Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tersangka Bebas oleh Putusan Praperadilan

3 Februari 2015   19:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada tiga hal yang menarik dari peristiwa praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan. Tiga hal itu adalah: (1) obyek perkara tentang penetapan tersangka; (2) tempat berlangsungnya persidangan yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; dan (3) Salah satu kuasa hukum : Maqdir Ismail. Menariknya, ketiga hal itu sama persis dengan perkara praperadilan yang pernah terjadi pada tahun 2012. Perkara yang pernah disingung sekilas oleh beberapa pengamat dan ahli hukum yaitu perkara bioremediasi.

Ringkas ceritanya begini: Bachtiar Abdul Fatah diduga melakukan tindak pidana korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.Bachtiar Abdul Fatah adalah mantan General Manager SLS Operation di perusahaan itu. Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Setelah melalui beberapa kali pemeriksaan, tanggal 12 Maret 2012, Bachtiar Abdul Fatahditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan DirekturPenyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung. Tidak menerima dirinya ditetapkan sebagai tersangka, Bachtiar mengajukan permohonan praperadilan ke pengadilan negeri Jakarta Selatan. Bachtiar memberi kuasa hukum kepada Maqdir Ismail.

Singkat cerita, pada tanggal 27 November 2012 keluarlah putusan pengadilan. Saat itu hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan adalah Suko Harsono. Dalam putusan tersebut dinyatakan penetapan Bachtiar sebagai tersangka tidak sah. Dan memerintahkan termohon (Kejaksaan Agung) untuk memulihkan harkat dan martabat pemohon. Putusan praperadilan pengadilan negeri Jakarta Selatan No.: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel itu sontak membuat geger dunia hukum (sumber).

Atas putusan tersebut Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengadilan Negeri. Tetapi memori banding itu ditolak karena setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi, ketentuan banding dalam praperadilan sudah tidak dikenal lagi. Jampidsus Andhi Nirwanto tak tinggal diam. Dia kemudian melayangkan surat ke Mahkamah Agung (MA).

Singkat cerita, pada 21 Maret 2013, Badan Pengawas MA mengeluarkan Surat Nomor: 316/BP/Eks/03/2013. Pada pokoknya isi surat itu menerangkan bahwa hakim Suko Harsono terbukti melanggar kode etik hakim karena telah melanggar undang-undang dengan memperluas objek praperadilan. Atau masuk dalam katagori kategori unprofessional conduct (tindakan yang tidak profesional) dengan membuat keputusan sah/tidak sahnya penetapan seorang tersangka yang secara limitatif telah diatur dalam KUHAP. Atas pelanggaran ini , hakim Suko Harsono dipindahkan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Negeri Ambon. Istilah MA suatu bentuk sanksi demosi.

Dengan surat Badan Pengawas MA tersebut, Kejaksaan Agung tetap melanjutkan proses perkara Bachtiar dan dilimpahkan ke pengadilan. Maqdir Ismail mengajukan protes dengan alasan bahwa putusan praperadilan telah mencabut status tersangka Bachtiar. Maqdir Ismail melayangkan surat ke MA. Maqdir melaporkan pelanggaran hukum itu ke MA pada 6 November 2013. Dalam laporannya, kuasa hukum Bachtiar itu meminta MA untuk membebaskan Bachtiar dari tahanan dan menghentikan proses peradilan yang berlangsung. Tapi hingga vonis dijatuhkan kepada Bachtiar, surat jawaban MA juga tidak kunjung datang. Meski berkali-kali hal ini disampaikan Maqdir di persidangan, jaksa dan hakim bergeming. Jaksa dan hakim terus saja menyidangkan perkara bioremediasi dengan terdakwa Bachtiar, tanpa pernah menyinggung putusan praperadilan yang telah membebaskan karyawan PT CPI itu dari statusnya sebagai tersangka. Selesai !.

ANALISIS

Pertama, nampaknya Komjen Budi Gunawan sengaja memberikan kuasa hukum kepada Maqdir Ismail yang punya sejarah menang dalam praperadilan yang menggugat penetapan tersangka.Boleh dibilang, inilah perkara satu-satunya di Indonesia praperadilan dengan obyek perkara penetapan sebagai tersangka dikabulkan pengadilan. Keberhasilan itu tidak lepas dari peran Maqdir Ismail sebagai kuasa hukum.

Kedua, Kejaksaan Agung terkesan tidak mengikuti perkembangan hukum dengan melakukan banding ke pengadilan tinggi. Banding dilakukan pada November 2012. Padahal pada bulan Mei 2012, MK telah mecabut Pasal 83 ayat (2) KUHAPyang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan.

Ketiga, Dari surat Badan Pengawas MA tanggal 21 Maret 2013, secara jelas MA berpandangan bahwa gugatan praperadilan dengan obyek perkara penetapan sebagai tersangka tidak bisa dibenarkan. Hakim Suko Harsono telah membuat putusan memperluas obyek perkara diluar ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karenanya MA memberi sanksi demosi kepada Suko Harsono.

Keempat, Baik Kejaksaan Agung, hakim yang menyidangkan perkara, dan MA seakan “menyetujui” bahwa putusan praperadilan itu batal demi hukum. Ditandai dengan upaya Kejaksaan yang terus melimpahkan perkara ini ke pengadilan; hakim yang tidak mengubrik protes Maqdir di persidangan dan tidak ada jawaban surat dari MA. Padahal secara normatif tidak demikian. Dengan dibebaskannya Bachtiar sebagai tersangka dengan putusan praperadilan, seharusnya Kejaksaan tidak bisa melimpahkan perkara ini ke pengadilan. Karena menurut Pasal 140 ayat (1) jo. 143 ayat (1) dan (4) KUHAP bahwa proses penuntutan dan pelimpahan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum hanya dapat dilakukan terhadap tersangka.

Lebih daripada itu Surat Badan Pengawas MA secara formil dan materiil tidak (bisa) membatalkan putusan praperadilan. Surat itu hanya menerangkan bahwa hakim telah melakukan tindak pelanggaran kode etik. Dengan berpegang pada asas Res Judicata Pro Veritate Accepiture, hanya pengadilan yang lebih tinggi yang dapat membatalkan putusan pengadilan dibawahnya. Surat Badan Pengawas MA tidak bisa diartikan identik dengan putusan MA sebagai lembaga peradilan.

Hal ini juga berlaku dan pernah terjadi pada kasus Akil Mochtar di MK. Meskipun hakim konstitusi Akil Mochtar terbukti menerima suap sebelum menjatuhkan putusan tetapi putusan MK tersebut tidak sertamerta dinyatakan batal.

Kelima, nampaknya Komjen Budi Gunawan melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail ingin melakukan “perjudian hukum”.Andai putusan praperadilan itu akhirnya sama seperti perkara tahun 2012, hakim Sarpin Rizaldi bisa terkena sanksi administrasi dari MA. Tetapi tidak membatalkan putusan praperadilan yang menyatakan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka tidak sah. Putusan ini yang lebih dipentingkan ketimbang mempertimbangkan nasib hakim Sarpin nantinya. Menurut saya jika hal ini terjadi, KPK agak sulit untuk “berjudi” seperti Kejaksaan Agung saat dulu dengan mengabaikan putusan praperadilan dan tetap ngotot melimpahkan perkara Komjen Budi Gunawan ke Tipikor.

Inilah ironi dunia hukum kita. Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun