demi kebutuhan rakyat, yang dapat termanifestasikan melalui berbagai kebijakan politik yang dibuat oleh para pemimpin dan wakil rakyat.