Ternyata telah satu minggu berlalu justru banyak kabar besar yang sepertinya menarik untuk diulas. Salah satunya adalah perihal wacana disharmonisasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tetapi, saat ini penulis tidak akan membahas wacana "ndak jelas" tersebut dalam sudut pandang opini mainstream. Melainkan melalui kisah sejarah yang pernah dialami pula oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dahulu kala.
Sepertinya masyarakat umum memang tidak selalu paham bagaimana rantai komando itu saling berkaitan, bersifat instruktif, serta memiliki simpul yang kuat, namun tidak tampak. Maka wajar jika menimbulkan multitafsir bagi beberapa kalangan. Yap, sejatinya simbol solidaritas TNI tidak perlu dibicarakan ke area publik, karena hal itu adalah ruang private yang tidak dapat dibuka.
Seperti halnya ketika Jenderal Soedirman bergerilya, ya kali diceritakan kepada masyarakat dimana keberadaannya. Padahal jelas, rantai komando beliau adalah tegas adanya, dan saling berhubungan dengan berbagai matra di panggung gerilya, walau tidak tampak. Bahkan mampu mengkomandoi berbagai laskar bersenjata lainnya.
Nah, bila ditinjau kisah sejarahnya lebih jauh, maka tentu yang paling menarik adalah ketika prosesi pemilihan Panglima TNI pertama. Lantaran kala itu banyak banget pimpiman kesatuan tempur, maka Pemerintah mengupayakan diadakannya pemilihan Panglima TNI, tatkala Supriyadi sudah dipastikan gugur dalam pertempuran.
Kala itu Pemerintah menunjuk Supriyadi, pemimpin perlawanan PETA Blitar terhadap Jepang sebagai Panglima TNI. Tetapi urung disahkan, karena Supriyadi diketahui "hilang", usai perlawanan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945.
Tepatnya di Gondokusuman, Jogjakarta, pada 12 November 1945. Kurang lebih sebulan setelah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Kolonel Halland Iskandar meminta Oerip Sumohardjo (KA. Staf TKR) untuk memilih seorang Panglima TKR/TNI. Tentu untuk mengkomandoi seluruh kekuatan bersenjata Republik.
Sejak BKR berdiri, banyak terjadi perebutan senjata hingga menimbulkan berbagai persoalan, lantaran banyak terbentuk pula kelompok atau laskar bersenjata yang berada diluar komando Pemerintah. Peralihan BKR menjadi TKR tentu untuk menyelesaikan polemik ini. Begitupula ketika penentuan pimpinan tertinggi TKR/TNI.
Dapat dibayangkan, matra-matra yang terbentuk berdiri tanpa komando, apalagi pada setiap matra/kesatuan ada pemimpinnya. Bayangkan saja, dalam suatu pertemuan tersebut, semua pemimpin militer yang kala itu bersenjata, harus memilih seorang pemimpin.
Ala-ala cowboy tentu rapat dengar pendapatnya. Bila gak terima, bisa saja dor! adalah jawabannya. Terlebih, ketika pejabat publik (Pemerintahan) yang hadir pun tidak dianggap sebagai peserta rapat. Maka mungkin saja, banyak pula beredar perspektif negatif lain dalam menilai proses pemilihan seorang Panglima.
Dalam rapat tersebut kemudian diusulkan nama-nama tokoh militer dari beragam latar belakang yang berbeda. Tentu saja memiliki kepentingan dan kekuatan bersenjatanya masing-masing. Seperti, Oerip Sumohardjo; Soedirman; Sri Sultan Hamengkubuwono IX, M. Pardi, Nasir, Wijojo Surjo Kusumo, Suryadi Suryadharma dan GPH Purwo Negoro.