Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Presiden SBY Mengecoh Publik

15 Oktober 2014   20:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:54 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah masa lalu yang masih mengusik. Kisah fraksi Partai Demokrat yang mengajukan opsi alternatif dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 September 2014. Opsi Pilkada langsung dengan 10 (sepuluh) perbaikan. Alternatif dari dua opsi yang dihasilkan oleh Panja Komisi II DPR. Opsi tersebut mengisyaratkan bahwa opsi Pilkada langsung yang dihasilkan oleh Panja Komisi II belum memuat 10 poin perbaikan. Karena tidak memuat 10 poin perbaikan tersebut, fraksi Partai Demokrat bertahan dengan mengajukan opsi Pilkada langsung dengan 10 poin perbaikan. Akhir dari kisah ini sudah kita ketahui bersama.

Kisah berlanjut. Presiden SBY yang juga ketua umum Partai Demokrat menerbitkan Perppu No.1 tahun 2014. Presiden mengatakan bahwa Perppu ini berisi mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung dengan 10 poin perbaikan. Menegaskan bahwa Perppu tersebut adalah opsi yang diusulkan sebelumnya oleh fraksi Partai Demokrat saat rapat Paripurna DPR. Baik usulan fraksi Partai Demokrat maupun isi Perppu memiliki kesamaan gagasan tetang Pilkada langsung dengan 10 poin perbaikan. Dan secara tidak langsung menegasikan naskah RUU Pilkada langsung yang dihasilkan oleh Panja Komisi II DPR. Padahal kalangan yang mendukung RUU Pilkada langsung telah menyatakan bahwa 10 poin perbaikan tersebut telah tertera dalam RUU Pilkada langsung. Namun, fraksi Partai Demokrat bersikeras bahwa 10 poin perbaikan tersebut belum dimasukan dalam RUU Pilkada langsung.

Baik fraksi Partai Demokrat maupun Presiden SBY telah membentuk opini bahwa Perppu adalah solusi alternatif dengan memasukan 10 poin perbaikan. Dimana dalam naskah RUU Pilkada langsung tidak memuatnya. Opini ini jelas mengecoh publik. Pastilah sebagian besar publik tak akan sempat untuk memeriksa apakah 10 poin perbaikan tersebut ada atau tidak ada dalam naskah RUU Pilkada langsung. Tulisan ini akan mematahkan opini yang terlanjur terbentuk tersebut. 10 point -- setidaknya 9 poin -- telah termuat dalam naskah RUU Pilkada langsung. Sehingga argumen fraksi Partai Demokrat dan Presiden SBY terbantahkan.

Untuk mengulas 10 point perbaikan itu, tulisan ini akan membuat perbandingan. Membandingkan antara Perppu No.1 tahun 2014 dengan naskah RUU Pilkada langsung. Perppu No.1 tahun 2014 yang menurut Presiden SBY memuat 10 poin perbaikan. Dan naskah RUU Pilkada langsung yang menurut fraksi Partai Demokrat belum memasukan 10 poin perbaikan. Sebagai catatan, pemerintah lewat Mendagri menyiapkan dua naskah RUU yang selanjutnya dibawa dalam rapat paripurna DPR. Naskah RUU Pilkada lewat DPRD dan naskah RUU Pilkada langsung. Baik, kita mulai poin per poin:

[1. Uji publik calon kepala daerah dengan uji publik yang bisa mencegah adanya calon yang buruk dan kapasitas rendah. Namun, uji publik ini tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai gubernur, bupati, dan wali kota.]

Ketentuan tentang uji publik dalam Perppu termuat dalam Pasal 38. Sedangkan di dalam naskah RUU Pilkada langsung tertera dalam pasal 31. Baik pasal 38 (Perppu) maupun pasal 31 (RUU Pilkada langsung) sama-sama berisi 6 (enam) ayat. Norma di kedua pasal tersebut sama persis.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[2. Penghematan dan pemotongan anggaran yang signifikan karena dirasakan selama ini biayanya besar.]

Bentuk penghematan anggaran dengan melaksanakan Pilkada serentak. Dengan Pilkada serentak diasumsikan dapat memotong anggaran negara hingga 40%. Ketentuan tentang Pilkada serentak, dalam Perppu termuat dalam Pasal 3 ayat (1) jo pasal 201 dan pasal 202. Sedangkan dalam naskah RUU Pilkada langsung, tertera dalam pasal 3 ayat (1) jo pasal 172 dan pasal 173. Sama-sama diatur dalam tiga pasal dan tidak berbeda sedikitpun redaksi yang tertulis dikeduanya.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[3. Mengatur pembatasan kampanye dan kampanye secara terbuka sehingga biaya bisa dihemat dan mencegah benturan antar massa.]

Terdapat dua ketentuan dalam poin ini. Pertama tentang pembatasan kampanye sehingga biaya bisa dihemat. Hal ini dapat dilihat pada pembatasan metode kampanye. Kampanye dengan cara debat publik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa cetak dan media massa elektronik sepenuhnya difasilitasi oleh KPUD yang didanai APBN. Dengan demikian calon kepala daerah praktis hanya menyelenggarakan kampanye dengan metode pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka/dialog. Terutama cara kampaye pemasangan alat peraga dan iklan di media massa selama ini memberatkan calon kepala daerah dari segi pembiayaan. Dengan adanya pembatasan metode kampanye dapat menghemat biaya para calon kepala daerah.

Ketentuan tentang pembatasan metode kampanye dalam Perppu termuat dalam pasal 65 ayat (2). Sedangkan dalam naskah RUU Pilkada langsung termuat dalam pasal 54 ayat (2). Baik norma maupun susunan redaksi di kedua pasal ini, sama persis tak berbeda. Bahkan dalam naskah RUU Pilkada langsung lebih lengkap. Dengan ketentuan metode kampanye rapat umum yang juga difasilitasi oleh KPUD yang didanai APBN.

Ketentuan kedua tentang kampanye terbuka sehingga mencegah benturan antar massa. Ketentuan ini berupa larangan melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau kendaraan di jalan raya. Dalam Perppu termuat dalam pasal 69 huruf j. Sedangkan dalam naskah RUU Pilkada langsung termuat dalam pasal 58 huruf j. Kedua pasal ini sama dalam susunan redaksinya.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[4. Akuntabilitas dana kampanye termasuk dana sosial. Tujuannya untuk mencegah kolusi.]

Hal yang baru dan berbeda dengan Pilkada sebelumnya (UU No. 32 tahun 2004), pelanggaran atas ketentuan itu dimasukan kedalam katagori tindak pidana. Ada tiga bentuk pelanggaran tindak pidana. Pertama, memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang telah ditentukan. Tertera dalam pasal 187 ayat (5) dalam Perppu, dan pasal 157 ayat (6) dalam naskah RUU Pilkada langsung. Ancaman pidana penjara dan denda sama persis tak berbeda di kedua pasal tersebut.

Kedua, menerima dana kampanye dari pihak-pihak yang dilarang. Tertera dalam pasal 187 ayat (6) dalam Perppu, dan pasal 157 ayat (7) dalam naskah RUU Pilkada langsung. Ancaman pidana penjara dan denda sama persis tak berbeda di kedua pasal tersebut

Ketiga, memberi keterangan tidak benar (palsu) dalam laporan dana kampanye. Tertera dalam pasal 187 ayat (7) dalam Perppu, dan pasal 157 ayat (8) dalam naskah RUU Pilkada langsung. Ancaman pidana penjara dan denda sama persis tak berbeda di kedua pasal tersebut

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[5. Larangan politik uang, termasuk serangan fajar dan pembayaran terhadap partai politik pengusung.].

Ketegasan tentang larangan politik uang termasuk serangan fajar tertera dalam pasal 73 dalam Perppu dan pasal 62 dalam naskah RUU Pilkada langsung. Sanksi yang dijatuhkan berupa pembatalan sebagai calon oleh KPUD atau diskualifikasi. Dalam UU No. 32 tahun 2004, sanksi ini tidak ada dan hanya sebatas pelangaran tindak pidana saja. Baik Perppu maupun naskah RUU Pilkada langsung memuat ketegasan itu. Calon akan terkena sanksi diskualifikasi.

Demikian juga dengan imbalan kepada partai politik pengusung. Dalam Perppu termuat dalam pasal 47 dan dalam naskah RUU Pilkada termuat dalam pasal 36.Sanksi kepada calon kepala daerah yang terbukti memberi imbalan dalam bentuk apapun kepada partai politik berupa diskualifikasi. Sementara partai politik yang terbukti menerima imbalan akan dijatuhkan sanksi dilarang mengajukan calon pada periode selanjutnya di daerah yang sama. Bahkan naskah RUU Pilkada langsung lebih keras dengan menambahkan sanksi berupa denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima dan diumumkan di media massa.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[6. Larangan fitnah dan kampanye hitam karena bisa menyesatkan publik karena merugikan calon yang difitnah. Para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum.]

Sanksi pidana atas larangan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat, dalam Perppu termuat dalam pasal 187 ayat (2). Dalam naskah RUU Pilkada langsung termuat dalam pasal 157 ayat (2). Dengan ancaman hukuman penjara 3-18 bulan dan denda Rp 600 ribu sampai Rp 6 juta. Tak ada perbedaan di kedua pasal ini.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[7. Mencegah kekerasan dan menuntut calon atas kepatuhan pendukungnya karena banyak kerusakan yang destruktif yang diakibatkan oleh pemilihan kepala daerah.]

Sama seperti poin 6 di atas. Pasal 187 ayat (2) dalam Perppu dan pasal pasal 157 ayat (2) dalam naskah RUU Pilkada berlaku juga bagi pelanggaran kampanye berupa: menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan atau partai politik. Ketentuan pidana di atas, merujuk pada ketentuan larangan kampanye pasal 69 huruf f (Perppu) dan pasal 58 huruf d (naskah RUU Pilkada langsung).

Namun ketentuan “menuntut calon atas kepatuhan pendukungnya”, baik dalam Perppu maupun naskah RUU Pilkada langsung tidak memuatnya. Jika dibaca secara keseluruhan, Perppu sendiri tidak memuat poin ini (sebagai perbaikan). Bila dibaca sebagian, tentang pencegahan atas tindak kekerasan, baik Perppu maupun naskah RUU Pilkada telah mengaturnya, sama dan tak berbeda sama sekali.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[8. Larangan pengerahan aparat birokrasi, karena ditengarai banyak calon menggunakan aparat birokrasi sehingga bisa mengganggu netralitas.]

Terdapat dua ketentuan. Pertama, pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara dan kepala desa/lurah yang terlibat dalam proses kampanye terkena sanksi pidana. Dalam Perppu diatur dalam pasal 188. Sedangkan dalam naskah RUU Pilkada langsung diatur dalam pasal 157 ayat (4). Dengan ancaman hukum yang sama dan tak berbeda antar kedua pasal ini.

Namun, dalam Perppu ada penambahan ketentuan yang tidak diatur dalam naskah RUU Pikada langsung. Calon kepala daerah yang dengan sengaja melibatkan aparatur birokrasi termasuk anggota Polri dan TNI terkena sanksi pidana. Diatur dalam pasal 189. Inilah yang membedakan.

Artinya fraksi partai Demokrat atau Presiden SBY harusnya dapat menunjukan sebagian dari poin kedelapan ini tidak termuat dalam naskah RUU Pilkada langsung.

[9. Selesaikan penyelesaian sengketa pilkada yang akuntabel dan tidak berlarut-larut serta perlu sistem yang tidak mudah dilakukan penyuapan.]

Baik Perppu maupun naskah RUU Pilkada langsung, sama-sama telah mengatur penyelesaian sengketa Pilkada. Sama persis. Penyelesaian tindak pidana melalui Pengadilan negeri. Sengketa administrasi dibawa ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dan penyelesaian sengketa hasil diserahkan kepada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dalam Perppu diatur dalam pasal 157, dalam naskah RUU Pilkada langsung diatur dalam pasal 144.

Lalu darimana timbul pernyataan bahwa poin perbaikan ini tidak dimuat dalam naskah RUU Pilkada langsung?

[10. Larangan pencopotan aparat birokrasi pasca pilkada, karena calon yang menang merasa tidak didukung oleh aparat birokasi.]

Baik Perppu maupun naskah RUU Pilkada langsung, tidak mengatur ketentuan poin ini. Perppu hanya mengatur ketentuan tentang larangan penggantian aparat birokrasi sebelum Pilkada. Bukan sesudah (pasca) Pilkada.

Dengan demikian Presiden SBY melalui Perppu hanya memasukan 9 (sembilan) poin perbaikan. Poin kesepuluh di atas tidak terdapat ketentuannya dalam Perppu. Sementara 9 (sembilan) poin perbaikan telah termuat dalam naskah RUU Pilkada langsung. Kecuali sebagian dari point kedelapan di atas.

Jika 9 (sembilan) poin perbaikan telah masuk dalam ketentuan di naskah RUU Pilkada langsung, mengapa fraksi Partai Demokrat tidak mendukungnya? Dengan alasan 10 poin perbaikan tidak termuat dalam naskah RUU Pilkada langsung, lantas menerbitkan Perppu. Dimana 9 (sembilan) point perbaikan telah ada dan sama persis dengan naskah RUU Pilkada langsung.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun