Tulisan ini merupakan tanggapan kepada saudara Triwisaksana, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Syukur Alhamdulillah, Triwisaksana menjadi warga kompasiana sehingga opini dan reportase dapat disalurkan lewat blok kroyokan ini. Tanggapan saya atas artikel Triwisaksana yang berjudul Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok: Menyeimbangkan Informasi. Membaca opini tersebut, topik tulisan Triwisaksana terkait dengan APBD DKI Jakarta 2015 dimana Triwisaksana terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, saya menempatkan Triwisaksana sebagai pihak yang terlibat dalam topik tulisan itu. Sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana bukalah kompasioner biasa yang mayoritas berada di luar topik tulisan. Tulisan ini menanggapi dua hal (1) isi artikel yang ditulis dan (2) posisi Triwisaksana sebagai pihak yang terlibat (DPRD).
Saya punya tanggapan beda atas isi tulisan Triwisaksana itu. Tetapi saya harus memberi penegasan terlebih dahulu. Tulisan ini berupa tanggapan bukan sanggahan atau bantahan. Saya tidak membantah atau menyanggah isi tulisan itu karena saya bukan pihak yang berkompeten untuk memberi bantahan atau sanggahan. Saya sebatas memberi tanggapan atas isi tulisan tentang evaluasi Mendagri atas APBD DKI 2015.
Menurut saya tidak ada yang istimewa atas evaluasi Mendagri itu. Baik dari isi mapun peristiwa evaluasi itu bukanlah sesuatu yang aneh. Justru menjadi aneh apabila Mendagri tidak melakukan evaluasi Raperda APBD disebabkan evaluasi adalah amanat undang-undang yang diberikan kepada Mendagri. Peristiwa evaluasi oleh Mendagri atas Raperda APBD terjadi saban tahun dan untuk semua pemda provinsi seluruh Indonesia. Jadi apa yang ganjil atas evaluasi Mendagri atas Raperda APBD DKI Jakarta 2015?Tidak ada sama sekali.
Seperti disebut di atas, baru menjadi aneh bin ganjil jika Mendagri tidak melakukan evaluasi. Pertanyaannya, mengapa Mendagri “hanya” melakukan evaluasi RAPBD 2015 versi Pemdaprov DKI Jakarta. Berkas yang disampaikan oleh Pemdaprov pada 4 Februari 2015. Mengapa Mendagri tidak melakukan evaluasi RAPBD versi DPRD DKI Jakarta yang disampaikan pada 10 Februari 2015. Berkas draft APBD yang diklaim oleh anggota DPRD hasil pembahasan dan persetujuan bersama? Menurut saya, seharusnya Triwisaksana membeberkan keganjilan ini. Apakah Mendagri berpihak kepada Ahok dan membuang begitu saja berkas RAPBD versi DPRD? Sebab jika dianggap berkas RAPBD versi DPRD yang diklaim hasil pembahasan dan persetujuan bersama, seharusnya Mendagri mengevaluasi berkas dokumen tersebut. Tapi, faktanya malah mengevaluasi berkas RAPBD versi Ahok.
Dari isi dan uraian evaluasi Mendagri pun saya tidak menemukan hal-hal yang istimewa. Jika Triwisaksana menyatakan tulisan tersebut untuk menyeimbangkan informasi, sudah banyak media massa online mewartakan poin-poin evaluasi Mendagri tersebut. Jadi apa yang ditulis oleh Triwisaksana bukan sesuatu yang baru.
Saya mengatakan tidak istimewa, karena hampir semua evaluasi Mendagri atas APBD setiap tahun dan semua provinsi di Indonesia selalu memunculkan temuan-temuan ketidakwajaran. Karena pada dasarnya evaluasi untuk menguji kesesuaian Raperda Provinsi tentang APBD dengan ketentuan perundang-undangan, kepentingan umum, RKPD serta KUA dan PPAS; danRPJMD. Inilah alat ukur untuk sampai pada sebuah kesimpulan ketidakwajaran itu. Bahkan Mendagri bisa membuat rekomendasi untuk membatalkan jika mata anggaran dianggap tidak rasional dan tidak efisien.
Saya ingin membandingkan dengan evaluasi Mendagri atas APBD 2015 provinsi Jawa Barat. Dalam evaluasinya, Mendagri memberi rekomendasi untuk menghapus sekitar Rp 8-10 triliun alokasi APBD 2015 Provinsi Jawa Barat. Anggaran hingga Rp 10 triliun terkoreksi. Dengan total APBD Jawa Barat sekitar Rp 15 triliun, dengan terkoreksi sebesar Rp 10 triliun atau 67%, membuat struktur APBD Jawa Barat berubah total. Beberapa pos anggaran yang terhapus diantaranya anggaran untuk alokasi bansos, hibah, bantuan keuangan kabupaten/kota, perjalanan dinas dan lainnya.
Hal serupa terjadi pada evaluasi APBD 2015 provinsi Banten. Ada enam koreksi yang dilakukan oleh Mendagri terhadap APBD Banten 2015, yakni pertama terkait sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) yang dinilai tidak akurat. Kedua, alokasi anggaran hibah dan bansos yang kurang efisien; ketiga, terkait bantuan keuangan bagi kabupaten/kota yang tidak didasari pertimbangan yang matang; keempat, anggaran perjalanan dinas yang tidak efisien; kelima, rapat di hotel yang harus dihilangkan; dan keenam, kegiatan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang perlu mempertimbangkan skala prioritas. Akibatnya 38 SKPD Pemprov Banten melakukan perombakan total atas mata anggarannya. Dan khusus untuk anggaran prioritas seperti pendidikan, Mendagri memberi catatan kritis bahwa alokasi anggaran tidak mencapai angka 20 persen.
APBD 2015 propinsi DI Yogyakarta mendapat evaluasi dari Mendagri antara lain pada biaya perjalanan dinas yang totalnya mencapai Rp 97,2 miliar. Jumlah anggaran perjalanan dinas itu mencapai 2,65 persen dari total APBD DIY sebesar Rp 3,3 triliun. Oleh Mendagri, alokasi ini dipangkas dan dialihkan ke bidang kesehatan dan peningkatan sarana dan prasarana publik.
Begitu pula dengan APBD 205 propinsi Jawa Tengah yang dipangkas langsung mencapai Rp 66 miliar. Diantaranya alokasi anggaran untuk tambahan penghasilan pegawai. Biaya TPP yang semula Rp 1,1 triliyun mengalami pemangkasan paling besar hingga Rp 34 miliar. Pemangkasan lain terjadi, diantaranya pada perjalanan dinas Rp 1,8 miliar, honorarium PNS Rp 1,5 miliar, dan alat tulis kantor (ATK) Rp 550 juta. Pemangkasan dialihkan untuk program prioritas seperti anggaran infrastruktur, ketahanan pangan, serta pelayanan pengaduan masyarakat terkait informasi teknologi.
Contoh perbandingan propinsi-propinsi lain di atas hanya untuk menunjukan bahwa evaluasi APBD 2015 DKI Jakarta oleh Mendagri bukan suatu yang istimewa dan aneh. Aneh karena dianggap adanya temuan-temuan ketidakwajawaran. Karena semua APBD provinsi yang dievaluasi Mendagri selalu ditemuan ketidakwajawaran. Ketidakwajaran karena penempatan nomenklatur yang tidak tepat, tidak adanya payung hukum, tidak berpihak pada kepentingan masyarakat atau tidak rasional dan efisien.
Saya justru melihat ketidakwajaran -- meminjam istilah Triwaksana -- pada artikel yang ditulis oleh Triwisaksana sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Rupa ketidakwajaran antara lain:
Pertama, Jika begitu banyak catatan, koreksi serta temuan-temuan yang dihasilkan dari evaluasi oleh Mendagri, mengapa hal ini luput dari pembahasan DPRD sebelumnya? Mengapa yang menemukan “ketidakwajaran” itu Mendagri bukan DPRD? Jika DPRD mengatakan bahwa draft APBD itu bukan hasil pembahasan, bisa dibandingkan dengan draft APBD versi DPRD. Dalam draft APBD versi DPRD ditemukan diantaranya belanja pegawai dan belanja premi yang sama. Dua alokasi anggaran ini yang justru dikoreksi oleh Mendagri. Lalu apa tugas DPRD selama ini?
kedua, Triwaksana mengatakan draft APBD versi Ahok tidak berorientasi pada masyarakat khususnya dalam penanggulangan masalah banjir dan kemacetan. Faktanya, draft APBD versi DPRD alokasi anggaran yang dipangkas dan dialihkan ke mata anggaran lain tidak terkait dengan program penanggulangan masalah banjir dan kemacetan. Apa yang dikemukakan oleh Triwaksana seperti memercik air ke muka sendiri.
Ketiga, bila Triwaksana hendak bertindak adil dan proporsional, seharusnya dia membuat perbandingan draft APBD versi Ahok dan APBD versi DPRD. Sebagai informasi Ainun telah membuat situs kawalapbd.org untuk membandingkan dua draft APBD yang beda. Triwaksana dapat menggunakan indikator berupa kemampuan teknis penyusunan anggaran, landasan hukum dalam penyusunan APBD, program unggulan untuk mengatasi masalah Jakarta dan asas kewajaran yang disebut dalam tulisan itu. Bandingkan kedua draft APBD itu. Bisa jadi Triwaksana punya alasan lain bahwa alokasi anggaran untuk pengadaan UPS per kelurahan hingga Rp 5 miliar itu dianggap wajar.
Keempat, ada ketidakwajaran Triwaksana membuat opini atas evaluasi APBD 2015. Seolah-olah menggambarkan bahwa Triwaksana adalah pihak luar (kompasioner biasa) yang berada di luar topik yang dia tulis. Triwaksana yang termasuk anggota Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta, punya wewenang untuk melakukan pembahasan bersama atas evaluasi yang dilakukan oleh Mendagri itu. Temuan-temuan dan koreksi yang dilakukan oleh Mendagri menjadi bahan bagi Banggar DPRD untuk menjalankan tugasnya. Jadi tugas Triwaksana bukan membuat opini tapi menindaklanjuti temuan-temuan itu karena dia berwenang melakukannya. Itulah bagian dari fungsi pengawasan DPRD terhadap cabang kekuasaan eksekutif. Sungguh tidak wajar sebagai Badan Anggaran DPRD jika tidak mau melakukan pembahasan bersama dengan Pemda Provinsi DKI Jakarta, enggan menindaklanjuti temuan-temuan Mendagri tetapi justru bertindak seperti orang di luar garis kekuasaan membangun opini. Opini yang bernada “evaluasi”. Jadi ganjil hasil evaluasi Mendagri dievaluasi oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti evaluasi itu.
Demikian tanggapan saya. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H