Peluncuran metode digital untuk pembelian bahan bakar bersubsidi tampaknya belum mendapatkan respon positif dari masyarakat kecil. Khususnya bagi kalangan petani dan nelayan, yang sangat bergantung pada kebutuhan pasokan bahan bakar murah. Walau penerapan pembelian bahan bakar bersubsidi ini masih dalam taraf percobaan, dan fokus pada kendaraan roda empat atau lebih.
Tetapi, hebohnya pemberitaan mengenai digitalisasi bahan bakar ini seketika membuat pelaku usaha kecil, baik dalam sektor pertanian atau kelautan menjadi gusar. Pasalnya, kebutuhan terhadap bahan bakar, adalah sumber utama bagi mereka sebelum mengandalkan peruntungannya dalam bertani ataupun melaut.
Khusus pada sektor kelautan, dimana nelayan menjadi fokus pembahasan yang hendak penulis ungkapkan.
Karena faktanya, rata-rata nelayan yang penulis temui selalu mengeluhkan perihal bahan bakar yang sulit didapat. Selain faktor harga yang terkadang berada diatas nilai normal. Lagi-lagi hal ini adalah akibat dari regulasi yang tidak berjalan dengan baik. Walau berbagai kebijakan pemerintah dapat dikatakan pro terhadap perbaikan nasib nelayan.
Kegusaran mereka kini kembali menjadi kekhawatiran terhadap pasokan bahan bakar untuk sekedar pergi melaut. Metode digitalisasi seolah sangat jauh dari pemahaman mereka, terlebih ketika mengurus segala mekanisme pendaftarannya. Selain dari persoalan akses internet yang belum dikatakan merata, yang juga harus dipahami secara menyeluruh.
Dimana kelak akan memungkinkan terjadi ruang "monopolisasi" dalam area pemenuhan kebutuhan bahan bakar. Pemahaman mereka terhadap teknologi digital tidak lebih dari pemahaman seputar berita, dan komunikasi semata. Maka wajar, bila beragam pemberitaan mengenai digitalisasi bahan bakar tengah membuat mereka gusar.
Rata-rata gawai yang mereka miliki tidak lebih dari sekedar untuk berkomunikasi, dan bahkan banyak diantaranya tidak memiliki. Lagi-lagi karena hal ini bukanlah kebutuhan primer mereka. Tatkala melaut yang menjadi mata pencaharian primer mereka, menjadi kegiatan yang justru semakin sulit untuk dilakukan.
Mereka tidak mungkin mengharapkan sesuatu yang lebih untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Alur dan mekanisme yang mudah, sekiranya dapat menjadi solusi utama, daripada menambah beban hidup mereka. Kecuali ada pula subsidi pulsa untuk para nelayan. Bila sentralisasi akses pendaftaran dapat diselesaikan oleh para pembuat kebijakan.
Atau akan lebih baik, jika loket-loket pendaftaran dapat difasilitasi secara mobile di setiap desa pesisir. Jadi, rutin deh tu, para nelayan di setiap daerah dapat dikunjungi oleh petugas dari pemerintahan. Walau sekedar untuk memberikan arahan dan solusi.
Sekiranya perihal digitalisasi bahan bakar dapat segera diluruskan dengan penjelasan faktual melalui pendekatan yang humanis. Bukan sekedar memaksakan dan menginformasikan kepada masyarakat, tanpa melihat realitas sosial yang terjadi di lapangan. Karena hal ini bukan sekedar fakta yang berangkat dari realitas kehidupan para nelayan.
Terlebih dengan hadirnya wacana mengenai upaya digitalisasi gas 3 kg. Wah, makin membuat masyarakat kecil semakin gusar dalam menghadapi hari-harinya. Walau tidak kita pungkiri bahwa era digital mau tidak mau harus dapat diikuti sesuai perkembangan zaman. Tetapi apakah realistis bila tidak diimbangi dengan segala macam fasilitas yang mendukungnya?
Belum lagi bagi nelayan yang memiliki kegiatan wisata bahari. Kebutuhan bahan bakar, jangan sampai membuat popularitas wisata bahari menurun. Akibat dari persoalan biaya perjalanan wisata yang tinggi dan tengah viral di sektor pariwisata belakangan ini.
Seyogyanya kita dapat bangkit bersama tanpa harus mengorbankan sesama pasca pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan sudah semestinya berangkat dari realitas kebutuhan masyarakat kecil, dan bukan terbalik, yang justru berangkat dari realitas kebutuhan masyarakat mampu. Semoga bermanfaat, itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H