Mohon tunggu...
Hendradi Hardhienata
Hendradi Hardhienata Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Dr. rer. nat. Fisika Teoretik dari Universitas Linz, Austria. Anggota himpunan keilmuan: Indonesian Optical Society (INOS), Austrian Physical Society (OePG) dan Optical Society of America (OSA).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arah Politik Riset dan Teknologi Indonesia: Mendambakan Revolusi Teknologi dan Sains di Bumi Pertiwi

4 Oktober 2014   12:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:25 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini bertujuan untuk menggugah diri kita.

Pada tahun 1873,  sebanyak 14% anggaran kementrian pendidikan Jepang dihabiskan untuk mendatangkan dan menggaji 400 Professor berkelas dalam projek yang berdurasi 50 tahun (!!!) untuk mengajar di Univ2 ternama Jepang bahkan mendirikan technical college khusus untuk mengajar orang Jepang. Lulusannya kemudian dikirim ke luar negeri untuk belajar lebih lanjut (hingga post doc.). Tahap kedua dimulai dengan membangun imperial universities dimana pemerintah menjembatani SDM berkualitas yang belajar di luar negeri untuk bekerja dan memajukan industri di dalam negeri Jepang dimulai dari industri berteknologi menengah namun bervisi kemandirian...semua ini sudah dijalankan sebelum perang dunia dimulai. Tahap ketiga dimulai dengan spesialisasi riset  besar besaran dengan dana kuat dari pemerintah jepang baik didalam maupun diluar universitas semisal universitas metalurgi di Tohuku dan kimia di Kyoto. Semua program ini bisa sukses karena dua hal, budaya belajar keras hingga menghasilkan scientist2 top dan fasilitasi penuh dari pemerintah. Kita jangan hanya menyalahkan pemerintah dan politisi, mau sebanyak apapun dana yang digelontorkan, tanpa SDM yang top dan mendatangkan ilmuwan top tidak akan bisa terbentuk pusat pusat riset berkelas. Ini saya baca dari artikel jurnal  yang ditulis Tetsuya Kobayashi: http://www.jstor.org/stable/3446454?seq=1

Dalam percakapan dengan seorang ilmuwan fisika eksperimentalis Jerman saya pernah bertanya...apa rahasia kesuksesan institut Max Planck yang kesohor itu. Ia menjawab bahwa tujuan utama didirikan Max Planck institut adalah untuk mendatangkan ilmuwan2 top dari seluruh dunia untuk membangun riset di Jerman sehingga disana hampir selalu digunakan bahasa Inggris (karena lebih banyak orang asing). Saya bertanya, mengapa tidak diisi orang jerman saja? Dijawab: tidak cukup, ilmuwan bintang hanya ada sedikit dan mereka dari manca negara tidak cukup hanya dari Jerman. Maka didatangkanlah ilmuwan2 top termasuk Manuel Cardona dari USA  atau baru baru ini Prof. Ali Alavi dari Univ. Cambridge untuk menjadi direktor MPI solid state research di Stuttgart. Tidak ada jabatan lebih prestisius dalam bidang sains yang bisa ditawarkan Jerman diatas direktur MPI :). Di sisi lain, banyak Prof. fisika material top di jerman sebenarnya berasal hanya dari beberapa cluster saja salah satu diantaranya (material science) adalah dari Fritz Haber Inst. yang dulunya diberkati oleh fisikawan bintang semacam Max Laue, Fritz Haber, Otto Hahn, dan Eugene Wigner. Murid murid mereka kemudian belajar ke manca negara dan menjadi Prof. di seluruh Jerman bahkan membentuk cluster2 sendiri di Achen, Berlin, Humboldt Univ. bahkan hingga Linz.

Membangun warisan dan cluster ilmiah ini membutuhkan kerja keras dan skema yang jelas.  Pengambil kebijakan di atas harus memahami ini, beranikah kita membuat grand sceme berdurasi 50 tahun, tidak hanya mengirimkan ribuan SDM ke luar negeri tetapi berkelanjutan.... seperti pemerintah Jepang dan membangun cluster2 riset dengan mendatangkan scientist bintang selama katakanlah 5 - 10 tahun dengan target ketat publikasi dan paten yang berkelas? Ini tentu tidak mudah karena uangpun belum tentu bisa mendatangkan seorang scientist bintang kecuali  hanya untuk satu dua tahun dengan harapan ada SDM indonesia yang kemudian bisa berguru pada ybs dan ketika kembali segera difasilitasi dengan syarat publikasi internasional agar tidak mandek di gelar Dr-nya. Yang  jelas tidak ada yang tak mungkin, dan suatu saat akan tiba giliran Indonesia (masalahnya adalah: kapan?). ..

Untuk saat ini kita harus mengembangkan diri masing masing sebaik mungkin dengan membangun kultur ilmiah yang kondusif agar momentum itu semakin dekat. Kita sudah menunjukkan di Olimpiade Fisika bahwa SDM kita tidak kalah, sekarang adalah bisakah kita membangun kultur ilmiah itu hingga ke riset yang konkrit seperti Jepang dulu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun