Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Membungkam Demokrasi Melalui Teori Konspirasi

20 Mei 2023   06:00 Diperbarui: 20 Mei 2023   06:17 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembungkaman hak berpendapat (sumber: ceritakansaja.com)

Sejatinya demokrasi adalah vox populi vox dei, mementingkan suara yang berasal dari rakyat, dengan anggapan bahwa suara tersebut adalah suara Tuhan. Kiranya demikian yang menjadi jargon perjuangan demokrasi di era kekinian. Apalagi jika berkenaan dengan suara netizen, yang seolah telah mewakili atas apa yang menjadi kehendak publik.

Walau banyak pro dan kontra yang berkaitan dengan kepentingan suatu kelompok, namun faktanya, suara lantang di media sosial kerap menjadi penentu arah dan kebijakan negara. Ini suatu realitas di zaman digital, dimana semuanya daapt diatur melalui pengerahan massa dunia maya. Bukan sekedar membuat opini, melainkan hingga membuat counter opini kepada siapapun juga.

Apalagi jika bersinggungan dengan kekuasaan atau yang setidaknya memiliki relasi kuasa atas kepentingan. Maka tidak heran jika banyak animo publik yang secara kritis menyikapi hal ini dengan istilah "polisi internet". Suatu gerakan masif yang dilakukan oleh kelompok tertentu, guna meraih keuntungan dari kepentingannya sendiri.

Kita tentu saja merujuk pada aturan yang berlaku pada UU ITE. Ini kaitannya tentu saja perihal kebebasan berpendapat, yang menjadi ujung tombak demokrasi, sebagai balancing of public policy. Banyak yang dapat dijadikan referensi perihal kebebasan berpendapat. Rujukannya tentu saja Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E, Ayat 3.

Namun, kiranya hal tersebut tidak mudah dilakukan kini, dengan realitas yang terjadi melalui fenomena buzzer di berbagai media sosial. Bukan sekedar mematikan hak berpendapat. Secara garis besar, keberadaan mereka (buzzer) seakan dimobilisasi oleh satu kepentingan atas dasar relasi kuasa.

Jika saat ini money politic dianggap sebagai musuh besar demokrasi, maka dapat diperluas paradigmanya dalam membangun persepsi publik melalui kehadiran buzzer. Secara pragmatis, buzzer memang memiliki andil jika berkaitan dengan konsep ekonomis. Banyak influencer yang bergerak sebagai buzzer dalam sektor jual beli atau pemasaran produk.

Namun, jika para buzzer bergerak dalam orientasi yang dapat mempengaruhi opini publik, hal ini merupakan pertanda dari ancaman terhadap demokrasi. Opini publik yang berangkat atas dasar kepentingan umum, kiranya dapat diposisikan semacam "lawan" bagi kelompok tertentu. Khususnya bagi mereka yang mempunyai kepentingan di lingkar area pemegang kebijakan publik yang politis.

Topik inilah yang diungkap oleh Marshment, dalam penelitian yang dilakukan oleh Sudha Menon mengenai Political Marketing: A Conceptual Framework (2008). Demokratisasi yang berangkat dari tujuan "pemasaran" politik menempatkan target dukungan massa untuk mempertahankan kekuatannya. Khususnya terhadap buzzer politik, yang fokus kepada brand politis berorientasi opini publik.

Apapun akan dilakukan guna mempengaruhi pandangan publik, terlebih jika sebuah opini berkembang dari lawan politisnya. Melalui berbagai kanal media sosial yang sejatinya adalah ruang untuk memberi kritik atau koreksi positif. Ada sebuah value yang digunakan untuk mengerahkan para buzzer ini, dimana kini lebih familiar dengan istilah buzzerRp.

Orientasi pemasaran produk yang bernilai ekonomis yang dilakukan secara individu atau kelompok, seperti ungkap Kotler dan Keler, berubah fungsi menjadi pemasaran produk politis. Dalam titik inilah demokrasi dapat kiranya terancam oleh kehadiran mereka, yang konspiratif dalam memainkan opini publik secara pragmatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun