Sesudah hadirnya kebijakan digitalisasi dalam memperoleh bahan bakar, terbit wacana mengenai digitalisasi dalam berbagai sektor kebutuhan masyarakat secara umum.Â
Mengenai perihal bahan bakar bersubsidi, tentu sudah menjadi wacana publik, bahwa penerapan subsidi kerap kali tidak tepat sasaran. Bahkan bagi golongan kategori mampu, juga mengharapkan adanya subsidi bagi kebutuhan kesehariannya.
Selain dari bahan bakar minyak, ada bahan bakar berupa gas, yang tengah diupayakan untuk memasuki area digital. Semua yang hendak mendapatkan subsidi, harus mengakses melalui aplikasi smartphone yang notabene secara faktual tidak dimiliki oleh semua kalangan. Banyak diantara golongan marginal yang tengah gusar menghadapi realitas digitalisasi ini.
Tidak semerta-merta hanya bicara mengenai kebutuhan sekunder bagi golongan marginal, melainkan upaya untuk menghadirkan kebutuhan primernya saja kerap kali harus melewati perjuangan berat. Contohlah kelompok petani kecil, atau gurem, pedagang kaki lima, pekerja serabutan, tukang becak, nelayan, dan lain-lain.
Kita tentu dapat dengan mudah mendikotomi kebutuhan primer bagi golongan mampu adalah bagian dari kehidupan modern. Era digital seakan menjadi bagian dari perkembangan zaman yang harus dipotimalkan dalam berbagai kepentingan. Tetapi tidak dengan mereka yang keseharian hidupnya di "jalanan".
Sedangkan, untuk mendapatkan fasilitas subsidi, harus dilalui dengan orientasi teknologi yang modernis. Kita akan melihat benturan budaya yang sepertinya dapat diidentifikasi sebagai perilaku abnormal. Ketika gadget berada di genggaman, seolah cakrawala dunia terbuka lebar dihadapan kita.
Proyeksi-proyeksi konsumerisme justru dapat bangkit melebihi kemampuan golongan marginal untuk dapat terus mempertahankan hidupnya. Anggaplah ini adalah sebuah ancaman, misal, bagi penduduk desa yang sarat dengan adat dan budaya leluhur. Seketika dapat beralih dengan secara tidak sadar dan mempengaruhi pola sosial yang telah ada.
Kita tidak dapat mengeneralisir filterisasi budaya asing terhadap budaya lokal. Karena hal itu hanya ada dalam area kelompok intelektual dan bukan terhadap golongan marginal. Bisa saja dikemudian hari, kebutuhan hidup harus didapatkan melalui berbagai teknologi yang maju melampaui zaman.
Tetapi, apakah hal itu dapat berlaku untuk golongan marginal? Sekali lagi, dimana subsidi adalah bagian dari kesehariannya yang selalu diperjuangkan. Bukannya dapat menutupi kekurangan, yang akan tampak justru budaya konsumerisme yang berlebihan. Itu bisa saja terjadi, kita tidak dapat menutup kemungkinan-kemungkinan hal negatif dari orientasi digitalisasi saat ini.
Sebenarnya hal ini berangkat dari kekhawatiran akan pola modernisasi yang telah menyasar ke area budaya dan kultur melebihi batasnya. Akankah upaya digitalisasi saat ini akan menjadi kiamat untuk mereka yang marginal hidupnya?
Sekiranya kita dapat konsisten dalam menjaga keseimbangan realitas sosial dalam berbagai wujud relasi humanistik yang fungsional. Semua tentu dapat berperan aktif dalam mengoptimalkan perilaku digitas dalam berbagai pendekatan sosial yang ada. Tidak sekedar memaksa tanpa melihat kemampuan. Tidak sekedar mengadakan tetapi tidak didukung dengan solusi alternatif lainnya.
Semoga pengalaman ini dapat memberi abstraksi untuk kita semua. Tatkala seorang petani gurem, mengeluhkan tentang harga jual rendah di pasaran, sebelum masuk ke area pasar modern yang kental dengan digitalisasinya. Mereka nyaris tidak sanggup menembus sekat tersebut. Karena dominasi peran sosial, yang sampai saat ini masih menjadi jurang pemisah dan tampak nyata dihadapan kita. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H