Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sakitnya Menjadi Tersangka

3 Februari 2015   16:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:54 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak hakim dan pak jaksa kapan saya akan di sidang
Sudah tiga bulan aku mendekam belum saja ada panggilan

Mengutip lirik lagu Tembok Derita yang didendangkan dengan irama dangdut melayu. Liriknya sederhana tetapi berisi pesan mendalam. Jeritan hati tersangka. Bisa jadi jeritan itu mewakili suara para tersangka lain. Tidak jelas nasibnya. Terkatung-katung dengan status tersangka. Apakah dirinya bersalah atau tidak, hanya pengadilan yangmemutuskannya. Sementara menunggu datangnya panggilan sidang, seperti menunggu godot. Terlebih-lebih bagi para tersangka yang mendekam dalam tahanan. Benarkah hukum kita tidak memberi hak-hak bagi tersangka?

Tersangka juga manusia, oleh sebab itu dia juga punya hak sebagi manusia. Lazim disebut hak asasi manusia (HAM). Memang terdengar bak modus tapi kenyataannya, konstitusi (UUD 1945) memberi hak-hak itu. Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)yang masuk dalam Bab XA Hak Asasi Manusia di UUD 1945, dapat menjadi teropong bagaimana penerapan hukum pidana pada tersangka. Ringkasnya hak semua orang -- tak terkecuali tersangka – mendapat kepastian hukum dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Salah satu tujuan penegakan hukum adanya suatu kepastian hukum. Titik tekannya pada kepastian. Hukum harus bersifat pasti. Walaupun rumusan kepastian ini tidak sama dengan matematika dan ilmu pasti. Hal ini untuk membedakan hukum dengan politik. Hukum itu terukur, punya landasan norma dan pedoman dasar. Sedangkan politik yang dinamis itu juga bermakna ketidakpastian. Jika penerapan hukum mengandung ketidakpastian maka patut diduga telah terjadi “politisasi”.

Secara sederhana seperti ini: kapan Suryadarma Ali yang sudah menyandang status tersangka akan disidang? Tidak ada yang tahu dan bisa menjawabnya. Dengan ketidakpastian itu, tidak salah jika ada masyarakat menuding KPK telah melakukan “politisasi”. Pun demikian melihat dari sudut pandang Suryadarma Ali dan keluarganya, pasti mengharap “kapan saya akan di sidangseperti lirik lagu Tembok Derita. Menanti kejelasan nasibnya: bersalah atau tidak bersalah.

Mengapa penyidik (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan) tidak berkenan menerapkan asas kepastian hukum ini? Berupa pedoman yang pasti dan diketahui khalayak, adanya batas waktu proses penyidikan hingga dilimpahkan ke persidangan. Benar KUHAP tidak memberi ketentuan tentang batas waktu, tapi bukankah hal-hal yang bersifat teknis dan prosedural seperti ini dapat dirumuskan dalam Peraturan (KPK atau Polri). Peraturan yang kemudian menjadi SOP bagi penyidik untuk memproses perkara. Peraturan yang memberi batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Tidak harus diseragamkan, tapi bisa dibuat katagorisasi berdasarkan berat ringannya suatu perkara. Pokoknya, ada kepastian yang diukur dari batas waktu.

Kita akan bisa menemukan empati, jika situasi ini dibalik. Ketika diri sendiri atau keluarga menjadi tersangka. Bagaimana rasanya hidup dalam “tembok derita” (bila ditahan), menunggu datangnya panggilan persidangan. Meskipun asas hukum kita mengenal praduga tidak bersalah, namun tidak demikian dengan sanksi sosial yang berlaku di masyarakat. Orang yang berstatus tersangka sudah diberi sanksi sosial terlebih dahulu. Hidup dengan ketidakpastian itu, negara (dalam hal ini aparat penegak hukum) telah merampas sebagian hak warganegara untuk mendapat jaminan dan kepastian hukum.

Sebaliknya bagi korban – terutama korban pelapor – berharap pelaku kejahatan (tersangka) selekasnya mendapat hukuman setimpal dari pengadilan. Bagaimana perasaan korban dan keluarga korban perkosaan misalnya, tersangka yang tidak ditahan seolah-olah mendapat hak keistimewaan dari penyidik. Sudah menjadi rahasia umum, polisi sebagai penyidik sengaja mengulur-ulur waktu hingga masuk ke persidangan untuk memeras tersangka dan sekaligus korban.

Dari sudut pandang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dapat ditengok pada perlakukan penanganan perkara yang berbeda-beda. Ada perkara korupsi yang dengan sigap penyidik melimpahkan berkas ke persidangan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tapi tak jarang ditemukan, proses penyidikan memakan waktu bertahun-tahun. Sama-sama dengan status tersangka, yang satu dalam waktu 1 bulan sudah disidang, perkara lain 2 tahun berkasnya mangkrak di meja penyidik.

Mengapa ada perlakukan yang berbeda? Alasan umum semua penyidik bilang bukti-buktinya belum cukup. Alasan klise. Jika demikian, mengapa waktu penyelidikan yang tidak diperlama saja. Untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sekaligus, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Dengan begitu, waktu penyidikan dapat dipersingkat dan nasib para tersangka bisa selekasnya mendapat kepastian hukum. Tidak terombang-ambing pada ketidakpastian.

Dengan tindakan yang diskriminatif seperti ini, jangan pula menyalahkan masyarakat jika menuding penyidik melakukan “politisasi”. Perkara si A dipercepat, perkara di B sengaja diulur-ulur waktunya. Si A ditahan, sedang Si B bebas berkeliaran, padahal sama-sama dituduh melakukan tindak pidana korupsi.

Solusi sistemnya, revisi KUHAP memperhatikan ketentuan norma konstitusi yang memberi jaminan dan kepastian hukum dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif pada semua orang. Dengan kejelasan batas waktu yang pasti dalam proses penyidikan. Sembari menunggu proses revisi KUHAP di DPR, harusnya KPK, Kepolisian dan Kejaksaan membuat peraturan yang dapat dijadikan pedoman. Pedoman itu harus diketahui masyarakat, agar kontrol masyarakat dapat dilakukan dengan kepastian juga. Tidak seperti yang terjadi saat ini, antara pihak penyidik dan masyarakat punya ukuran subyektif masing-masing untuk menilai jalannya suatu perkara.

Wahai para penegak hukum, menjadi seorang tersangka itu menyakitkan. Sakitnya tuh disini!

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun