Ketidakhadiran Partai Nasdem pada pertemuan Ketua Partai pendukung Pemerintah oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, seolah menyiratkan jawaban terhadap peta politik yang terjadi pra Pemilu nanti. Koalisi partai-partai pendukung Pemerintah seakan berupaya memberi gambaran solidaritas politik yang dibangun dalam menentukan pilihan pada bursa capres tahun depan.
Realitas politik dan keterlibatan Pemerintah ini seketika memberi berbagai macam pandangan politik yang beragam. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengomentari pertemuan ini justru membuat Pemilu nanti tidak akan berjalan demokratis. Enam Ketua Umum Partai, dari PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, PAN, dan PPP, kiranya membahas peta politik yang tengah menjadi wacana bangsa.
Namun, ketidakhadiran Partai Nasdem, sebagai salah satu partai yang selama dua periode mendukung Pemerintahan Jokowi, menimbulkan pertanyaan besar. Apakah hal ini terjadi sebagai bentuk konsekuensi politik Nasdem ketika mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capresnya? Ataukah Partai Nasdem dianggap telah membentuk koalisi sendiri, hingga dianggap oposisi?
Kalaupun alasannya adalah demikian, kiranya tidaklah bijak dirasa. Karena selain dari Nasdem, telah ada beberapa partai lain yang mengusung capresnya masing-masing. Seperti Ganjar Pranowo dari PDIP, Prabowo Subianto dari Gerindra ataupun Airlangga Hartarto dari Golkar. Walaupun dua nama terakhir belum secara resmi mendeklarasikan diri.
Kiranya ini adalah manuver penting yang diambil oleh PDIP dalam melihat peluang dan peta politik. Ganjar Pranowo yang digadang-gadang maju sebagai capres, tentu memberi abstraksi final bagaimana PDIP tengah berupaya memainkan strategi politiknya. Lain itu, diantara seluruh Ketua Partai yang diundang, mengisyaratkan bahwa ada agenda besar yang tengah dibangun oleh Pemerintah.
Hal inilah yang membuat Surya Paloh kecewa. Kalaupun agenda besar yang tengah diupayakan oleh Pemerintah berorientasi untuk kepentingan dan kebijakan Negara. Mengapa Partai Nasdem justru tidak diundang untuk hadir? Sebagai salah satu partai yang berada di barisan Pemerintah, dengan sumbangsihnya selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi.
Lantas, bagaimana peluang Anies Baswedan dalam menghadapi "koalisi besar" yang tengah ramai jadi perbincangan publik? Apakah Pemilu sudah usai sebelum waktunya? Jika dibandingkan dengan koalisi lain yang berada di luar partai-partai besar tersebut. Melalui "drama" politik ini, Surya Paloh mungkin insyaf atau "galau". Walaupun dari PKS dan Partai Demokrat berada dibarisannya.
Menurut survey yang dilakukan Litbang Kompas; PDIP, Gerindra, dan Golkar masih menjadi tiga besar sebagai partai yang dominan. Sedangkan Nasdem, PKS, dan Demokrat menjadi partai menengah, sesuai yang dikemukakan oleh LSI. Jadi, seandainya jika tiga partai menengah ini menghadapi tiga partai besar diatasnya, tentu kita sudah mengetahui bagaimana hasil akhirnya.
Namun, apakah proyeksi tersebut dapat dikatakan sebagai final election? Belum tentu. Karena penentunya tetap pada para pemilih nanti. Tinggal bagaimana para capres dan partai pengusungnya melakukan kampanye secara positif, agar dapat hasil yang positif pula dari para pemilihnya. Ini kiranya harapan kita semua, Pemilu berjalan baik dan lancar, tanpa ada persoalan yang menyertainya.
Semua calon yang diusung mempunyai peluangnya masing-masing, tinggal bagaimana persepsi publik dalam menilai sosok yang maju sebagai kandidat populis. Jangan sampai ada tendensi negatif atas kebijakan Presiden ketika berupaya mengkonsolidasikan partai pendukung Pemerintah, yang pastinya diwarnai dengan persepsi politis.