[caption id="attachment_354569" align="aligncenter" width="600" caption="Koalisi Merah Putih/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Pernyataan politik kadang tidak bisa ditangkap sebagai pesan keluar. Pernyataan yang ditujukan kepada pihak luar. Dalam politik, sebuah pernyataan yang dianggap pesan dapat ditujukan ke dalam, dan dapat juga keluar.
Pernyataan-pernyataan politik yang disampaikan koalisi merah putih pasca 9 Juli 2014, saya menilainya suatu pesan yang lebih banyak ditujukan ke dalam. Sasaran tembaknya justru ditujukan kedalam tubuh sendiri. Semacam sugesti diri.
Misalnya pernyataan “kami tetap solid”, “lihatlah semua ketua-ketua partai tanda tangan di sini”. Pernyataan ini terasa janggal dan terkesan kekanak-kanakan. Seperti hendak memamerkan kehebatan diri sendiri pada pihak lain. Terus terang saya bukan ahli komunikasi politik, jadi sekedar menerka saja. Terasa ada yang ganjil dan aneh.
Semua politisi juga tahu, bahwa tidak ada yang abadi di dunia politik. Penggunaan kata “permanen”, “solid”, “kompak”, di luar nalar politik secara empirik. Apa ada yang solid dan permanen di dunia politik kita. Titik temu politik oleh aktor politik terutama di Senayan sana, adanya kepentingan yang sama. Sedangkan dalam tradisi politik kita, kepentingan yang dimaksud lebih bersifat taktis, jangka pendek dan penuh dengan hasrat pribadi-pribadi.
Saya kira para aktor-aktor politik dalam koalisi merah putih, bukanlah politisi kemaren sore. Mereka lebih paham denyut politik nyata. Jadi, pernyataan-pernyataan politik yang kerap dilontarkan sebulan terakhir, saya lebih melihatnya ditujukan ke dalam. Pesan politik ke dalam tubuh anggota koalisi sendiri.
Menurut saya tidak ada yang namanya koalisi permanen atau solid. Tidak ada hitung-hitungan kursi mayoritas penguasaan parlemen untuk menandingi pemerintahan Jokowi-JK nantinya. Tidak ada perseturuan abadi PDIP versus PKS, yang dianggap banyak orang seperti minyak dan air. Tidak ada itu. Pada satu titik bisa ketemu, pada titik lain bisa berpisah. Tergantung terakomodasinya kepentingan.
Pernyataan “kami tetap solid” atau permanen, menurut saya wujud dari kekuatiran Prabowo sebagai penggagas koalisi. Gejala dan potensi keretakan dalam tubuh sendiri sudah mulai terendus. Ketika UU MD3 berhasil dikotak-katik. Pertanyaan, siapa yang berkepentingan? Lebih konkrit lagi, siapa yang berkepentingan duduk menjadi Ketua DPR. Memangnya PAN dan PKS tidak minat?. Atau atas nama besar koalisi merah putih, apa mau Golkar menyerahkan begitu saja kursi Ketua DPR pada Gerindra?. Dalam pemberitaan terakhir, semua partai dalam tubuh koalisi merah putih berharap besar pada kursi ketua DPR.
Lalu partai mana yang tidak mau menduduki kursi Menteri?. Omong kosong soal oposisi. Partai mana yang bisa “tahan lapar” ?, Sudah rahasia umum, kementrian menjadi ATM bagi pendanaan partai dan politisi di dalamya. Apalagi seperti partai Demokrat yang sudah menikmati privilage itu selama SBY berkuasa. Memangnya mau “kelaparan”. Apalagi seperti Golkar, dari mbah buyutnya memang cari makan di pemerintahan. Berharap mendapat konsesi dan rente proyek-proyek nasional. Ngemplang pajak dan royalti. Orang-orang seperti Aburizal Bakrie,Yusuf Kalla, Arifin Panigoro, yang lebih dikenal sebagai Ginanjar boys, bukanlah pengusaha sukses yang merangkak dari bawah. Mereka besar atas perlindungan, dan memberikan konsesi dan privilage oleh pemerintah Suharto dulunya.
