Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekik Merdeka dari Prambon Wetan

24 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 24 Juli 2022   06:31 3302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Prambon Wetan, Kab. Tuban (google.map)

Tanggal 24 Juli 1949, desa Prambon Wetan dikejutkan dengan kedatangan pasukan Belanda bersenjata lengkap. Tampaknya usai penyergapan yang dilakukan oleh kesatuan pejuang kemarin, membuat Belanda melancarkan aksi balas dendamnya hari itu. Tidak ada yang luput dari suasana menghadap maut, khususnya bagi para penduduka desa.

Pasukan patroli Letnan Leen Teeken, beserta 11 prajuritnya dinyatakan hilang usai peristiwa penyergapan tanggal 23 Juli 1949, bersama seorang penunjuk jalan. Walau pada akhirnya 4 diantaranya dinyatakan tewas dalam pertempuran, beserta penunjuk jalan. Sisanya, 7 prajurit Belanda ditangkap sebagai tawanan perang oleh pihak Republik.

Hal ini seperti yang telah penulis utarakan pada artikel Soetjipto kombatan cilik. Usai penyergapan, maka terjadi aksi bumi hangus oleh Belanda terhadap desa Prambon Wetan. Karena lokasi pertempuran sebelumnya memang terjadi di sekitar desa, dengan dan tanpa persiapan yang dapat dikatakan baik pada kronologis pertempurannya.

Ya, karena di desa tersebut masih banyak para penduduk yang bertahan. Walau berbekal senjata alakadarnya, untuk tetap bertahan dalam menghadapi serangan balasan Belanda. Walau diantara para penduduk desa lainnya sudah sedari malam pergi mengungsi dengan cara menyeberangi sungai Bengawan Solo dengan alat seadanya.

Soetjipto mungkin menyadari bahwa peristiwa besar akan terjadi kemudian. Terlebih desa Prambon Wetan adalah desa kelahirannya, yang dekat dengan lokasi terjadinya peristiwa penyergapan. Intuisinya untuk mengikuti barisan pejuang dan tidak kembali ke desa, justru telah menyelamatkan hidupnya dari aksi kekerasan di desa kemudian hari.

Benar saja, artileri berat dan hujan mortir langsung menghancurkan seluruh desa Prambon Wetan pada pagi hari tanggal 24 Juli 1949. Pekik merdeka, dan teriakan penduduk desa seakan mampu mengiris telinga dari kejauhan. Tapi, Soetjipto hanya sanggup melihat dari kejauhan, dan nuruti taktik gerilya usai aksi hit and run, dimana ia tidak kembali ke desa.

Sejak pagi asap hitam membumbung tinggi pertanda telah terjadi aksi bombardemen dari pasukan Belanda. Dentuman keras pun terdengar hingga seberang sungai. Para pejuang dan penduduk yang telah berada di kejauhan tampak tak sanggup berbuat banyak, termasuk Soetjipto. Semua memandang dan membayangkan akan apa yang tengah terjadi.

Tidak sebatas bombardemen, sejumlah pasukan besar Belanda kemudian datang ke desa untuk mencari para pejuang yang tersisa. Apakah ini merupakan aksi balasa dendam? Sekiranya pembaca dapat memprediksi sendiri bagaimana akhirnya.

Catatan mengenai aksi brutal pasukan Belanda ini direkam secara jelas oleh seorang jurnalis Belanda bernama Marjolein van Pagee. Dari catatan yang didokumentasikan olehnya, kita tahu jumlah korban dari penduduk desa Prambon Wetan kala itu. Terhitung ada 64 penduduk sipil yang gugur bersama 56 rumah yang dibakar habis usai bombardemen.

Data korban Prambon Wetan (marjoleivanpagee.nl)
Data korban Prambon Wetan (marjoleivanpagee.nl)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun