Sebagai seorang pejuang, nama Letnan Komarudin seketika tenar lantaran film Janur Kuning menorehkan namanya sebagai figur yang memiliki peran penting dalam pertempuran. Terlebih karena aksi-aksi heroiknya dan kenekatannya ketika bertempur melawan Belanda di Jogjakarta.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah peristiwa utama dibalik kisah pejuang berdarah Maluku ini. Begitu pula Jenderal Soedirman, yang takjub dengan kegigihan Letnan Komarudin ketika bertempur. Tetapi bukan sekedar takjub, melainkan heran dengan rasa aneh bagi seorang pejuang kala itu.
Dalam pertempuran di sekitar Jogjakarta, ia terlihat dibarisan depan menantang Belanda dengan tubuhnya yang gempal. Â Anehnya, tak ada satupun peluru yang sanggup menembus tubuhnya. Ya, itulah Komarudin, sosok pejuang yang antiklimaks dari sebuah realitas pertempuran. Karena kala itu banyak yang tidak menyadari kesaktiannya.
Dibawah komando Mayor Sardjono, dari Brigade X SWK 101, nyaris tidak ada rasa takut terlihat dari dirinya selama bertempur. Terlebih ketika aksi nekatnya menyerang posisi Belanda tanpa perintah. Alhasil, karena kelakuannya, Belanda salah kira, bahwa telah terjadi serangan besar terhadap Jogjakarta.
Serangan umum 1 Maret seperti yang telah disepakati, justru didahului oleh aksi Letnan Komarudin di tanggal 28 Februari. Kalau ketika itu pasukan pejuang terpantik serangan, maka sejarah tentu akan berbeda. Nggak akan ada istilah serangan umum 1 Maret, tapi yang ada justru serangan umum 28 Februari 1949.
Tidak hanya itu, beberapa kali Komarudin menerjang senapan mesin Belanda, hanya untuk menolong pejuang yang terluka di garis depan. Oleh karena kegigihannya, Jenderal Soedirman pun dibuat takjub karena tekad juangnya. Lucunya lagi, ia tidak pernah merasa memiliki ilmu kebal, seperti yang para pejuang lain kisahkan.
Nah, lho? Apakah ini prank? Atau seberuntung itukah ia?
Ya, begitulah kisah perjuangannya. Walau diakhir kisah, kurang beruntung, dengan keterbatasan ia menyambung hidup dengan luntang lantung. Bahkan sempat menjadi preman yang ditakuti. Tapi, bukan itu yang menjadi soal, melainkan kontribusinya terhadap tanah air Indonesia dalam menjaga kemerdekaan.
Letnan Komarudin sempat diminta oleh Presiden Soeharto untuk menetap di Jakarta, untuk diberi gelar pahlawan jika meninggal kelak. Tetapi, ia lebih memilih menetap di Jogjakarta hingga akhir hayatnya. Itulah jalan ninja Komarudin, jalan seorang pejuang yang tidak pernah pamrih dalam membela bangsa dan negaranya tercinta.
Lain Komarudin, tentu lain pula dengan Soetjipto. Dia seorang pejuang, diantara para pejuang bocil yang turut serta mengangkat senjata ke medan tempur. Kala itu ia berusia 12 tahun, sekitar kelas 6 SD atau 1 SMP kini. Tepatnya di front pertempuran Tuban, ia tanpa ada rasa takut sekalipun, angkat senjata melawan Belanda.
Pada 1949, Prambonwetan adalah saksi dari perjuangannya. tetapi bukan untuk main petak umpet atau benteng-bentengan, apalagi PUBGi atau EpEp. Doi, selalau bawa karaben peninggalan Belanda yang dipakainya untuk membidik para serdadu Belanda dari jauh atau dengan strategi penyergapan. Wah, Soetjipto sudah sangat mahir menghadapi hal ini.