Beberapa tahun lalu khalayak Indonesia ramai memperbincangkan film dokumenter Samin vs Semen. Dokumenter yang menceritakan perjuangan masyarakat Samin dalam menentang berdirinya pabrik semen di lingkungan tempat tinggal mereka.
Masyarakat Samin merupakan suatu kelompok masyarakat adat yang mendiami wilayah di sekitar Blora, Jawa Tengah. Mereka sangat memegang teguh tradisi dan adat yang pernah dikembangkan oleh Samin Surosentiko.
Pegunungan Kendeng, tempat masyarakat Samin bermukin dianggap sebagai area non-produktif yang hanya dapat dikembangkan guna urusan eksplorasi sumber daya alam. Dalam hal ini adalah karst yang menjadi bahan utama pembuatan semen.
Walau pendapat itu ditentang oleh banyak pihak, karena bukti-bukti yang berkaitan dengan kekayaan alam Pegunungan Kendeng justru memungkinkan keberadaan flora dan fauna dapat  berkembang secara alami. Belum lagi sumber-sumber air yang melimpah dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Kendeng.
Sudah tentu upaya perusakan lingkungan atas dalih apapun ditentang oleh masyarakat Kendeng di Blora, yang mayoritas adalah masyarakat Samin. Semangat perlawanan menentang perusakan alam ini apabila ditinjau secara historis, merupakan bagian dari ajaran Saminisme yang berkembang disana.
Pantang bagi orang Samin untuk berdagang dan mengambil hak orang lain. Oleh karena hal inilah Samin Surosentiko menentang adanya kapitalisme dalam bentuk apapun. Terlebih soal eksplorasi berbau kapitalisme yang dapat merusak alam.
Mbah Suro menentang Belanda
Pada awalnya Belanda tidak melarang Samin Surosentiko mengembangkan ajarannya. Sikap teguhnya dalam menjaga alam dianggap bukan sebagai ancaman yang patut dicemaskan. Alam dianggap sebagai ibu yang harus dijaga kelestariannya. Tidak boleh merusak, apalagi membiarkannya dirusak.
Mbah Suro adalah panggilan resmi Samin Surosentiko oleh pengikutnya. Tatkala ia mengajarkan perilaku Sedulur Sikep, maka bangkitlah semangat perlawanan pengikutnya terhadap Belanda. Semangat perlawanan ini yang kala itu ditakutkan oleh para kolonialis, terlebih membawa unsur budaya etnik.
Sedulur memiliki arti saudara, dan Sikep yang memiliki arti senjata. Sesuai maknanya, maka perlawanan tanpa senjata tengah dikobarkan terhadap Belanda. Persoalan yang utama adalah perihal pajak. Pengikut Samin mulai menolak membayar pajak yang dibebankan kepada mereka atas dasar hak.
Semangat perlawanan dalam menentang pajak yang membebani rakyat serta eksploitasi alam oleh Belanda, ternyata membuat pengikut Samin semakin besar dalam kuantitas. Mbah Suro disebut-sebut tengah menghasut rakyat untuk melancarkan pemberontakan. Melihat hal ini, tentu saja penguasa kolonial tidak tinggal diam.