Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Putusan Praperadilan Melawan Hukum

17 Februari 2015   00:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah Anotasi Hukum saya atas putusan hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang praperadilan. Tentang Anotasi Hukum secara singkat sudah saya jelaskan pada tulisan berjudul Anotasi Hukum Putusan Praperadilan. Putusan praperadilan dalam perkara penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK. Ada 6 (enam) amar putusan (sumber). Dengan keterbatasan ruang tulisan di Kompasiana ini, saya hanya mengambil 1 (satu) amar putusan sebagai obyek tulisan ini. Putusan yang pada pokoknya memasukan penetapan tersangka sebagai obyek perkara praperadilan.

Dimasukannya penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan dapat dibaca pada amar putusan “Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara mengabulkan permohonan prapradilan pemohon untuk sebagian," papar hakim Sarpin Rizaldi (sumber). Dalam pertimbangannya, hakim menilai penetapan tersangka termasuk obyek praperadilan karena merupakan bagian dari penyidikan (sumber).

Untuk diketahui, eksepsi selalu memuat yang berkaitan dengan hukum formil. Tentang prosedur, kewenangan, kedudukan hukum para pihak, batas waktu yang secara keseluruhan telah diatur dalam KUHAP (hukum acara). Rujukan eksepsi dalam sidang perkara pidana harus merujuk pada KUHAP. Eksepsi tidak menyinggung soal pokok perkara. Dengan ditolaknya eksepsi, hakim menyatakan bahwa obyek perkara yang disampaikan pemohon merupakan kewenangan pengadilan, dan selanjutnya pengadilan akan memeriksa, dan memutuskan pokok perkara. Jadi tulisan ini terbatas menyorot tentang hukum formil yang diatur dalam KUHAP bukan pokok perkara yang juga telah diputus dalam amar putusan lainnya. Fokusnya pada pertimbangan hakim yang menilai penetapan tersangka termasuk obyek praperadilan karena merupakan bagian dari penyidikan.

Menurut saya, hakim Sarpin telah melakukan penemuan hukum bukan tafsir hukum. Kedua hal ini harus dibedakan secara jelas dan tegas. Penemuan hukum juga merupakan otoritas hakim. Namun demikian penemuan hukum memiliki syarat-syarat untuk mendukungnya. Ada alasan yuridis yang menjadikan dasar penemuan hukum. Sementara ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa hakim Sarpin melakukan tafsir hukum. Tafsir hukum hanya dapat dijadikan alasan, jika frasa dalam ketentuan hukum tertulis bermakna ganda. Tafsir hukum hanya sebatas frasa, kata atau teks yang tertuang dalam undang-undang.

Tentang obyek praperadilan sudah diatur dalam KUHAP pasal 77, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 1 angka 10. Pertanyaannya, frasa atau kata mana dalam pasal-pasal itu yang diberi penafsiran ekstensif?. Apakah kata “penangkapan”, “penahanan” atau frasa “penghentian penyidikan”? sehingga kata atau frasa itu diperluas artinya (ekstensif) yang juga berarti penetapan tersangka. Jika iya, apa landasan yuridisnya?

Dalam dunia hukum, penafsiran ekstensif dapat dilakukan. Menurut Sudikno dan Pitlo, hasil penafsiran ini melebihi dari apa yang didapat dari metode tafsir gramatikal. Dengan cara memperluas arti kata atau frasa yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Contohnya, perluasan makna “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata. Lema “menjual” diperluas tidak hanya mencakup jual beli, tetapi juga peralihan atau pengasingan. Dasar yuridisnya: Hoge Raad (HR) sejak 1906. Contoh lainnya, “aliran listrik termasuk juga atau di samakan dengan “benda” yang termuat dalam Pasal 362 KUHP. Memperluas arti “benda” dengan berpedoman pada Yurisprudensi di Nederland.

Contoh tentang memperluas obyek perkara dalam kewenangan pengadilan, saat MK membuat tafsir ekstensif Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dimana MK berwenang menguji Perppu sebagai obyek perkara. Memperluas arti “undang undang” di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan pertimbangan hukum bahwa kedudukan (hierarki) maupun materi muatan Perpu sama dengan undang-undang. Dasar yuridisnya: UU No. 12 Tahun 2011.

Dari contoh-contoh tafsir ekstensif yang dilakukan oleh hakim, memuat dua syarat: (1) memperluas arti dari kata atau frasa dalam undang-undang; (2) ada dasar yuridis untuk melakukan perluasan arti/ makna tersebut. Lalu, hakim Sarpin memperluas arti/ makna dari kata atau frasa yang mana dalam KUHAP? Setelah itu, dasar yuridis apa yang digunakan untuk melakukan tafsir ekstensif.

Apa yang tersebut dalam KUHAP tentang obyek perkara praperadilan sudah jelas. Jika ada yang mengatakan tidak jelas, frasa mana yang dianggap tidak jelas itu? Bahwa penetapan tersangka bukanlah tidak jelas, tapi memang tidak dimasukan. Beda antara tidak jelas, dengan sesuatu yang tidak ada.

Untuk memahami obyek praperadilan dapat digunakan metode interprestasi secara sistematis. Yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan serta membaca penjelasan undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya. Batasan atau definisi praperadilan telah disebut dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP. Obyek praperadilan disebut dalam Pasal 77. Acara pemeriksaan disebut dalam Pasal 82 ayat (1) . Dan Isi putusan praperadilan disebut juga dalam Pasal 82 ayat (3). Secara sistematis, pasal pasal yang saling terhubung itu tidak memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Lain halnya jika antar pasal tersebut ada kejumbuhan atau tafsir ganda.

Dengan begitu, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin tidak melakukan tafsir ekstensif tetapi melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim terhadap peristiwa hukum konkrit. Menciptakan sesuatu yang tidak ada dalam KUHAP menjadi ada.

Pola fikir yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan dalam menemukan hukum adalah deduktif. KUHAP dijadikan premis mayor, kasus kongkrit yang ingin ditemukan hukumnya dijadikan premis minor. Ini termasuk dalam katagori hukum progresif. Namun, penemuan hukum juga harus berlandaskan dan mencari sumber-sumber hukum yang berlaku. Baik peraturan perundang-undangan yang lain, hukum kebiasaan, perjanjian internasional atau penerapan hukum di negara lain. Sisi positifnya penemuan hukum akan menambah khasanah keilmuan bagi akademisi, ahli maupun praktisi hukum.

Contoh penemuan hukum. Pada kasus perkara korupsi Mulyana Kusumah, KPK menggunakan teknik penjebakan (entrapment). Suatu kewenangan penyidik yang tidak ada dalam UU KPK. Oleh pengadilan Tipikor, hakim menyatakan teknik itu sah. Inilah yang disebut penemuan hukum. Apa landasan yuridisnya? Membandingkan dengan Pasal 55 UU Psikotropika dan Pasal 75 UU Narkotika yang membolehkan adanya teknik penjebakan. Lebih daripada itu teknik penjebakan termuat dalam Article 350 UNCAC(United Nations Convention Against Corruption). Sementara dalam pemberantasan korupsi, pemerintah Indonesia terikat pada konvensi UNCAC yang ditandai dengan diterbitkannya UU No. 7 Tahun 2006. Artinya, hakim Tipikor itu telah melakukan penemuan hukum yang bersandar pada sumber-sumber hukum lainnya. Di satu sisi, memperkaya khasanah keilmuan akan ketentuan entrapment dalam upaya pemberantasan korupsi.

Bila hakim Sarpin tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan tafsir ekstensif maupun penemuan hukum, maka sudah dipastikan hakim melawan hukum dengan berpedoman pada asas ius curia novit. Dimana pertimbangan hukum dilakukan dengan eratic dan non yuridis. Bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan secara tegas bertentangan dengan KUHAP.

Terakhir, pertimbangan hukum penetapan tersangka masuk dalam obyek praperadilan karena penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan. Logika yang dibangun kira-kira seperti ini: premis satu: penahanan dan penangkapan adalah bagian dari proses penyidikan yang menjadi obyek perkara praperadilan; premis dua: penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan. Kesimpulannya: penetapan tersangka menjadi obyek perkara praperadilan.

Uji premis satu: tidak semua proses penyidikan menjadi obyek perkara praperadilan. Dengan dimasukannya penghentian penuntutan sebagai obyek perkara praperadilan. Penghentian penuntutan adalah bagian dari proses penuntutan bukan proses penyidikan. Dengan kata lain, praperadilan tidak mengenal istilah proses penyidikan, tetapi beberapa obyek yang bisa masuk dalam proses penyidikan dan proses penuntutan. Jika hanya bersandar pada proses penyidikan an sich, maka praperadilan tidak berwenang memeriksa perkara penghentian penuntutan.

Uji premis kedua menggunakan dua pemikian: pemikiran ekstrim, KUHAP tidak mengenal istilah penetapan tersangka dalam proses penyidikan. Yang ada adalah pemanggilan tersangka untuk didengar dan diperiksa. Pemikiran moderat, andaipun penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan, pertanyaannya bagaimana dengan tindakan dan peristiwa lain yang ada dalam proses penyidikan, apakah menjadi obyek perkara praperadilan?

Contohnya, pemanggilan saksi dan ahli adalah bagian dari proses penyidikan. Pemanggilan ini jelas menggunakan surat dengan kepala “pro justitia”. Apakah seorang saksi atau ahli dapat menggugat ke praperadilan yang mempermasalahkan surat pemanggilan itu?. Ada 10 (sepuluh) tindakan penyidik yang ada dalam KUHAP. Dengan logika yang dibangun itu, artinya 10 (sepuluh) tindakan itu bisa menjadi obyek perkara praperadilan.

Contoh lain, bedah mayat dan penggalian mayat salah satu bagian dari proses penyidikan untuk keperluan pembuktian. Secara legal formal bedah mayat dibuktikan dengan adanya surat berupa Visum et Repertum. Surat itu juga menggunakan kepala “pro justitia”. Pertanyaannya, apakah keluarga “mayat” dapat mengajukan gugatan ke praperadilan atas surat Visum et Repertum itu? Jika dikatakan tidak, bukankah bedah mayat merupakan bagian dari proses penyidikan.

Demikian Anotasi Hukum singkat ini saya buat. Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun