Ketika pilkada walikota Banda Aceh bergulir, banyak orang berpikir bahwa Illiza Saaduddin Djamal akan menang mudah di Banda Aceh. Ditambah dengan persiapan debat yang telah siap dengan jawaban-jawaban terukur.
Namun, yang mengagetkan bahwa Illiza kalah. Dan yang paling membuat saya terheran-heran, ia kalah telak nyari 70:30. Ia kalah diseluruh kecamatan, termasuk di gampong yang diyakini sebagai basisnya, domisili keluarganya dan partai yang mengusungnya. Itu bagaimana coba cara menjelaskannya. Saya bayangkan, seseorang yang diatas kertas akan menang mudah, lalu fakta berbalik kalah dengan angka demikian, orang tersebut saya rasa akan susah tidur malam selama sebulan, membayangkan beragam anomali, sampai berpikir pada pengkhianatan. Hal tersebut pernah dialami oleh Fauzi Bowo pada Pilkada DKI. Survery berintegritas menunjukkan ia akan menang satu putaran, namun yang terjadi, jebakan undecided-voters membelokkan fakta. Jokowi menang.
Keingintahuan yang begitu besar membuat saya mencoba menghimpun informasi dari para pemilih, selama dua hari ini, setiap bertemu orang baru, dan bila ia memilih Aminullah, saya bertanya, apa alasan anda tidak memilih Illiza? Jawaban yang dihimpun tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, namun saya yakin, beberapa diantaranya memang menjadi alasan kekalahan Illiza di Banda Aceh.
1. Banyak orang yang tak menyukai kebijakan yang tidak relevan dari Illiza. Misalnya, melarang merayakan atau menghidupkan kembang api, dan yang paling ekstrim, sebagian penikmat warung kopi diusik kenyamanannya kala petugas satpol PP memerintahkan warung kopi tutup pada detik malam pergantian tahun baru. Bagi Pemko periode Illiza, merayakan tahun baru sama dengan menciderai semangat melaksanakan syariat Islam. Karena ada embel-embel itu, kalangan tersebut diam saja karena tak ingin berdebat kusir dengan kaum pendukung Illiza yang primordialis dan akan mudah menyudukan mereka dengan kata kafir dan semacamnya. Jadi, selama ini, mereka diam karena bila bicara maka akan dianggap durhaka terhadap agama. Mereka adalah pemilih siluman, tak berbicara banyak, tapi berjumlah banyak, menunggu tanggal main untuk membalas, yaitu saat pilkada. Kebijakan yang tak moderat seperti itu tidak hanya sebatas masalah tahun baru, namun mencakup beberapa hal lain, dan jelas, hal itu merugikan banyak orang. Illiza juga pernah mengatakan, bahwa duduk diwarung kopi adalah pekerjaan tiada guna, padahal perputaran uang di Banda Aceh, dimana warung kopi adalah salah satu media pertemuan bisnis banyak orang, ada disana.
2. Â Statemen ulama, tentang masalah perempuan tak boleh menjadi pemimpin, sangat telak mempengaruhi pemilih. Bagi sebagian orang, mereka menganggap larangan memilih pemimpin perempuan hanyalah dari ulama seperti Abu Tumin (walau diakui apa yang diungkap ulama karismatik itu memang sangat mempengaruhi), tapi Abu Tumin bukan satu-satunya. Begitu banyak ulama, baik dari ulama mesjid gampong hingga majelis taklim, tidak menyarankan perempuan menjadi pemimpin. Ucapan-ucapan ulama ini memang tak muncul di media sosial, karena mereka tak mau ucapan mereka menjadi kontroversi, karena bila Illiza menang kembali, akan merugikan mereka dilain waktu. Sikap mereka hampir sama seperti banyak pihak lain, seperti PNS Pemko yang tak suka Illiza, daripada benjol, diluaran mending netral saja, tapi dibelakang layar, menggalang kekuatan suara agar tak memilih lagi.
3. Tebang pilih. Senang atau tidak, apapun argumen Illiza soal "rejeki Haji Bakri' Â yang tertangkap pada masa jeda hukuman cambuk, masyarakat tetap akan melihat itu sebagai pelanggaran semangat syariat Islam. Hukuman hanya berlaku untuk orang kecil, penjudi domino dibelakang pasar ikan.
4. The power of mak-mak. Sudah kodratnya, dimanapun, seseorang lebih nyaman bila dipimpin oleh laki-laki. Kaum ibu-ibu adalah salah satu pihak yang berpikir demikian. Â Penjelasan soal poin ini tidak sama dengan alasan pada poin dua yang lebih melihat pada perspektif agama. Pada poin ini pemilih hanya melihat dari sudut pandang yang lebih sentimental, dimana kepemimpinan perempuan akan rentan pada konflik, karena pemimpin perempuan lebih cenderung memainkan sisi ego dan sentimen pribadi daripada kinerja, khususnya pada perempuan ke perempuan. Perempuan lebih suka dipimpin oleh yang bukan perempuan.
5. Tidak disukai oleh kaum moderat. Ini juga hampir sama dengan poin satu namun beda konteks. Kaum moderat akan selalu melihat pemimpin yang primordialis tidak akan pernah memajukan kota yang dipimpinnya. Illiza boleh saja mengklaim Banda Aceh sebagai kota terbaik. Tapi jumlah pengangguran terbuka berjumlah 12% adalah aib yang nyata. Hanya 3-5% penggangguran terbuka yang masuk akal untuk sebuah kota. Lebih dari itu adalah kegagalan. Sikap primordialis yang ditunjukkan itu akan membuat banyak pihak --salah satunya investor-- gerah.Â
Contoh kecil adalah polemik soal bioskop. Mungkin bioskop sebenarnya tak dilarang oleh Pemko. Kenyataan yang ada, seperti pengakuan mereka, belum ada investor yang datang mengajukan izin membangun bioskop. Namun, asal muncul dari api toh. Dari beragam isu primordialis yang berkembang, dengan polemikmnya, selama ini kesan ketiadaan jaminan bila seorang investor hendak membangun bioskop. Ketiadaan jaminan, (keamanan, kesinambungan, dst) adalah mimpi buruk bagi Investor. Tak ada usaha baru, maka tak ada lapangan kerja.Â
Bioskop adalah satu dari sekian banyak fakta soal itu. Moderat menghubungkan sikap primordialis dengan sudut padangan ekonomi dan itu selalu berhubungan. Sementara primodialis melihat sudut pandangnya dengan syariat Islam yang kaffah. Bertolakbelakang. Jumlah kaum moderat ini tak banyak, tapi ada, dan mereka memiliki pandangan logis dan akan cepat mempengaruhi lawan bicara mereka, kala mereka memberi argumen untuk tidak memilih walikota ini memerintah lagi. Kacaunya, media, dan pemilik media biasanya dipimpin oleh kalangan moderat. Jelas, dari sini Illiza telah kehilangan dukungan media.
Selebihnya adalah faktor kesuksesan Aminullah Usman sendiri yang dengan gerilya dan gerakan bawah tanahnya, berhasil mengontrol suara pemilih di setiap desa dan kecamatan.Â