Tak perlu menunggu lama, Mbah Suro pun ditangkap tanpa perlawanan oleh Belanda pada 18 Desember 1907. Ia kemudian diasingkan ke Sumatera Barat, hingga meninggal pada tahun 1914 disana.
Perjuangan Mbah Suro Lestari di Kendeng
Melawan tanpa senjata, mengingatkan kita pada metode perjuangan Satyagraha yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi pada abad 20. Tetapi Indonesia punya Mbah Suro, yang terlebih dahulu mengobarkan perlawanan tanpa senjata terhadap kolonialis Belanda.
Konsep hidup menghormati alam beserta kekayaan yang terkandung didalamnya, membuat masyarakat Samin dianggap sebagai suku yang terbelakang dalam modernisasi ketika itu. Walau pada masa kini, moderniasi perlahan dapat bersatu dengan perilaku kehidupan mereka tatkala dibutuhkan dalam urusan pertanian.
Perjuangan Mbah Suro tentu telah melewati batas-batas ruang dan waktu sejarah yang beragam. Sikap rendah diri dan toleran yang dimiliki oleh penganut Sedulur Sikep, telah membawa mereka menjadi sebuah masyarakat pendobrak penganut individualisme di era modern saat ini.
Masyarakat Samin, tentu sudah sangat dikenal dunia kini. Perjuangannya menjaga alam Kendeng agar tetap lestari telah mendapatkan apresiasi berskala internasional. Tinggal bagaimana generasi muda saat ini mampu mengikuti semangat mereka untuk dapat terus menjaga alamnya.
Kalau bukan kita yang menjaga bumi, lantas siapa? “Ibu bumi wis maringi. Ibu bumi dilarani. Ibu bumi kang ngadili”, merupakan ungkapan perjuangan Gunretno yang acap kali digelorakan ketika memperjuangkan kelestarian alam. Gunretno merupakan wujud dari perjuangan Mbah Suro saat ini.
Semoga Kendeng dapat terus lestari, untuk generasi saat ini ataupun nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H