[caption id="attachment_361907" align="aligncenter" width="546" caption="Kompas.com/Indra Akuntono"][/caption]
Akhirnya RUU Pilkada disahkan pada tanggal 26 September 2014, dini hari tadi. Keputusan diambil melalui voting dalam sidang paripurna DPR. Opsi pemilihan kepala daerah melalui DPRD menang dengan perolehan 226 suara. Sementara anggota DPR yang memilih opsi pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat hanya memperoleh 135 suara. UU Pilkada ini menggantikan UU No. 32 tahun 2004.
Kalangan yang mendukung mekanisme pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat, sudah menyatakan sebelumnya akan melakukan uji norma (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika hal ini terjadi, maka sidang MK tersebut akan menjadi perkara PUU “terbesar” (dalam tanda petik) dalam sejarah persidangan MK. Dan bisa jadi akan memecahkan rekor dengan jumlah pemohon terbanyak sepanjang sejarah MK.
Sebelum saya menjelaskan arti “terbesar” tersebut, harus dimulai terlebih dahulu dengan satu pertanyaan: “siapakah yang berhak mengajukan gugatan (atau pemohon) dalam perkara pengujian undang-undang (PUU) ke MK?” Jawaban singkatnya: pihak yang dirugikan.
Dalam banyak tulisan teman-teman kompasianer dan pernyataan di media massa, jika RUU Pilkada ini disahkan, maka ada beberapa pihak yang akan dirugikan. Tersebutlah diantaranya lembaga survei, konsultan politik, tim sukses, tukang sablon sampai usaha penyewaan panggung. Jika demikian, dapatkah mereka menjadi pemohon? Atau dalam bahasa hukumnya punya kedudukan hukum atau legal standing sebagai pihak pemohon (penggugat)? Jawabnya: tidak bisa! Lho, kenapa tidak? Padahal mereka inilah diantaranya pihak yang dirugikan.
Kerugian yang dimaksud menurut pasal 51 ayat (1) UU MK adalah kerugian konstitusional. Bukan kerugian materi sebagaimana perkara perdata. Dalam pengertian hak dan atau kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pemohon. Dengan berlakunya UU Pilkada tadi, hak konstitusional yang melekat pada pihak pemohon telah hilang. Secara spesifik yaitu hak memilih kepala daerah. Siapakah mereka itu? Warga negara Indonesia yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah dan memenuhi syarat sebagai pemilih.
Saya jeda sejenak. Jadi lembaga survei, tukang sablon, tim sukses dan lain sebaginya tidak memiliki legal standing dalam perkara UU Pilkada ini. Karena UUD 1945 tidak memberikan hak konstitusional kepada tukang sablon atau lembaga survei. Sama juga dengan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) tidak memiliki legal standing. Meskipun organisasi ini kumpulan para Bupati seluruh Indonesia yang sebelumnya melakukan protes atas RUU Pilkada. Kecuali, para bupati itu atas nama dirinya sebagai WNI yang memiliki hak pilih. Jadi bukan atas nama jabatan atau badan hukum.
Lalu berapa banyak WNI yang punya hak pilih yang merasa dirugikan itu? Ya, hitung saja sendiri. Saya atau saudara yang merasa hak pilihnya dirampas oleh UU Pilkada itu bisa menjadi pemohon dan memiliki legal standing. Memang tidak perlu seluruh Indonesia. Datang saja 10 juta pemilih yang turut serta sebagai pemohon, bisa tenggelam Jakarta. Tidak ada batasan. Boleh 1 orang atau 10 juta orang sekalipun.
Bila demikian, seperti yang saya katakan di atas, akan menjadi perkara “terbesar” sepanjang keberadaan MK. Ada 100.000 orang saja sebagai pemohon akan memecahkan rekor. Belum pernah terjadi sebelumnya. 100.000 orang itu bukan hendak demo, tapi sebagai pihak resmi sebagai pemohon yang bersengketa di MK. Tidak bisa pihak keamanan melarang para pemohon untuk masuk ruang sidang. Ini bukan mau demo tapi mau menghadiri sidang sebagai pihak yang berperkara. Baik tentara maupun polisi tidak bisa membarikade rombongan pemohon untuk bersidang. Karena mereka bukan mau demo (yang perlu ijin atau pemberitahuan) tapi ingin menghadiri sidang MK.
Karena cakupan WNI yang punya hak pilih itu luas, maka akan timbul masalah yang kompleks. Cakupan ini tidak mengenal jabatan, status, atau badan hukum. Sekali lagi ini misal dan cerita lucu-lucuan. Ahok yang merasa hak pilihnya dirampas karena tidak bisa memilih Gubernur DKI pada Pilkada akan datang, bisa juga ikut ambil bagian sebagai pemohon. Atau para staff MK ikut pula terlibat sebagai pemohon. Artinya cakupan pemohon dalam hal ini WNI yang merasa hak pilihnya dirampas begitu luas. Dari pemilik pabrik sampai buruhnya; dari Bupati sampai tenaga honorer; dari ketua partai sampai pengurus anak ranting; dari profesor sampai anak SMU kelas 3; semuanya bisa menjadi pemohon dalam katagori WNI yang memiliki hak pilih.
Ekses sosial politik yang ditimbulkan dari berkumpulnya (misalnya) 100.000 orang pemohon akan dapat memicu ketegangan dan psikologi massa. Siapa yang bisa menjamin adanya stabilitas atas kumpulan orang yang tidak terorganisirsebelumnya dan datang dari banyak kalangan.
Bila ada yang usil saja, kumpulan banyak orang ini bisa berbelok untuk “silaturahmi” ke gedung DPRD. Kalau yang “silatutahmi” hanya 10 orang mungkin tidak jadi soal. Tapi jika yang ingin jalan-jalan di Jakarta dan hendak “silaturahmi” ada 100.000 orang, apa ngga repot dewan menghadapi.
Karena momen ini bisa dijadikan pelbagai kepentingan termasuk konsolidasi elemen pro reformasi. Hukum tidak bisa menjangkau untuk melarang atau bahkan menangkap. Mereka yang berkumpul adalah para pihak pemohon dalam sidang MK yang dilindungi oleh hukum.
Selain daripada itu UU Pilkada yang baru saja disahkan, dapat di uji juga ke Mahkamah Agung (MA). Karena UU Pilkada bertentangan dengan UU MD3.Dalam UU MD3, tugas dan wewenang DPRD Provinsi terdapat di Bab V Pasal 317. Dan Bab VI pasal 366 yang mengatur tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Tidak ada satu pasal dan ayat pun dalam Bab V dan Bab VI ini yang memberikan kewenangan baik kepada DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah. (penjelasan lengkapnya lihat di :Kesalahan Fatal Koalisi Merah Putih)
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H