Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

RUU Pilkada Melegalkan Korupsi

14 September 2014   22:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:42 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan dilibatkan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD. Usul itu disampaikan anggota Panitia Kerja RUU Pilkada dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto (sumber). Menurutnya, dengan dilibatkannya KPK, maka pilkada melalui DPRD dapat lebih ketat pengawasannya. Sebab, KPK akan mengawasi jika ada anggota DPRD yang main mata dengan calon tertentu. Hal senada juga disampaikan Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nur Wahid yang mengatakan anggapan politik transaksional terjadi di DPRD dapat dicegah dengan kerjasama KPK dan PPATK.KPK bisa sadap percakapan telepon calon dengan anggota DPRD. PPATK bisa lacak transaksi mencurigakan. Kalau gitu ada enggak yang berani melakukan kecurangan," kata Hidayat (sumber).

Menurut Dirjen Otda Kemendagri, Pilkada akan dilakukan serentak. Gelombang pertama akan dilakukan serentak pada Oktober 2015 (sumber). Berkaitan dengan hal tersebut, KPU telah membuat daftarnya. Pada tahun 2015, Pilkada akan dilaksanakan serentak di 240 kabupaten/kota dan 7 provinsi (sumber).

Lalu berapa jumlah anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ kota yang akan diawasi oleh KPK dan PPATK?. Dalam hitungan kasar, kursi DPRD Provinsi berjumlah 2.112 kursi. Kalau dibagi 33 provinsi, rata-rata 64 kursi per provinsi. Pilkada yang akan dilaksanakan pada oktober 2015, ada 7 provinsi. Artinya ada 448 orang anggota DPRD provinsi yang akan diawasi. Untuk DPRD Kabupaten/ kota, jumlah total 16.895 kursi, yang tersebar di 410 kabupaten dan 98 kota. Atau rata-rata terdapat 33 orang/kursi per kabupaten/kota. Pilkada Oktober 2015, akan dilaksanakan serentak di 240 kabupaten/kota. Jadi total melibatkan 7.982 orang anggota DPRD Kabupaten/kota. Ringkasnya, Pilkada serentak Oktober 2015, akan melibatkan lebih dari 8.400 anggota DPRD.

Sekarang kita liat, berapa jumlah penyidik KPKsaat ini. Kurang dari 100 orang atau tepatnya 75 orang penyidik KPK (sumber). Jika membandingkan dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong, dimana ada rasio 1:200. Satu orang penyidik ditugaskan mengawasi 200 orang pegawai pemerintah. Dengan jumlah pegawai negeri sipil sekitar 5,2 juta orang maka idealnya dibutuhkan 26.000 penyidik KPK (sumber). Dalam konteks Pilkada serentak dimana ada keterlibatan 8.400 anggota DPRD, maka dengan jumlah penyidik KPK 75 orang, rasionya 1:112. Satu orang penyidik ditugaskan mengawasi 112 orang anggota DPRD yang tersebar di 240 kabupaten/kota dan 7 provinsi.

Pelibatan penuh seluruh penyidik itupun jika diasumsikan KPK hanya mengurus dan mengawasi anggota DPRD menjelang, saat dan setelah Pilkada berlangsung. Yang tahapannya akan dimulai pada bulan Februari 2014. Dengan kata lain, satu tahun penuh (tahun 2015) KPK tidak punya pekerjaan lain, selain mengawasi anggota DPRD. Senyatanya, setiap hari ada sekitar 30 kasus yang dilaporkan ke KPK. Dari 30 kasus ini, ada 10 persen yang memiliki unsur kebenaran dan akan ditindaklanjuti. Atau rata-rata 3 kasus per hari yang akan ditindaklanjuti. Jika satu tahun berarti lebih dari 1000 kasus korupsi yang dilakukan proses penyelidikan (sumber).

Kembali ke pernyataan Hidayat Nur Wahid dan Yandri Susanto di paragraf pertama: 75 penyidik KPK akan mengawasi 8.400 anggota DPRD. Saya kembalikan ke teman-teman kompasioner untuk menilainya. Apakah pernyataan itu keluar dari pikiran waras atau tidak ?

Pernyataan Hidayat Nur Wahid dan Yandri Susanto dapat dimaknai suatu pernyataan politik dengan nuansa jebakan. Menjebak KPK untuk ikutserta melegalkan tindakan korupsi. Dengan rasio perbandingan antara penyidik KPK dan jumlah anggota DPRD yang akan diawasi, menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Terbuka ruang tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD yang luput dari pengawasan. Sementara KPK bersadar pada aturan normatif: harus ada minimal dua alat bukti. Bila masyarakat umum mengetahui adanya praktek korupsi yang terjadi saat Pilkada, sementara KPK luput melakukan pengawasan, maka tuduhan dan tudingan akan diarahkan kepada KPK. Sebagai lembaga anti rasuah melindungi para anggota DPRD yang diketahui masyarakat melakukan tindak korupsi.

Dan jika pimpinan KPK memberi skala prioritas pada pengawasan kepada anggota DPRD sepanjang tahun 2015, berarti KPK menyingkirkan kurang lebih 1000 laporan masyarakat atas tindak korupsi lainnya. Akan muncul anggapan KPK melakukan tebang pilih, KPK berpihak dan mengabaikan laporan masyarakat. Dan sebaliknya jika KPK mengabaikan pengawasan kepada anggota DPRD, sama saja artinya KPK ikutserta melegalkan praktek korupsi.

Peristiwa Pilkada lewat DPRD tidak semata akan menimbulkan praktek money politic yang masuk katagori pidana pemilu. Tapi juga tindakan suap/korupsi kepada pejabat negara yang memiliki kekuasaan dan kewenangan tertentu. Membandingkan dengan Pilkada langsung oleh rakyat, praktek money politic berupa membagi-bagikan uang atau materi lain kepada pemilih masuk dalam cakupan pidana pemilu. Bukan korupsi. Aparatur penegak hukum yang berwenang menanganinya adalah Bawaslu, kejaksaan dan kepolisian. Sedangkan Pilkada lewat DPRD yang melibatkan penyelenggara negara bukan saja masuk dalam katagori pidana pemilu tetapi juga tindakan korupsi. Yang merupakan wewenang KPK dan Kejaksaan.

Sekarang kita lihat sisi positifnya. KPK berhasil menangkap sejumlah anggota DPRD yang diduga melakukan tindak korupsi. Pemberi suap dalam hal ini, calon kepala daerah yang kemudian terpilih menjadi kepala daerah, ikut serta ditangkap oleh KPK. Apa impilkasinya? Jika terbukti dalam persidangan Tipikor, para anggota dewan tersebut akan diberhentikan dan dilakukan pergantian antar waktu. Sedikit banyak akan menganggu dinamika kerja di DPRD yang tengah berjalan. Pun demikian dengan kepala daerah yang terpilih, akan diberhentikan atas putusan Presiden. Lalu bagaimana pergantiannya? Sedangkan RUU Pilkada yang baru tidak lagi menyertakan Wakil Kepala Daerah sebagai paket pasangan yang dipilih oleh DPRD.

Mungkin kita bisa saja memakluminya jika hal ini terjadi di 1-2 kabupaten/ kota. Dan tentu tudingan kepada anggota DPRD dan kepala daerah yang terlibat korupsi saat Pilkada, karena moral yang rusak. Namun jika praktek ini terjadi di banyak daerah, tidak bisa kesalahan diarahkan hanya kepada prilaku orang per orang. Tapi ada suatu sistem yang membuka peluang para pejabat atau penyelenggara negara melakukan tindak korupsi. Inilah yang saya sebut pemilihan kepala daerah lewat DPRD melegalkan tindak korupsi.

Ada yang mengatakan, kita perberat saja sanksi hukum bagi penyelengara negara yang melakukan tindak korupsi itu. Sehingga menimbulkan efek jera. Dalam RUU Pilkada, sanksi pidana atas tindakan ini sudah diperberat. Termasuk sanksi diskualifikasi calon terpilih. Tapi, efek jera untuk siapa? Bukankah Pilkada serentak gelombang kedua baru akan dilaksanakan tahun 2018?. Dalam rentang waktu tiga tahun sejak Pilkada serentak tahun 2015, para penyelenggara negara bisa lupa atau mengganti modus agar luput dari pengawasan KPK.

Bicara soal modus, baik Hidayat Nur Wahid maupun Yandri Susanto, seakan beranggapan modus suap akan menggunakan transaksi perbankan. Atas pikiran itu, PPATK dilibatkan. Padahal modus macam ini sudah tidak laku lagi bagi para calon-calon koruptor. Sama seperti pernyataan untuk melibatkan KPK, ada jebakan juga untuk PPATK. Berkaitan dengan modus di luar transaksi perbankan.

Beberapa modus yang berkembang saat ini di lingkungan anggota DPRD antara lain: pemberian cek pelawat. Biasanya diberikan saat anggota DPRD melakukan study banding atau kunjungan kerja di luar daerah. Transaksi dilakukan di daerah sasaran. Penyediaan pelbagai fasilitas diluar tanggungan yang sudah disediakan oleh negara.Istilah umumnya “uang muka” atau “cicilan”. Ada juga modus pemberian sertifikat tanah bangunan dengan balik nama. Atau pemberian saham kosong (biasanya untuk ketua DPRD atau ketua Fraksi) pada perusahaan tertentu. Dan yang saat ini marak, modus pembayaran hutang kepada debitur.

Sebagaimana diketahui, biaya politik yang dikeluarkan anggota dewan terpilih saat ini tidak sedikit saat Pemilu 2014 lalu. Diantaranya banyak tersangkut hutang. Makanya dengan riang gembira para anggota DPRD setelah dilantik mendapat kemudahan pinjaman kredit di bank dengan agunan SK Dewan dan slip gaji. Modus seperti membayar hutang oleh calon kepala daerah inilah yang lagi trend sekarang. Bagaimana mungkin PPATK melacak seluruh rekening orang dan perusahaan se Indonesia. Apalagi transaksi keuangan yang dilakukan masih dianggap normal dan bukan sesuatu yang janggal. Misalnya transfer uang Rp 100 juta kepada UD atau toko matrial bangunan. Dimana sebelumnya caleg yang terpilih pernah berhutang pada toko tersebut, membeli semen, batako untuk “disumbangkan” di daerah pemilihannya. Uang ditransfer oleh calon kepala daerah (untuk bayar hutang anggota Dewan) dengan alasan membantu mertua bikin rumah.

Bila KPK dan PPATK mereduksi pelaku tindak korupsi atau suap hanya sebatas para calon kepala daerah. Secara logis bisa diterima. Karena jumlah calon kepala daerah per daerah bisa jadi tidak lebih dari 7 (tujuh) orang. Tetapi, asumsi ini keliru jika melihat pada prakteknya. Justru para anggota DPRD lah yang sangat rajin keliling (istilah saya “tawaf”) ke semua calon yang punya potensi untuk diperas. Hal ini berdasarkan cerita pengalaman pemilihan lewat DPRD tahun 2001-2002 yang saya ketahui. Dan cerita dari teman-teman di daerah, yang saat ini para anggota DPRD sudah mulai bergerak.

Kata Hidayat Nur Wahid, jika perlu anggota DPRD dikarantina. Apa gunanya dikarantikan jika transaksi bukan dilaksanakan pada saat itu? Dari rentang waktunya transaksi dilakukan jauh hari sebelum Pemilihan. Meskipun pemberian uang atau materi kepada anggota DPRD jauh hari sebelumnya tidak menjamin akan dipilih. Istilahnya “uang setan dimakan hantu”. Transaksi lainnya terjadi di dalam gedung dewan sendiri saat rapat Paripurna dilaksanakan. Modusnya berupa: dilaksanakan saat break/ istirahat; pura-pura buang air kecil ke toilet; menggunakan kaki tangan para staff sekwan saat membagi konsumsi atau absensi.

Dalam dunia kejahatan, para penjahat lebih cerdik untuk bersiasat ketimbang aparat penegak hukum. Mereka lebih memahami aturan hukum dan mencari celah bermain. Apalagi kumpulan para penjahat yang membuat aturan main untuk membenarkan tindak kejahatan yang akan dilakukan.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun