Berbagai macam cara dilakukan oleh para pejuang, demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945. Tetapi, kolonialis Belanda tetap saja ingin menguasai Indonesia melalui berbagai upaya militer ataupun meja perundingan. Baik Agresi Militer Belanda I dan II, orientasinya tetap sama, Indonesia harus menjadi negara boneka Belanda. Perundingan yang disepakati pun seringkali dilanggar oleh Belanda sendiri.
Melihat kenyataan itu, para pejuang tetap melancarkan perlawanannya terhadap upaya-upaya Belanda melalui jalan pertempuran. Tidak hanya dari kalangan tentara reguler (TNI), begitupula dengan kalangan tentara muda (Tentara Pelajar). Mereka yang rata-rata masih duduk di bangku SMP dan SMA ini tidak segan-segan menantang Belanda dengan caranya masing-masing.
Berbekal senjata seadanya, atau bahkan rakitan, mereka berani berhadapan dengan pasukan yang bersenjata lengkap dan modern. Seolah tidak ada rasa gentar atau takut untuk mundur dari palagan perjuangan. Sama halnya pada peristiwa Rejodani, di Sleman, Jogjakarta ini.
Di akhir bulan Mei 1949, pasukan yang tergabung dalam Tentara Pelajar ini mendapatkan informasi mengenai rencana kedatangan Belanda ke daerah Sleman. Tujuan mereka datang adalah untuk menggempur pasukan pejuang di Dusun Balong, Ngalik. Dengan cepat Sersan Suwarno dan Kopral Harsono mengkonsolidasikan pasukan pejuang untuk melakukan penghadangan di sekitar Rejodani. Ini dilakukan guna mengulur waktu, agar pasukan pejuang di Dusun Balong dapat melanjutkan serangan dengan gerilya.
Rasa rela berkorban demi keselamatan rekan-rekan pejuang lainnya akhirnya membuat puluhan Tentara Pelajar bergegas untuk melakukan penghadangan. Mereka bersiap sekitar 2 kilometer dari Dusun Balong untuk mengatur siasat. Tetapi, waktu tidak memungkinkan untuk membuat berbagai perangkap yang biasa mereka buat. Otomatis, ketika sampai di Rejodani, pasukan Tentara Pelajar langsung kontak senjata dengan pasukan Belanda yang bersenjata lengkap.
Beberapa waktu setelah melancarkan serangan sengit, akhirnya keterbatasan amunisi menjadi permasalahan utama para pejuang. Mereka mau tidak mau harus mundur dari Palagan Rejodani, dengan meninggalkan delapan rekan seperjuangan yang gugur di lokasi pertempuran. Diantara mereka yang gugur adalah, Harsono, Soewono, Soekapdi FX, Soeroyo, Sopanoto, Daryono, Soenarto, dan Alibasyah.
Para pejuang muda yang masih belia itu gugur berkalang senjata yang jadi teman perjuangannya. Tidak ada rasa gentar, walau berbekal golok dan bambu runcing di tangan. Semua demi bangsa dan negara yang dicintainya agar dapat terus merdeka. Tentu banyak hikmah yang dapat diambil. Sebagai generasi muda khususnya di era digital saat ini. Pengorbanan atas perjuangan para pahlawan yang tidak viral ini tentu dapat menambah pengetahuan kita terhadap literasi sejarah bangsa Indonesia.
Bahwa ada ratusan ribu pejuang yang telah terbaring gugur hanya demi melihat generasi penerus bangsanya cerdas, berpendidikan, dan mampu meraih cita-citanya yang luhur untuk memuliakan bangsa dan negara Indonesia. Sudah seharusnya kita dapat terus mengenang perjuangan mereka, dan bukan justru bangga dengan arus modernisasi dari sejarah dan budaya asing tanpa mampu kita saring.
Ingat, mereka mati muda, hanya untuk kita bisa tertawa dan bercanda dari bangsa yang telah dijaga kemerdekaannya. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H