[caption id="attachment_365478" align="aligncenter" width="600" caption="Presiden Terpilih Joko Widodo / Source : portalkbr.com"][/caption]
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie angkat bicara. Dia mengatakan denganposisi strategis KMP di parlemen saat ini, KMP ingin mengupayakan revisi 122 undang-undang (sumber). Diantaranya KMP akan merevisi UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas, UU No.4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba), UU Perbankan dan UU Telekomunikasi. (sumber). Menangapi hal tersebut, Jokowi mengatakan"Mengubah undang-undang itu tidak apa-apa. Itu kewenangan parlemen. Tapi semangat untuk mengubah itu, bukan untuk kepentingan kekuatan dan kekuasaan sesaat," kata Jokowi (Sumber). Tetapi yang jadi pertanyaan, ada apa dengan UU No. 22/2011? Bukankah sejak UU No 22/2001 diberlakukan, produksi Pertamina meningkat hampir dua kali lipat dari 70.000 barrel menjadi sekitar 130.000 barrel per hari. Efisiensi Pertamina juga makin meningkat. Dan bukankah UU Perbankan telah membantu menciptakan iklim perbankan yang baik. Sehingga lahir bank-bank besar, seperti Bank Mandiri, BCA, BRI, yang sekarang paling profitable dan memiliki nilai kapitalisasi besar, mengalahkan bank asing, seperti CIMB Niaga, Bank International Indonesia dan Bank Danamon.
Patut dicurigai pernyataan yang keluar dari Aburizal Bakrie itu. Seorang konglomerat yang tumbuh subur setelah mendapat pelbagai fasilitas dan konsesi saat pemerintahan Orde Baru. Mengapa dia tidak menyebutakan merevisi UU fakir misikin atau UU jaminan sosial, misalnya. Jelas punya pengaruh langsung pada rakyat banyak. Tercium gelagat perubahan UU itu demi menyokong kepentingan group bisnis khususnya milik Aburizal Bakrie. Dengan alasan untuk mengerem investasi asing dan menumbuhkan perusahaan pribumi. Tapi, fakta menunjukan divestasi saham group Bakrie sebesar 24 persen pada perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara, bukannya malah meningkatkan pendapatan negara. Group Bakrie mengemplang pajak. Bukan hanya pada satu perusahaan ini saja. Beberapa perusahaan milik Bakrie tidak membayar pajak dan royalti kepada negara. Lantaran Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka rahasia ketidakpatuhan perusahaan Aburizal Bakrie membayar pajak dan royalti berakibat Sri Mulyani terpental dari kabinet. Kondisi group Bakrie yang hampir bangkrut akibat kasus Lampido dan anjloknya saham Bumi Resources, mendorong Aburizal Bakrie terus berupaya mencari celah penguasaan aset dan sumberdaya yang lain. Upaya strategis yang dilakukan dengan merombak terlebih dahulu UU yang berkaitan dengan sumber daya alam dan asset nasional.
Jika Aburizal Bakrie lewat tangan KMP akan merevisi beberapa undang-undang demi kepentingan grup bisnisnya, bagaimana Presiden Jokowi akan mencegahnya?. Disahkannya UU Pilkada dijadikan jalan pembuka bagi Aburizal Bakrie dan kroninya untuk memuluskan jalan merevisi UU lain. Apakah mengandalkan kekuatan KIH untuk menangkalnya? Menurut saya, tidak perlu mengandalkan KIH. Mereka sama saja. Politisi partai juga. Bisa berubah sikap dan pendirian sesuai dengan arah angin. Bisa-bisa ikut bergabung dengan KMP. Misalnya seperti Surya Paloh lewat Nasdem yang akan mendapat keuntungan bisnis juga ketika ada revisi UU.
Jokowi mesti menggunakan kekuatan dan kekuasannya sebagai Presiden. Presiden dalam pengertian jabatan politik yang melekat pada dirinya. Presiden dalam arti in persona. Presiden bukan diartikan sebagai pemerintah. Presiden yang memiliki hak konstitusional yang secara gamblang dan eksplisit disebutkan. Meskipun Presiden tidak memiliki kuasa untuk membentuk undang-undang. Tetapi ada tiga kuasa Presiden berkaitan dengan pembentukan undang-undang, yaitu: pembahasan, persetujuan dan pengesahan. Saya akan mulai dari kuasa persetujuan Presiden.
Dasarnya pasal 20 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “ setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.Dilanjutkan dengan pasal 20 ayat (3), “ Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Inilah pasal yang memberi kuasa kepada Presiden untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas RUU. Sejak amandemen UUD 1945 tahun 1999, pasal ini tidak pernah dipergunakan oleh Presiden untuk menolak suatu RUU yang dibahas oleh DPR. Karena tafsir a contrario, frasa persetujuan dapat diartikan Presiden punya hak menolak atau tidak menyetujui. Termasuk Presiden SBY tidak pernah menggunakan hak konstitusional ini saat menolak UU Pilkada.
Penjelasannya begini: persetujuan Presiden dilakukan dengan kehadiran langsung saat pengesahan RUU oleh DPR dalam rapat paripurna. Kehadiran langsung Presiden tidak dapat diwakilkan oleh siapapun, baik oleh Menteri atau Wakil Presiden. Secara imperatif, pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyebut langsung pada jabatan yaitu Presiden. Presiden secara in persona. Sifat kemutlakan kehadiran ini juga dijustifikasi oleh Pasal 72 Ayat (1) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, "Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang”. Sangat berbeda pada tahapan pembahasan RUU. Presiden dapat mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri yang ditunjuk. Sebagaimana pasal 65 ayat (1) UU No.12 tahun 2011, “ Pembahasan RUU dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau Menteri yang ditugasi." Benar saat pembahasan RUU Pilkada, Presiden menunjuk Mendagri untuk mewakili pemerintah. Tetapi kewenangan Mendagri sebatas pembahasan bukan persetujuan. Seharusnya jika Presiden SBY tidak setuju dengan RUU Pilkada, dia harus hadir secara langsung dalam rapat paripurna DPR tanggal 25 September 2014 lalu. Tapi, itu tidak dilakukan Presiden SBY yang kebetulan sedang melakukan lawatan ke Amerika Serikat.
Jika ke depan, Presiden Jokowi akan menolak RUU yang akan disahkan oleh DPR, Presiden harus hadir dalam rapat paripurna DPR. Dalam rapat tersebut, Presiden akan menyampaikan pandangan umumnya secara formal. Sekalipun RUU telah disahkan oleh DPR lewat aklamasi semua fraksi setuju, jika Presiden tidak setuju, maka tidak tercapai apa yang dimaksud persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Penolakan Presiden atas RUU, lazim dikatakan sebagai hak veto Presiden.
Sesungguhnya hak veto Presiden (Presidential veto) tidak dikenal dalam khasanah sistem ketatanegraan kita. Berbeda halnya dengan Presiden Amerika. Konstitusi Amerika memberikan hak veto kepada Presiden untuk menolak RUU. Namun hak veto Presiden Amerika dapat dibatalkan oleh Kongres AS (override). Bila dua per tiga anggota Kongres menolak hak veto Presiden, maka RUU otomatis tetap akan menjadi UU. Di Indonesia, bila Presiden menggunakan hak konstitusionalnya menolak RUU maka RUU itu akan gugur dengan sendirinya. Dan DPR tidak dapat membatalkan “hak veto” Presiden tersebut. Dengan kata lain, RUU belum dapat disahkan dan diundangkan menjadi UU,apabila tidak tercapai persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.Dalam konteks checks and balances, hak veto merupakan sarana bagi Presiden sebagai pemegang cabang kekuasaan eksekutif untuk mengontrol Parlemen. Dengan hak veto, Presiden dapat membatalkan rancangan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen.
Kuasa Presiden kedua yakni pembahasan. Bila DPR berinisiatif mengajukan RUU, Presiden sejak awal dapat juga menggantungnya. Karena setiap RUU disyaratkan adanya pembahasan bersama antara DPR dan Presiden atau Menteri yang ditugasi. RUU akan mengantung jika tidak ada pembahasan bersama. Tidak bisa DPR membahasnya sepihak. Atau Komisi di DPR memanggil Kementrian terkait untuk melakukan pembahasan RUU. Sebab penugasan kementrian terkait dasarnya adalah Amanat Presiden (Ampres). Selama Presiden tidak mengeluarkan Ampres, tak satupun kementrian dapat ikutserta dalam pembahasan RUU dengan DPR.
Tapi kuasa Presiden itu dapat digunakan secara optimal jika RUU yang akan dibahas dan disahkan oleh DPR dianggap terdapat agenda terselubung demi kepentingan dan kekuasaan elit politik atau golongan tertentu. Seperti agenda Aburizal Bakrie untuk mendapat manfaat pada group bisnisnya. Sepanjang RUU bertujuan demi kesejahteran rakyat, Presiden wajib mendukungnya. Demikian juga sebaliknya dengan DPR. Kita tidak ingin hukum (UU) dijadikan alat untuk membela, melindungi dan memberi manfaat hanya kepada segelintir orang saja.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H