Beberapa  waktu yang lalu seorang pesohor menikah di Aceh. Beberapa teman  bertanya, kok bukan kamu yang mendokumentasi video wedding-nya.
Sekarang kalimat, saya jawab, "Emangnya saya pemilik Banda Aceh, semua wedding harus pakai jasa saya."
Maklum saja mereka bertanya demikian, karena, nyombong dikit ya, ada  sebagian orang-orang "penting" yang anaknya menggunakan jasa saya,  termasuk sekali waktu mendapatkan sub pekerjaan untuk mendokumentasi  kegiatan Tenda Cinta Kahiyang-Bobby, untuk pernikahan anak presiden  Jokowi di Medan.
Alasannya untuk tidak sesuai harapan mereka yang bertanya tentu dapat  saya jelaskan dengan mudah, selain karena sistem jasa seperti itu  menggunakan pola pendekatan personal, seperti fotografer saudara atau  tetangga si pengantin, atau sudah berlangganan, atau kerabat kantor ayah  si pengantin, dan lain sebagainya, juga ada alasan internal saya, yaitu  bahwa pada 2018 ini saya berusaha mulai tidak fokus lagi di wedding. Wedding hanya saya buka 1 pekerjaan setiap bulan dan hanya di awal  tahun. Begitu pula APBA diketuk (biasanya pada Maret-April), saya  langsung fokus ke pekerjaan dinas.
Alasan terakhir, nah ini yang akan kita akan bahas panjang,  pekerjaan-pekerjaan pernikahan itu, khususnya untuk pelanggan menengah  atas, biasanya ada sebuah ketidaknyamanan yang rada melanggar prinsip,  dan bagi saya itu rada krusial.
Apa itu?
Kaum menengah atas, biasanya segala urusan pernikahan mereka  diserahkan kepada penyelenggara pernikahan atau wedding organizer (WO). Tidak mau ribet dan ingin terima beres adalah alasan utama. WO yang  diminta mengatur semua kebutuhan, mulai dari pelaminan, make-up, foto, video,  gedung, catering. Semua.
Nah, urusan dengan WO inilah yang bikin saya malas untuk menggarap wedding. Saya memiliki pengalaman bekerja sama dengan beberapa WO yang  lancung. Salah satunya adalah masalah harga. Mungkin lebih nyaman, jika  ada WO yang nanya penawaran kita, lalu misalnya kita memasukkan angka  rupiah wedding-nya ke dia, misalnya 10 juta. Urusan kemudian dia memark-upnya adalah urusan dia. Tentu kita paham WO juga butuh fee.
Tapi, yang jadi masalah adalah, menarik fee dengan jumlah yang tak  wajar, atau berbohong dengan nilai jasa sebenarnya. Itu yang bikin  kepala saya panas. Kalau misalnya, harga kita sepuluh juta, lalu dia  memark-up 500 ribu atau satu juta, itu sih gak masalah. Tapi yang  terjadi, WO menjatah bahwa dia hanya punya uang untuk videografi senilai  6 juta, lalu dia meminta-minta tolong dengan alasan bahwa budget memang  minim dengan segala alasan.
Karena kita berpikir keberlanjutan sebuah kerja sama yang baik, dan  mengira memang menilai budget-nya memang segitu, ya kita terima dengan  melakukan beragam penyesuaian dan penghematan. Tapi, belakangan, kebongkarlah kedok ternyata si WO mematok jasa videonya itu adalah jauh  diatas nilai 6 juta itu. Misalnya memang 10 juta, seharga penawaran  kita. Dia menilep 4 jutanya. Itu sungguh kampret, saudara-soaudara. Masalahnya, dengan harga 6 juta, kita sudah melakukan beragam penyesuaian, mengurangi ini dan itu, sehingga juga mengurangi kualitas.Â
Sementara, klien, dengan membayar 10 juta, mereka akan mengira kita  mengerjakan pekerjaan dengan kualitas 10 juta. Disinilah bentrok sering  terjadi, klien komplain, kenapa kualitasnya kok tidak seperti contoh  video. Nilai pembayaran video itu bukan sering kebongkar disitu. Saya  tentu saja akan berkata seadanya bahwa jasa saya dibayar jauh dibawah  standar. Klien marah pada WO. WO marah pada saya. Kerja sama bubar. Klien  tidak pernah pake WO itu lagi. WO itu tidak pernah pake jasa saya lagi.  Haha.