Begitupun ketika saya mendengar ada gagasan mau membentuk Pansus Pilpres. Ada yang berganggapan ini upaya pihak-pihak yang kalah akan melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi nantinya. Mikirnya terlampau jauh dan serius. Saya berpandangan, isyu ini hanya semacam gertak sambal untuk dijadikan alat transaksi dengan Pemerintahan Jokowi. “Kalo loe, ngga kasih jatah gue, gue pake ni barang”.Seperti juga Pansus Century dulu untuk menyandra Pemerintahan SBY. Ngga ada itu cerita soal check and balance, oposisi atau pengawasan kritis terhadap pemerintahan. Ujungnya sudah bisa ketebak, kuasa dan uang.
Termasuk upaya koalisi Merah Putih tetap mengajukan ke PTUN dan MA. Jangan dikira ini serius. Mereka semua itu pintar-pintar. Tidak sebodoh yang kita kira, meski tampangnya pura-pura bodoh. Ini kan semacam anak kecil yang sibuk kalau diberi mainan. Kalau mainannya hilang dia nangis bahkan tidur, Ya, supaya koalisi tetap sama-sama terus maka mesti dibuat mainan. Paling tidak terjadi komunikasi dan rapat-rapat bersama. Seia sekata. Jadi ini semacam pesan juga ke dalam, pesan tersirat, “kita masih punya kerjaan bersama, ada musuh bersama,jangan mengurus perut masing-masing”. Tapi sampe berapa lama daya tahannya?
Itupun jika berjalan normal dan linear. Padahal politik tidak berjalan linear. Seperti langkah catur yang kadang sulit ketebak. Kalau kubu Jokowi-JK, melakukan manuver, bisa mati langkah juga. Bisa buyar itu koalisi. Tinggal pengacara yang memang kerjanya cari makan, yang ngurus kesana kemari membawa berkas gugatan ke semua peradilan. Pahami saja lah. Seperti dokter, yang senang kalau ada orang sakit. Begitu juga pengacara, senang kalau banyak perkara. Kalau perlu sampai 5 tahun ada perkara terus. Namanya juga dibayar.
Meskipun pada akhirnya, pengendali ini akan kembali lagi ke Golkar. Bukan PDIP atau Gerindra. Golkar tidak bisa dipahami hanya sebatas partai politik. Tapi suatu jaringan politik yang sudah berurat berakar sejak Orde Baru. Golkar tidak dipahami hanya sebatas Aburizal Bakrie. Semua yang berbau Orde Baru, bagi saya ya tetap Golkar. Yusuf Kalla, itu Golkar. Surya Paloh, juga Golkar. Wiranto juga begitu, Prabowo apa lagi, memang anak kandung Golkar. Tjahyo Kumolo, tetap diwaspadai sebagai mantan kader Golkar. Maksud saya, siapapun yang berkuasa: Jokowi atau Prabowo, akhirnya pola permainan politik akan dikendalikan oleh Gollkar.Anda boleh tidak setuju. Tapi inilah pendapat saya.
Jangankan koalisi berada di luar pemerintahan yang katanya mau jadi oposisi itu. Koalisi di dalam pemerintahanpun tidak ada jaminan solid dan permanen. Terbukti SBY dengan Setgab dengan kekuatan lebih dari 70% komposisi politik ada di tangannya, ditelikung PKS juga dan Golkar yang main dua kaki.
Hanya media massa yang kadang lebay, melebih-lebihkan pernyataan politik seorang politisi. Dan menjadi materi ulasan para komentator yang hadir di televisi. Mengulas dari kajian konspiratif sampai teori politik yang rumit. Padahal pernyataan politik seorang politisi tidak bisa diartikan semantik, eksplisit dan pasti. Pernyataan politik lebih pada upaya siasat ketimbang strategi. Membuat pesan ke dalam, menelaah yang implisit atau yang tidak dikatakan, menampilkan wajah “polisi baik dan polisi jahat”, mengaharap pantulan bola bilyard, dst… Artinya pernyataan politik bisa punya macam-macam arti dalam dunia politik kita.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H