Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, "berempati" atau mempunyai empati artinya apabila seseorang mampu memahami perasaan dan pikiran orang lain. Always put yourself in others' shoes. If you feel that it hurts you, it probably hurts the other person, too. Tempatkan dirimu pada posisi orang yang kamu fitnah, kamu aniaya, kamu cela.
Manusia paripurna Rasulullah Muhammad SAW senantiasa berempati dalam hidupnya. Beliau SAW tahu persis dan sangat pintar memahami perasaan dan pikiran orang lain. Akhalul karimah dan kegeniusan Beliau SAW itu ditunjukkannya ketika seorang pemuda jujur tapi nyeleneh datang kepada Beliau SAW.
"Wahai Rasulullah, perintahkanlah padaku berjihad di jalan Allah maka akan aku jalankan. Atau perinahkanlah apapun yang Allah inginkan. Tapi ijinkan aku dalam satu hal."
Tahukah apa "satu hal" yang diminta pemuda itu? Berzina. Ya, dia mau melakukan apapun yang agama Islam ajarkan asalkan dia juga dibolehkan untuk berzina. Menggauli wanita yang bukan muhrimnya semau-maunya dia. Tetangganya, pembantunya, bossnya. Siapapun yang dia merasa suka kepada perempuan itu, dia boleh berhubungan intim dengannya.
Dengan senyum bijaksana Rasulullah SAW berkata, "Bagaimana jika yang berzina itu adalah ibumu." Sebuah kalimat pendek yang membuat kening pemuda itu berkerut. Tentu pikirnya, kalau dia berzina tentu harus ada wanitanya. Terbayang olehnya jika wanita itu adalah ibunya. Seperti yang ditulis di awal, "Always put yourself in other's shoes". Pelajaran empati yang sangat berharga dari Rasulullah SAW. Jika pemuda itu hanya menempatkan posisinya sebagai pihak laki-laki yang berzina dengan perempuan tadi tentu biasa-biasa saja, tapi tidak jika dia menempatkan dia sebagai anak dari wanit pasangan zinanya.
"Bagaimana yang berzina itu adalah adik atau kakak perempuanmu, atau bahkan putrimu?" Pertanyaan lanjutan dari Rasulullah SAW yang tambah membuat dahi pemuda itu lebih berkerut lagi.
Kiisah pemuda itu memberi pelajaran lebih kepada kita. Ketika kita dengan entengnya mengolok-olok orang lain, coba sesekali tempatkan diri kita di posisi orang itu. Maukah kita menerimanya? Marilah kita tempatkan diri di posisi Presiden Jokowi yang mengurusi hampir 250 juta lebih penduduk Indonesia. Sementara kita dengan mudahnya mengolok-olok beliau sebagai pemimpin yang tidak bisa dipegang omongannya. Antek asinglah, kurang kompetenlah, hanya petugas partailah. Kata-kata yang buat kita mungkin enteng saja diucapkan. Lalu bagaimana jika yang diolok-olok itu adalah orang tua kita? Bahkan kenyinyiran kita kadang menutupi apapun kebaikan yang telah diperbuat oleh Pak Jokowi. Yang ada hanyalah keburukan dan keburukan.
Saat ini marak kasus prostitusi online di Indonesia. Jika sebagai pemimpin, Pak Jokowi tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya dan diam saja, maka ketahuilah bahwa dosa setiap orang yang berzina akan juga menjadi tanggungjawab beliau. Begitu beratnya beban Pak Jokowi, masih tegakah kita mengolok-oloknya? Ayo coba kita berempati. Tempatkan diri kita di posisi pemimpin seperti Pak Jokowi. Jangan cuma pikirkan fasilitas yang beliau dapat, tapi tanggung jawab yang besar tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Wallahu 'alam wishawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI