Kisah ini mungkin luput dari perhatian para pemangku kebijakan, khususnya dalam hak-hak yang berkaitan dengan guru. Hak guru bukan semata-mata terpusat pada gaji, melainkan perlindungan hukum yang memadai. Terlebih ketika melakukan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Ada banyak aspek yang dapat dilihat secara menyeluruh, jika hendak bicara fakta pendidikan kini.
Walau kita tahu bahwa ada UU (Guru dan Dosen) yang melindungi secara profesi tugas seorang guru kala melakukan pembelajaran di dalam kelas. Namun faktanya, hingga kini masih saja banyak guru yang dikriminalisasi karena berbagai unsur miss persepsi atau kesalahpahaman antara wali murid dan peraturan sekolah.
Faktor lain yang berkenaan dengan pola dan perilaku siswa justru tidak diperhatikan, ketika sebuah kasus pelanggaran kode etik guru telah mencuat hingga meja pengadilan. Satu sisi, realita di era modern yang digitalistik saat ini kiranya sama-sama kita pahami, akan terjadinya pergeseran budaya di kalangan remaja.
Jikalau seorang guru dituntut secara profesionalitas dalam mendidik siswa, sudah sebaiknya ada kolaborasi yang terjalin dengan baik pula dengan orang tua. Jadi, segala perilaku anak tidak diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Belum lagi pergaulan yang tidak dapat selalu diperhatikan ketika di luar sekolah. Maka, akan banyak tampil unsur edukasi yang bersifat pribadi dalam kasus ini.
Kepribadian seorang anak akan menjadi orientasi pendidikan ketika di sekolah. Sedangkan karakter yang menjadi dasarnya, kerap dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Seperti pada sebuah penelitian, dengan porsentase psikologis yang besar, 61 berbanding 39. Mood belajar peserta didik dapat dianalisis melalui lingkungan keluarga, dan memiliki pengaruh besar pada motivasi belajarnya.
Lantas bagaimana sebaiknya pendekatan profesional guru ketika menghadapi siswa yang tengah dalam kondisi "tidak baik" motivasi belajarnya? Jika melakukan pendekatan yang holistik, tentu menjadi tugas khusus dari guru bimbingan konseling. Namun, bimbingan itu dapat dijadikan rujukan penyelesaian persoalan yang dihadapi oleh siswa secara utuh.
Selebihnya kembali kepada peran orang tua, bagaimana pemahaman terhadap perilaku anak dapat diselaraskan dengan orientasi belajarnya. Jangan sampai masa depan anak dalam mengenyam pendidikan justru terhambat ketika menghadapi persoalan keluarga. Ada skala prioritas yang patut dipahami, pendidikan tentunya no.1, karena ini menyangkut masa depan.
Kembali ke persoalan hukum yang dihadapi guru. Kiranya kisah guru Sularno dari Musi Rawas, Sumatera Selatan, dapat menjadi bahan refleksi bersama. Khususnya bagi para legislator dalam membuat kebijakan. Juga dengan pihak yang berkaitan dengan hukum, agar dapat ditengahi melalui pendekatan restorative justice.
Jika upaya alternatif tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan, tentunya ada pendekatan lain yang dapat dilakukan. Seperti melalui putusan onslag van rechtsvervolging, yang merupakan kebijakan hukum berdasar pendekatan realitas. Walau terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran, namum oleh hakim dianggap tidak memenuhi unsur pidana.
Nah unsur pidana inilah yang dapat dipahami secara luas. Dalam hal ini pelibatan berbagai unsur pendamping hukum sekiranya dapat diupayakan, agar dapat diselesaikan dengan bijak. Seperti pelibatan organisasi guru atau lembaga yang bergerak pada perlindungan anak, sebelum memberikan suatu keputusan hukum yang final.