Tulisan ini kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Mafia Migas dibalik Isyu BBM”
Saya tidak ingin terjebak pada pilihan mengurangi subsidi BBM atau tidak. Saya pun tidak ingin larut pada polemik pro kontra atas kebijakan Jokowi yang akan megurangi subsidi BBM. Sebab masalahnya bukan terletak pada besar kecilnya subsidi BBM pada anggaran negara. Dan juga bukan terletak pada kebijakan Presiden SBY atau Jokowi. Ini masalah klasik. Siapapun Presidennya akan menghadapi situasi yang serupa. Sejak Presiden Suharto sampai Presiden SBY, selalu saja – hampir setiap tahun anggaran – kenaikan harga BBM menjadi persoalan. Dan semua Presiden, mau tidak mau harus menempuh langkah tidak populer dengan menaikan harga BBM. Inti masalahnya terletak pada cara pandang. Penggunaan paradigma dalam pengelolaan anggaran negara.
Tanpa sadar, publik terbawa pada arus pemikiran yang menyatakan bahwa defisit anggaran disebabkan oleh besarnya subsisdi. Dibalut dengan retorika politik, pemerintah tidak mampu menjalankan program pembangunan karena terganjal oleh besarnya subsidi BBM. Sekali lagi, publik diseret pada pilihan Pemerintah untuk setuju dan menjustifikasi pemangkasan subsidi. Terlebih dengan mengatakan subsidi BBM salah sasaran dan hanya orang kaya penerima manfaat terbesar.
Subsidi tidak bisa dilihat sebagai “niat baik” negara untuk membantu warganya. Subsidi tidak bisa juga dipandang hanya item pembiayaan dalam belanja negara. Yang kedudukannya sama dengan item pembiayaan lainnya.Subsidi – apapun bentuknya dan alokasi bidang apapun – merupakan tanggungjawab negara. Kewajiban negara kepada warganya tertampang dalam wujud namanya: subsidi. Subsidi adalah penjelmaan norma konstitusi (UUD 1945) untuk terciptanya Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Konstitusi telah mengamanatkan bentuk dari negara kesejahteraan yang dipilih (welfare state). Konstitusi tidak sedikitpun memerintah negara untuk tunduk pada asas pasar bebas. Negara harus melindungi warga negaranya. Harus mensejahteraan rakyatnya. Dan subsidi itu salah satu bentuk perwujudannya. Artinya. bicara subsidi, bicara konstitusi. Amanat konstitusi kepada penyelengara negara untuk mensejahteraan rakyat. Konstitusi tidak memilah-milah kasta dan kelas warga negara: kaya atau miskin. Angaplah semua warga negara dianggap kaya semuanya (ukuran kaya tergantung masing-masing institusi negara) tidak bearti hilangnya tanggungjawab negara untuk terus melindungi dan mensejahterakan rakyat.
Bila demikian, item subsidi yang terdapat dalam mata anggaran, harus dilihat sebagai amanat konstitusi. Tidak peduli subsidi itu untuk kelas kaya, miskin, laki-laki, perempuan, Jawa, Luar Jawa. Tidak ada pemilihan kelas, golongan, kasta dalam konstitusi. Pada dasarnya alasan subsisdi salah sasaran hanya sekedar alasan pembenar, agar subsidi bisa dicabut. Dengan kata lain negara menghindar dari tanggungjawab konstitusionalnya.
Hal kedua, subsidi BBM dianggap beban dan biang kerok dari masalah defisit anggaran. Subsidi seperti anak tiri yang dititipkan dan membuat beban. Pertanyaannya: apakah pemangkasan subsidi BBM akan menyehatkan dan menyelamatkan kas negara? Apa benar, pencabutan subsidi akan dengan sendirinya terbuka ruang fiskal dan ada celah untuk alokasi program lain?
Untuk menjawabnya, harus diteliti dulu, apa sesungguhnya penyebab defisit anggaran? Apakah karena adanya item subsidi? Padahal subsidi –secara teknis – hanya satu bagian dari seluruh komponen anggaran. Bagaimana dengan cicilan hutang luar negri? Mengapa hal ini tak pernah disinggung, menjadi salah satu penyebab defisit anggaran. Dan tak bosan-bosannya pmerintah melakukan gali lobang tutup lobang. Dari hutang ke hutang. Atau adakah yang mempermasalahkan, alokasi dana rutin seperti belanja pegawai yang setiap tahun meningkat. Terjadi paradoks, di satu sisi melakukan penghematan dengan menekan dan mengurangi subsidi tapi disisi lain, pemerintah setiap tahun memperluas penerimaan CPNS. Yang berakibat alokasi anggaran rutin semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Rumus defisit sangat sederhana: pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Tapi mengapa hanya mempermasalahkan pengeluaran dengan upaya penghematan. Adakah pemerintah mempermasalahkan rendahnya penerimaan negara. Di negara-negara penganut negara kesejahteraan, subsidi malah ditingkatkan, dan paralel sisi pendapatan melalui pajak terus digalakan.
Saya kira percuma, jika pemerintah melakukan pemangkasan subsidi demi menghemat belanja tapi tidak ada upaya serius untuk meningkatkan pendapatan pajak maupun non pajak. Terutama dari penerimaan non pajak seperti pendapatan dari sektor Migas. Sampai sekarang tidak jelas berapa besar pendapatan real dari sektor Migas. Pendapatan yang disetor ke kas negara, bisa jadi dapat ditakar, tapi sebenarnya berapa besar pendapatan nyata yang diperoleh?
Mengapa pemerintah dalam hal ini Pertamina, menutup-nutupi besaran produksi minyak per barel setiap harinya. Berapa biaya produksi. Berapa biaya recovery. Tidak jelas dan samar-samar. Bahkan tuntutan beberapa kepala daerah untuk mendapatkan pajak bagi hasil Migas seperti diabaikan.
Seperti halnya penerimaan pajak dan penerimaan non pajak, mengingatkan saya seperti pembayaran retribusi parkir. Uang yang diperoleh dari petugas ke Dispenda begitu besar. Tapi tidak lebih 40% yang disetor ke kas daerah sebagai komponen PAD. Penyakit akut dari sisi pendapatan ini sama dengan pengeluaran: adanya praktek korupsi.
Para maling, koruptor dan mafia berpesta pora mengerogoti pendapatan negara. Memakan belanja negara. Aset dan piutang negara terbengkalai. Diantaranya para pengusaha yang tersangkut BLBI, bisa mencapai ratusan triliun jumlahnya. Bila pemerintah cukup serius untuk berupaya mengembalikan aset dan piutang seperti BLBI, pendapatan negara akan bertambah dan pemerintah tidak perlu pusing untuk alokasi subsidi. Termasuk subsidi BBM.
Pemangkasan subsidi, tidak bisa berdalih penyelamatan dan penyehatan anggaran negara. Karena setiap tahun, sejak zaman Suharto, subsidi terus dipangkas. Jika begitu, masalahnya bukan pada subsidi. Tapi memang anggaran kita yang tidak sehat. Penerimaan pajak yang tidak maksimal; Penerimaan sektor migas yang digelapkan oleh para mafia; Pegawai yang tidak profesional menjalankan sebagai abdi negara; Hutang yang terus bertambah; Proyek-proyek pembangunan yang dikorup dan jadi ladang bancakan. Akhirnya memang membuat anggaran kita menjadi sakit.
Dan seperti koor, semua pihak bersepakat, subsidi lah biang kerok dari tidak sehatnya anggaran kita. Oleh karena itu wajib dipangkas. Tanpa disadari tuduhan yang dialamatkan itu, sudah melakukan penghianatan terhadap konstitusi. Karena – sekali lagi – subsidi adalah kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyatnya sebagaimana diamantkan oleh konstitusi.
Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H