Sejarah perjuangan para pekerja di Indonesia, adalah historiografi panjang yang kerap kali bersinggungan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Sejak masa berjuang, para pekerja yang turut aktif dalam berbagai serikat, pun angkat senjata demi kemerdekaan Indonesia.
Sama halnya ketika era Orde Lama berlangsung, persinggungan politik internasional yang mencuat kala itu, memberikan ruang sempit bagi para pekerja untuk berbicara mengenai hak-haknya. Jadi, kondisional politik yang dimaksud adalah pada masa konfrontasi dengan negara-negara tetangga.
Hingga masuk pada era Orde Baru. Problematika pekerja justru diidentifikasi lekat dengan ideologi yang kala itu dilarang, yakni komunis. Hingga nyaris para pekerja ketika itu, tidak mendapatkan porsinya untuk berdialog demi pemenuhan hak-haknya selain dari tanggung jawab yang diemban.
Jamsostek dengan berbagai aturannya dirasa kurang adaptif terhadap kebutuhan para pekerja, khususnya dalam menangani persoalan-persoalan hak pekerja yang sejatinya adalah tanggungjawab pemerintah. Faktanya, pada era ini, kepentingan industrialisasi-ekonomi jauh lebih penting daripada memenuhi tuntutan dari para pekerja.
Semisal mengenai aturan yang menyangkut dengan cuti. Nyaris setiap persoalan ini mengemuka, hal ini justru dikembalikan kepada kebijakan pada perusahaan masing-masing. Selain terjadinya praktek intimidasi oleh para pekerja yang melakukan protes atau menuntut keadilan, seperti Marsinah.
Marsinah yang kala itu menuntut perbaikan hak pekerja, justru diintimidasi dengan dalih melakukan kegiatan subversif. Diantara tuntutannya selain upah adalah mengenai hak cuti, yang harus diakomodasi oleh perusahaan. Perjuangan untuk mendapatkan hak cuti bersama upah yang layak kala itu memang dirasa sangat penting bagi para pekerja.
Selain dari persoalan upah yang jauh dari standar layak, pemotongan upah kala cuti, hingga sakit. Hal ini dikembalikan kepada kebijakan perusahaan, yang rata-rata memiliki standar sanksi hingga berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Ketiadaan dukungan melalui kebijakan hukum juga makin memperparah keadaan.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Dita Indah Sari, ketika penulis melakukan dialog perihal sejarah kesejahteraan pekerja, sekitar tahun 2007. Marsinah adalah sosok dibalik reformasi hak dan kewajiban bagi pekerja. Perihal tuntutannya, berdasarkan dari realitas dari para pekerja, yang kala itu didominasi oleh perempuan.
Apalagi bila berbicara mengenai cuti hamil, maka nyaris persoalan kebutuhan hidup pekerja tidak lagi menjadi tanggung jawab perusahaan. Walau pada beberapa perusahaan memberikan kompensasi yang sekedarnya. Marsinah jelas menuntut perbaikan atas dasar kesepakatan mengenai upah yang lebih baik.
Dahulu memang belum ada kebijakan-kebijakan yang mendukung para pekerja, khususnya bagi perempuan. Berbeda dengan masa pasca Reformasi, para pekerja justru diuntungkan dengan iklim politik yang lebih demokratis dalam menyampaikan tuntutan.