Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Perlawanan Kubu Aburizal Bakrie

12 Maret 2015   19:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:45 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pelajaran hukum yang menarik dari peristiwa kisruh internal DPP Partai Golkar. Kisruh kepengurusan DPP Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono. Antara kubu hasil Munas Bali dengan hasil Munas Jakarta. Pelajaran hukumnya, masing-masing pihak menempuh penyelesian perselisihan melalui pengadilan. Baik lewat peradilan umum seperti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, PN Jakarta Pusat, upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan penyelesaian lewat Mahkamah Partai Golkar (MPG). Tulisan ini khusus mengulas upaya hukum yang dilakukan oleh kubu Aburizal Bakrie lewat PN Jakarta Barat dengan memperhatikan putusan PN Jakarta Barat (sebelumnya) dan putusan MPG.

PUTUSAN PN JAKARTA BARAT

Seperti diwartakan sejumlah media, PN Jakarta Barat telah mengambil putusan pada tanggal 23 Februari 2015. Dengan tiga amar putusan (1) menerima eksepsi Tergugat I tentang kompetensi absolut; (2) Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; (3) menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 1.216.000,00.

Dalam perkara ini yang dimaksud Tergugat I adalah pihak yang menamakan dirinya “Presidium Penyelamat Partai Golongan Karya” yang dipimpin oleh Agung Laksono. Dalam eksepsinya Tergugat I meminta kepada pengadilan untuk tidak menerima gugatan kubu Aburizal Bakrie sebagai penggugat karena PN Jakarta Barat tidak memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa dan mengadili pokok perkara. Kompetensi absolut adalahwewenang pengadilan untuk memeriksa suatu perkara berdasarkan lingkungan peradilan yang bersangkutan. Pokok perkara berupa perselisihan internal partai Golkar, menjadi wewenang MPG untuk menyelesaikannya (vide Pasal 32 ayat (2) UU Parpol). Dengan amar putusan pertama tersebut, berakibat pada amar putusan kedua dimana PN Jakarta Barat menyatakan gugatan (pokok perkara) kubu Aburizal Bakrie tidak dapat diterima.

Terkait dengan amar putusan yang menerima eksepsi kubu Agung Laksono, maka putusan itu disebut putusan sela atau interim meascure atau tussen vonis yaitu putusan yang dijatuhkan masih dalam proses persidangan sebelum putusan akhir dibacakan. Atau putusan yang dikeluarkan oleh hakim sebelum dimulainya pemeriksaan pokok perkara.

Putusan nomor 8/Pdt.Sus-Parpol/2015/PN.Jkt.Brt yang dibacakan oleh ketua Majelis Hakim Oloan Harianja. Membaca format dan isi putusan tersebut, putusan sela berbentuk suatu putusan akhir (eind vonis). Karena putusan sela bisa juga dibuat dalam format Penetapan atau Putusan Sela. Disini bisa menimbulkan multi tafsir. Apakah putusan sela tersebut dibacakan dalam format putusan akhir atau putusan sela yang berdiri sendiri. Saya berpendapat putusan sela tersebut dibuat dalam format putusan akhir dengan membaca kepala dokumen tertulis “putusan”. Apakah ada akibat hukum dari dua format yang berbeda ini?

Putusan sela yang ditulis dalam format putusan akhir mengandung konsekuensi berlakunya asas nebis in idem. Artinya dikemudian hari pemohon/penggugat dalam hal ini kubu Aburizal Bakrie tidak dapat lagi mengajukan permohonan (baru) dengan obyek permohonan/ perkara yang sama. Sebagaimana telah ditentukan dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 30 Januari 2002 tentang Nebis In Idem.

Lalu apa yang terjadi? Pada tanggal 4 Maret 2015, kubu Aburizal Bakrie mendaftarkan gugatan baru ke PN Jakarta Barat. Setelah mereka mencabut pengajuan kasasi di MA. Idrus Marham mengatakan bahwa pada intinya substansi gugatan baru sama dengan gugatan sebelumnya. Pihaknya meminta pengadilan menyatakan Munas Bali adalah sah, termasuk kepengurusan yang dibentuknya (sumber). "Sebelum mendaftarkan gugatan baru ini kami lebih dulu mencabut pernyataan kasasi atas putusan sela PN Jakarta Barat yang sebelumnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima, sehingga putusan tersebut menjadi inkracht," tambah Idrus.

Disini terletak kesalahpahaman. Secara langsung dan tidak langsung kubu Aburizal Bakrie mengakui bahwa putusan sela PN Jakarta Barat pada 23 Februari 2015 telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam SEMA 3/2002, dinyatakan asas nebis in idem ditujukan pada perkara dengan obyek dan subyek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan ini ditandaskan agar tercipta kepastian hukum dengan menghindari adanya putusan yang berbeda dengan obyek dan subyek yang sama.

Bila menggunakan asumsi bahwa putusan sela itu ditulis dalam format putusan akhir dan dinyatakan telah berkekuatan humum tetap, maka gugatan baru kubu Aburizal Bakrie akan ditolak oleh PN Jakarta Barat. Penolakan lewat ketetapan Ketua PN Jakarta Barat setelah panitera memeriksa berkas perkara.

Tetapi jika putusan sela tersebut diasumsikan sebagai putusan provisionil (provisioniele vonnis) maka gugatan baru itu dapat diperiksa oleh majelis hakim PN Jakarta Barat. Putusan provisionil adalah putusan yang dijatuhkkan untuk memberikan jawaban tuntutan pihak yang berperkara agar dilakukan tindakan pendahuluan guna kepentingan pihak pemohon sebelum dijatuhkan putusan akhir.

Meskipun demikian, harapan pemohon tidaklah semulus yang diperkirakan. Karena majelis hakim akan memberikan tafsir dan penilaian atas putusan MPG tanggal 3 Maret 2015. Memberi tafsir atas frasa “tidak tercapai” pada Pasal 33 ayat (1) UU Parpol “ Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri “.

PUTUSAN MAHKAMAH PARTAI GOLKAR

Putusan MPG tanggal 3 Maret 2015 terbilang unik dengan asumsi yang dinyatakan oleh kubu Aburizal Bakrie. Kelompok ini menyatakan bahwa putusan MPG tidak memutuskan apa-apa.Tepatnya tidak ada putusan tentang perselisihan kepengurusan. Bila benar demikian, maka Pasal 32 ayat (5) UU Parpol tidak berfungsi. Pasal yang berbunyi “ Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan “. Ditautkan dengan asumsi itu bisa dikonstruksikan “putusan MPG yang berisi tidak memutuskan apa-apa bersifat final dan mengikat”. Ini aneh, baru kali ini adanya “pengadilan” yang tidak membuat putusan.

Padahal dalam putusan MPG tersebut tercantum amar putusan atau dictum. Hanya isi dictum tersebut (halaman 133) tidak menyatakan dengan tegas putusan yang diambil. Akibatnya pembacaan amar putusan itupun menjadi multi tafsir. Kesalahannya, meletakan pendapat “hakim-hakim” MPG pada bagian amar putusan. Seharusnya amar putusan harus dibaca satu kesatuan putusan MPG dan tidak lagi mewakili pendapat-pendapat “hakim”. Pendapat berbeda atau dissenting opinion harusnya diletakan dibawah amar putusan dan tidak menjadi bagian dari amar putusan. Bila amar putusan bemuatan pendapat-pendapat “hakim” MPG maka para pihak bisa melakukan pilihan atas pendapat-pendapat itu sesuai kepentingan masing-masing.

Menurut saya, pendapat Muladi dan Natabaya adalah pendapat berbeda atau dissenting opinion atas pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. Bukan pendapat berbeda dengan Djasri Marin dan Andi Matalatta. Pendapat hakim (mayoritas) yang menjadi dasar amar putusan dituangkan dalam bagian “pendapat atau pertimbangan majelis” di bagian atas sebelum masuk dalam dictum. Jadi pendapat berbeda Muladi dan Natabaya ditujukan pada bagin pertimbangan majelis bukan pada amar putusan atau dictum. Ringkasnya, pertimbangan majelis dan dissenting opinion bukanlah dictum.

Pendapat berbeda suatu yang lazim di semua putusan peradilan yang menunjukan ketidak setujuan terhadap putusan penghakiman dari mayoritas hakim dalam majelis hakim yang membuat keputusan penghakiman di dalam sebuah sidang pengadilan. Akan tetapi dissenting opinion tidak akan menjadikan sebuah preseden yang mengikat atau menjadi bagian dari keputusan penghakiman. Biasanya dissenting opinion merupakan suara minoritas hakim yang kalah suara. Wujud dissenting opinion dapat berupa mengajukan pendapat berbeda atau tidak berpendapat (abstain). Sehingga amar putusan diambil dari pendapat hakim mayoritas yang berpendapat.

Meski berbeda pendapat, pendapat itu harus dimuat dalam dokumen putusan. Sebagaimana Pasal 14 ayat (3) UU 48 Tahun 2009. “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan." Hal ini sebagai bentuk pengakuan bahwa hakim itu independen dan sebagai corak dari sistem hukum Anglo Saxon.

Singkatnya, MPG telah menghasilkan dictum atau amar putusan atas obyek perkara perselisihan kepengurusan. Pendapat berbeda (atau tidak berpendapat) dari Muladi dan Natabaya adalah dissenting opinion. Bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dan dissenting opinion tidak bisa diartikan tidak adanya amar putusan. Prinsipnya dissenting opinion adalah penolakan atas dictum. Letak kekeliruan dari berkas putusan MPG itu, meletakan dissenting opinion dalam bagian dictum bukan terpisah dan diletakan sesudahnya.

Dengan asumsi bahwa amar putusan itu ada dalam putusan MPG itu maka sesungguhnya penyelesaian perselisihan lewat MPG telah tercapai dan putusan itu bersifat final dan mengikat.

Jadi apa yang dilakukan oleh kubu Aburizal Bakrie dengan mengajukan gugatan baru ke PN Jakarta Barat (4/3/2015) adalah wujud lain dari “perlawanan” atau verzet. Verzet dalam pengertian tanda petik, atas putusan MPG yang berisifat final dan mengikat. Pada dasarnya verzet ini disediakan bagi pihak yang (pada umumnya) dikalahkan. Hanya upaya verzet hanya dapat dilakukan pada putusan yang belum inkracht.

Salam Kompasiana.

Sumber bacaan:

·Undang-UndangNomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

·Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

·Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 8/Pdt.Sus-Parpol/2015/PN.Jkt.Brt

·Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002

·Mertokusumo, Sudikno, Prof. Dr., S.H., Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, cet.ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993

·Potongan putusan Mahkamah Partai Golkar tanggal 3 Maret 2015 halaman 133-135.

·Pemberitaan di pelbagai media massa online.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun