Tanggal 29 Agustus 1945, menjadi hari penting bagi para pejuang di Sumatera Barat. Desas-desus tersiarnya Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta, walau telah tersebar luas, belum dapat meyakinkan para tokoh Republik disana. Hal ini dilihat karena Jepang masih sangat mendominasi di berbagai sektor pemerintahan. Seolah mereka tidak kalah perang dalam Perang Asia Timur Raya.
Padahal berbagai informasi mengenai kekalahan Jepang pun sudah tersebar luas. Dengan kabar kehadiran tentara Sekutu yang hendak melucuti tentara Jepang di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai pusat militer Angkatan Darat Jepang, Bukittingi menjadi "sarang" dari Kempeitai (polisi rahasia Jepang) yang sangat sulit ditembus.
Atas dasar itulah, berbagai kegiatan apapun selalu berhasil dicegah oleh Jepang. Khususnya mengenai kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tidak lain karena Jepang masih menghendaki peralihan kekuasaan kepada Sekutu dapat berjalan dengan baik. Walau hal itu tidak diharapkan oleh para tokoh dan pejuang Republik.
Maka, tidak ada jalan lain. Para pemuda dengan segera meyakinkan seluruh pihak Republik, baik kepada para tokoh politik ataupun laskar bersenjata (bawah tanah). Bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dikumandangkan dengan segera. Hal ini sebenarnya adalah upaya untuk lepas dari kontroling Jepang, bahwa Indonesia telah menjadi negara yang berdaulat, juga Sumatera.
Melihat situasi yang semakin tidak menentu sejak tanggal 20 Agustus 1945, maka antara golongan muda dan tua di Bukittinggi dengan segera menyusun rencana aksi. Walaupun terjadi perbedaan pendapat, seperti yang dirasakan oleh Bung Karno dengan para tokoh golongan muda di Rengasdengklok. Tetapi hal itu dapat dengan segera diatasi.
Seorang pegawai pos telegram bernama Aladin harus sebelumnya juga telah mendengar Proklamasi di Jakarta, tetapi kabar tersebut tidak berani ia sebarluaskan. Seraya pembentukan Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) dibentuk. Maka dengan segera Komite Nasional Indonesia (KNI) Bukittinggi dibentuk untuk menggantikan badan pengorganisasian bentukan Jepang.
Hal itu sebenarnya hanya untuk mempermudah para tokoh dan pejuang bergerak leluasa. Karena radio dan kantor berita Jepang sejak beberapa minggu sebelumnya tidak lagi mengudara. Seakan keyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia memanglah benar adanya. Akhirnya, atas desakan pemuda Sumatera Barat, Mohammad Syafe'i mau membacakan ulang Teks Proklamasi seperti di Jakarta.
Tetapi tidak di Bukittinggi, karena Jepang masih kuat disana. Melainkan di Padang, para pemuda membawa Mohammad Syafe'i untuk mempersiapkan segalanya demi Proklamasi Kemerdekaan dibacakan ulang. Dengan judul "Permakloeman Kemerdekaan Indonesia".
"Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti Proklamasi pemimpin-pemimpin besar kita Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia seperti berikoet:..."