Peristiwa yang tidak kalah penting pada kronik Pertempuran 10 November 1945 adalah peristiwa Pertempuran 4 Hari 4 Malam di Surabaya. Memiliki latar belakang konflik bersenjata pasca pendaratan Sekutu pada tanggal 25 Oktober 1945. Sehari sesudahnya, upaya Sekutu membangun pos-pos militer di beberapa lokasi strategis di Surabaya langsung menuai konflik dengan para pejuang.
Ada sekitar 5000 hingga 6000 pasukan Sekutu yang mendarat serta merta membuat gaduh daerah-daerah kawasan utara. Walau pihak Inggris memberi kepastian bahwa tidak ada tentara NICA-Belanda dalam pendaratannya kali ini di Surabaya. Objek-objek vital seperti kantor pos dan stasiun kereta api segera menjadi incaran pendudukan, perlawanan sepihak tentu saja mulai terjadi kini.
Sejatinya, momen pertempuran inilah yang telah ditunggu-tunggu oleh para pejuang. Tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1945, perang pun pecah di beberapa lokasi. Mulanya, para pasukan Sekutu melakukan penangkapan sepihak terhadap rakyat yang tengah kedapatan membawa senjata.
Selain itu, objek vital yang telah dikuasai tersebut justru dibuat sebagai tangsi militer yang dipergunakan untuk mengakomodir kekuatan bersenjata Sekutu. Jadi, mereka membuat garis batas militer yang menghubungkan pantai hingga ke pusat kota Surabaya. Baik di area Benteng Miring, area sekolah Ampel, gedung Internatio, RS Darmo, stasiun Gubeng, hingga gudang senjata Don Bosco.
R.M. Soerjo bersama beberapa petinggi TKR menentang tindakan ini, seraya melayangkan protes kepada pihak Sekutu. Walau hal tersebut tidak memberikan dampak positif bagi upaya diplomasi yang dilakukan. Sore hari, tanggal 26 Oktober, kelompok pejuang dari TKR, BPRI, dan Hizbullah, telah melancarkan serangan terhadap posisi Sekutu di sekitar Benteng Miring dan Ampel.
Aksi baku tembak dan saling serang dengan pihak Republik tak kuasa dibendung, bersama pasukan TKR, para laskar bersenjata Republik berupaya mengepung area gudang senjata Don Bosco. Disebutkan dalam pertempuran yang terjadi di sekitar sekolah Al-Irsyad, bahkan para pejuang yang bersenjata ala kadarnya, sampai melempari posisi tentara Gurkha dengan batu.
Suatu pertempuran yang jauh dari kata seimbang, tetapi semangat tempur dari para pejuang sudah memuncak sesuai fatwa dari Resolusi Jihad. Ratusan bahkan ribuan rakyat, telah bergerak secara berkelompok menuju lokasi-lokasi tangsi militer Sekutu. Korban yang berjatuhan dari kalangan rakyat pun tak terelakkan.
Malam harinya, Sekutu pun langsung menyerang penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang perwira Belanda yang ditahan disana. Sontak saja, malam pertama pertempuran terjadi di Kalisosok dengan para pejuang yang berjaga disana. Suasana semakin memanas lantaran pada tanggal 27 Oktober, beredar pamflet himbauan peletakan senjata dalam waktu 48 jam.
Sambutan dari para pejuang ya tentu saja angkat senjata menantang perang. Kobar pertempuran semakin meluas hampir di setiap sudut kota Surabaya. Pertempuran ini sejatinya sebagai peristiwa pembuka, yang kelak akan memuncak hingga tanggal 10 November 1945. Jadi, pertempuran di Surabaya itu tidak serta merta terjadi pada tanggal 10 November, melainkan ada peristiwa pembukanya.
Di setiap kampung dan jalan utama pemblokiran terjadi dan dibuat oleh rakyat, baik dengan batang pohon, kayu, ataupun ranjau. Ya, ranjau, para pejuang sejak semalam telah menanam ranjau di sekitar jalan utama menuju Gubeng dan Wonokromo. Pertempuran semakin masif hingga menjelang sore hari di tanggal 27 Oktober. Dinoyo seolah menjadi area wild west perang "serampangan".