Ketika Ferry Santoro, wartawan RCTI disandera oleh Gerakan Aceh Merdeka dan sebelumnya menewaskan rekannya, Ersa Siregar, dalam upaya negosiasi, Jakarta mengirimkan beberapa orang terbaiknya, salah satunya Nezar Patria, wartawan Tempo dan sekaligus orang Aceh (sekarang telah menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi). Ia bercerita, sekali waktu terjadi kebuntuan hingga membuat para negosiator ikut terancam. Salah satunya karena TNI menolak genjatan senjata. Namun pada akhirnya, TNI melunak dan mau menunjukkan sikap aspiratifnya, dan kelak mempermudah negosiator untuk mewujudkan harapan mereka. Akhirnya, Ferry pun dibebaskan oleh GAM.
Gaya komunikasi yang berubah dari satu titik keras ke lembut adalah kunci dalam mencapai terwujudnya harapan. Hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dalam kebuntuan menyelesaikan konflik DI/TII (1953-1962), akhirnya Daud Beureueh bersedia turun gunung setelah Pangdam Iskandar Muda kala itu, melunak dan dalam suratnya memanggil Daud Beureueh dengan istilah "ayah" atau "Ayahanda." Hati Daud tersentuh, dan ia pun ikut melunak, hingga akhirnya terjadilah Ikrar Lamteh yang menandai berarkhirnya pemberontakan Aceh untuk membentuk Negara Islam di Aceh.
Komunikasi juga ternyata tidak hanya bicara soal lunak-melunak atau bersikap santun beretika. Komunikasi yang dapat mewujudkan keinginan dapat terjadi dari gestur. Saat terjadi peristiwa Holocaust (dan mohon jangan kaitkan soal perang Israel-Hamas karena kita bukan bicara dalam konteks itu), seorang tawanan selalu memberikan senyum kepada seseorang saat melintasi rumahnya. Siapa tahu ternyata yang memberi senyum adalah seorang Yahudi dan yang disenyumi adalah tentara Jerman yang kelak menawannya. Ketika si pemberi senyum akan dibantai hari itu, si tentara melepaskannya dan menyuruhnya pergi, karena hanya perkara senyum-menyenyum itu. Itulah sebuah dampak komunikasi gestur.
Andai saja semua orang paham pentingnya komunikasi, komunikasi harusnya diajarkan sejak dini, sejak SMP. Karena sehebat apapun seseorang dengan bidangnya, tanpa kemampuan komunikasi, maka ia tidak akan maksimal mencapai tujuannya. Ia paham, ia telah melahirkan produk luar biasa. Tapi karena gagap saat mempresentasikannya, orang yang mendengar tidak mengerti keunggulannya, sehingga produk itu tidak dianggap apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H