Peristiwa 3 Juli 1946, dianggap sebagai peristiwa sejarah yang memiliki latar belakang konflik politik. Konflik antar tokoh bangsa ini melibatkan Soekarno, Hatta, Syahrir, hingga Tan Malaka. Orientasi perjuangan dipercaya sebagai penyebab utamanya. Karena prinsip Tan Malaka seperti yang kita ketahui, menginginkan kemerdekaan Indonesia yang 100 persen.
Kemerdekaan yang diraih dengan tangan sendiri, tanpa ada agenda diplomasi yang dianggap mampu mengkerdilkan bangsa merdeka. Tidak lain karena Tan Malaka sendiri adalah seorang pejuang yang turut terlibat di berbagai medan pertempuran. Walau tidak selalu berada di garis depan, setidaknya pandangan politik dan wibawanya, mampu memikat barisan-barisan perjuangan bersenjata kala itu.
Contohnya adalah Barisan Banteng, yang diketuai oleh dr. Moewardi, BPRI Bung Tomo, hingga beberapa kesatuan TNI Reguler dibawah komando Mayor Jenderal R.P. Sudarsono. Bahkan menurut Robert Elson, Jenderal Soedirman (yang kala itu dekat dengan Tan Malaka) juga turut mendukung peristiwa ini.
Tujuannya tidak lain adalah Perdana Menteri Sutan Syahrir. Pandangan militer atas upaya diplomasi yang dilakukan Syahrir, dianggap selalu menguntungkan pihak Belanda. Bahkan nyaris tidak memberi dukungan kepada para pejuang di garis depan, yang kerap berhadapan dengan Belanda.
Maka, Tan Malaka melihat ini sebagai bentuk kelemahan kabinet Syahrir, yang harus diselesaikan. Seperti telah diungkap, bahwa Tan Malaka mempunyai barisan pendukung bersenjata yang selalu mendukung arah politiknya. Begitupula kedekatannya dengan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, yang sependapat mempertahankan kemerdekaan 100 persen (Harry A. Poeze).
Melalui kongres Persatuan Perjuangan, Tan Malaka aktif menggalang dukungan dari para pejuang untuk menentang kebijakan pemerintah. Khususnya terhadap kebijakan Sutan Syahrir, dimana kemudian Mayjend Sudarsono mengambil keputusan untuk melakukan penculikan terhadapnya.
Aksi tersebut dilakukan oleh para pengikut Tan Malaka pada 3 Juli 1946. Peristiwa yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemberontakan pertama terhadap Republik Indonesia. Tetapi, menurut pandangan penulis, hal ini adalah bentuk kritik terhadap pemerintah, walau dengan catatan dilakukan secara inkonstitusional.
Walau tuntutan yang diminta adalah pergantian kabinet Sutan Syahrir, tetapi hal ini juga tidak dapat dianggap sebagai upaya kudeta. Karena tidak menyasar kepada Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mayjend Sudarsono justru datang ke istana untuk menyampaikan tuntutannya, dan bahkan tidak bersenjata.
Sekiranya isi pokok tuntutan tersebut selain pergantian kabinet adalah, pengangkatan Tan Malaka sebagai ketua Dewan Pimpinan Politik. Dimana anggotanya ada Muhammad Yamin, Ahmad Soebardo, Buntaran Martoatmodjo, Budhyarto martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, hingga Iwa Kusumasumantri (Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia).
Tetapi kehadirannya ke Istana tanpa disertai pasukan bersenjata ataupun para laskar pendukung Tan Malaka dengan kebijakan politiknya. Sekiranya ini dapat menjadi catatan penting untuk dapat mengulas lebih jauh perpektif mengenai peristiwa 3 Juli 1946 ini.