Satu hari sejak AWS. Mallaby diketahui tewas dalam insiden di sekitar Jembatan Merah, Letjen Christison secara tegas mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata. Tanggal 31 Oktober 1945, adalah momentum pengerahan kekuatan Sekutu secara besar di Surabaya. Armada Sekutu di Semarang pun ditarik, untuk merapat ke pelabuhan Tanjung Perak.
Keputusan sepihak Sekutu untuk menuntut penyerahan diri para pejuang tidak ditanggapi oleh Biro Perjuangan Surabaya. Insiden tewasnya Mallaby dilaporkan sebagai sebuah kecelakaan selama masa bersiap oleh pihak Indonesia. Gencatan senjata yang diupayakan oleh Presiden Soekarno pun menemui jalan buntu. Sedianya perang besar akan berkobar secepatnya.
Lantaran Presiden Soekarno sudah bertolak kembali ke Jakarta, maka kepemimpinan Pemerintah Indonesia di Surabaya diserahkan kepada Gubernur Surjo dan Residen Soedirman. Upaya kedua pemimpin tersebut untuk melakukan kontak dengan Sekutu, ditolak, dengan tetap menuntut penyerahan senjata dari para pejuang Republik.
Mayjen RC. Mansergh langsung mengerahkan sekitar 24.000 tentara Inggris dan Gurkha untuk bergerak ke pusat kota Surabaya. Komando Angkatan Laut Inggris dibawah Admiral WR. Patterson dengan beberapa kapal perangnya sudah siap dalam posisi menembak di sekitar pelabuhan. Begitupula dengan Letjen Christison, yang mengerahkan armada pesawat tempur, bomber, hingga tank kelas berat, Sherman.
Jadi, sejak tanggal 1 hingga 5 November 1945, pasukan Sekutu yang didominasi oleh Inggris telah mempersiapkan aksi bombadermen terhadap seluruh kota Surabaya. Ultimatum dan ancaman kepada para pemimpin Indonesia di Surabaya sudah mencapai batasnya di tanggal 7 November. Aksi pendudukan area utara Surabaya secara masif telah dilakukan dengan aksi kekerasan oleh pihak Sekutu.
Sedangkan pihak Republik melakukan aksi pertahanan di sekitar pusat kota hingga wilayah selatan Surabaya. Area selatan sengaja menjadi pintu utama untuk suplay pasukan cadangan yang hadir dari luar Surabaya. Berikut dengan kesatuan PMI dan dapur umum. Bisa dibayangkan, betapa mencekamnya Surabaya kala itu.
Kekuatan infantri pasukan Inggris membentang di sepanjang area pelabuhan. Dibelakangnya ada tank Sherman, Stuart, hingga bren carriers lengkap dengan resimen artileri kelas berat yang diarahkan ke pusat kota. Pesawat tempur type Thunderbolt dan bomber Mosquito pun disiagakan. Berikut dengan 2 kapal kelas frigate, 1 kapal kelas cruisser, dan 3 kapal kelas destroyer.
Sedangkan di pihak pejuang Republik pun langsung memberikan reaksi. Tentara reguler TKR dan BKR serta Polisi Istimewa pun bersiap menghadapi lawan mereka. Beserta puluhan milisi, seperti Tentara Pelajar, Tentara Geni Pelajar, Pasukan Sriwijaya, Pemuda Republik Indonesia, Pasukan Buruh Laut, Sawunggaling, Laskar Minyak, Hizbullah, Sadeli Bandung, Jibakutai, dan tentu saja BPRI.
Para pemimpin perjuangan Republik ada Bung Tomo, Drg. Moestopo, Soengkono, M. Mangudiprojo, hingga M. Jasin. Dengan jumlah sekitar 20.000 tentara regulernya, beserta kurang lebih 150.000 pasukan milisi. Pasukan Republik pun mengerahkan tank-tank ringan hasil rampasan dari pihak Jepang, seperti Ha-Go dan Chi-Ha.
Maka dapat kita bandingkan kekuatan yang saling berhadapan di front Surabaya ini. Pertempuran yang terjadi di Surabaya ini konon disebut-sebut sebagai pertempuran terbesar selama usainya Perang Dunia 2. Semboyan "Merdeka atoe Mati" pun menggema di seluruh area stelling para kombatan Republik.