Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Perbuatan Tercela ala Margarito

30 Januari 2015   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis memberi komentar atas isyu pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Margarito memberi saran kepada Jokowi agar Budi Gunawan tetap dilantik lantaran sudah disetujui oleh DPR RI untuk menjadi Kapolri. "Kalau BG tidak dilantik berarti presiden melecehkan DPR RI secara kelembagaan," katanya. "Kalau tidak melantik berarti hal ini dikategorikan sebagai perbuatan tercela secara hukum," imbuhnya (sumber).

Sepintas komentar Margarito biasa saja. Namun ada pernyataan yang menurut saya patut diluruskan, yakni frasa “perbuatan tercela”. Nampak Margarito ingin memberi pembenaran dan mendorong DPR untuk melakukan tahapan pemakzulan. Bila DPR begitu saja menelan komentar Margarito ini, cukup jadi alasan DPR membuat dakwaan atau impeach. Sebab frasa “perbuatan tercela” masuk dalam syarat pemakzulan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7A UUD 1945. Karena sudah menyinggung perihal konstitusi, sayapun angkat bicara.

Lalu apa yang dimaksud dengan perbuatan tercela itu? Karena UUD 1945 tidak ada lampiran penjelasan sebagai tafsir otentik, maka tafsir atas norma tersebut merujuk pada dua hal: pertama, tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) dan kedua, tafsir historis dengan membaca kembali risalah perdebatan munculnya Pasal 7A. Dua dokumen tertulis inilah yang menjadi rujukan. Jika tidak, semua orang bisa melakukan tafsir konstitusi sesuka hati.

Menurut Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disebut Perbuatan tercela adalah perbuatan yang sedemikian rupa merendahkan martabat dan kedudukan seorang presiden. Hamdan Zoelva, mantan hakim Konstitusi yang menulis disertasi doktornya khusus tentang pemakzulan menyatakan bahwa perbuatan tercela erat kaitannya dengan pelanggaran nilai-nilai agama, moral maupun adat. Frasa “perbuatan tercela” sesungguhnya menyadur dari konstitusi Amerika Serikat yang dipadankan dengan istilah misdemeanors. Dimana lebih ditekankan pada pelanggaran moral kesusilaan.

Namun, batasan perbuatan tercela begitu luas bila merujuk pada norma-norma sosial. Maka diperlukan adanya parameter dan pembuktian hukum yang jelas. Karena masyarakat Indonesia yang plural, batasan moral pun berbeda-beda. Oleh karena itu, MK kemudian menggunakan pendekatan hukum pidana yang lebih terukur. Kenapa menggunakan parameter hukum pidana? Sebab pelanggaran-pelanggaran lain dalam Pasal 7A seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana lainnya menggunakan parameter hukum pidana. Presenden mengalihkan perbuatan tercela dalam ranah hukum perdata ke hukum pidana terjadi pada perkara Cohen melawan Lindenbaum yang diputuskan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda). Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan tercela adalah perbuatan melawan hukum yang selain melanggar hak subyektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, juga bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat.

Selain itu, alasan-alasan pemakzulan membutuhkan pembuktian yang sah menurut hukum. Seperti halnya peradilan umum, dalam memutus perkara MK pun membutuhkan pembuktian. Pembuktian atas perbuatan tercela hanya dapat menggunakan istrumen hukum pidana. Ringkasnya, perbuatan tercela masuk dalam katagori hukum pidana sebagaimana perbuatan lain yang ada dalam Pasal 7A UUD 1945 selain pelanggaran administratif berupa tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.

Kedua, tafsir historis untuk menelisik orinal intent dalam norma Pasal 7A. Pembahasan dan perdebatan pasal ini berlangsung saat Rapat PAH I BP MPR ke-25 pada 6-12 September 2001. Paling tidak ada tiga pendapat yang dapat dirujuk: Rosnaniar dari fraksi Partai Golkar dan Soedijarto dari fraksi Utusan Golongan. Keduanya mengacu pada peristiwa impeachment atas Presiden Bill Clinton karena tersandung skandal seksual. Seperti yang dikatakan Rosnaniar “ Seorang Presiden dan Wakil Presiden adalah panutan dan tuntunan bagi rakyat. Contohnya saja negara Amerika Serikat saja, negara liberal, Presidennya jatuh karena wanita, hampir jatuh. Berarti perilaku seorang Presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintah sangat diperhatikan oleh rakyat yang memilihnya. Hati-hati dengan wanita. Bahwa moral itu adalah yang nomor satu meskipun penilaiannya agak relatif”. Slamet Effendi Yusuf dari fraksi Partai Golkar mengatakan “ Maksud saya perilaku, tindakan personal yang berkaitan dengan misalnya, pelanggaran hukum, pengkhianatan, korupsi, penyuapan atau perbuatan tercela yang lain.Dan itu sifatnya personal bukan policy kenegaraan”.

Jimmly Assiddiqie yang saat itu terlibat dalam amandemen UUD 1945 menegaskan dua hal : pertama, pelanggaran hukum yang dimaksud dalam rumusan Pasal 7A berkaitan dengan kapasitas presiden sebagai pribadi (individu/perorangan). Kedua, rumusan perbuatan tercela dalam Pasal 7A awalnya akan dieksplisitkan dengan sebutan “penyimpangan seksual” namun mempertimbangkan kepantasan norma konstitusi, istilah itu tidak digunakan dan diubah menjadi frasa “perbuatan tercela”.

Dari ulasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Batasan perbuatan tercela masuk dalam katagori tindak pidana yang memudahkan proses pembuktian di MK; (2) Perbuatan tersebut dilakukan oleh presiden dalam kapasitas pribadi atau diluar tugas dan wewenangnya; (3) Perbuatan tersebut berhubungan dengan prilaku moral dan kesusilaan; dan (4) Perbuatan tersebut merendahkan martabat dan kedudukan Presiden.

Dengan parameter ini, bisa diuji pendapat Margarito yang mengatakan bahwa Kalau Presiden tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri yang sudah disetujui DPR dikatagorikan sebagai perbuatan tercela. Pertama, apakah kebijakan Jokowi tersebut masuk dalam perbuatan tindak pidana? Jika ya, apa alat buktinya? Mau dibaca 1000x KUHP, tidak bakal dapat menemukan tindakan ini sebagai tindak pidana; Kedua, apakah yang dilakukan oleh Jokowi itu sebagai kapasitas pribadi atau merupakan bagian dari tugas dan kewenangannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan? Jika Jokowi menggunakan kewenangannya sebagai Presiden secara semena-mena, namanya abuse of power. Sedangkan abuse of power tidak masuk dalam rumusan pasal 7A. Ketiga, apakah tindakan Jokowi itu melanggar moral dan kesusilaan? Sulit kita mencari pembenarannnya. Mungkin yang lebih tepat melanggar etika kenegaraan dengan rujukan “melecehkan DPR”. Namun demikian etika tersebut secara gamblang telah terumuskan dalam aturan baku di Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; dan Keempat, apakah tindakan atau kebijakan Jokowi tersebut merendahkan martabat dan kedudukannya sebagai Presiden? Justru yang terjadi sebaliknya, dengan mengutip komentar Margarito yang bilang bahwa Presiden telah melecehkan DPR secara kelembagaan.

Dari keseluruhan ulasan di atas, saya bertanya darimana Margarito dapat menyimpulkan bahwa jika Presiden Jokowi tidak melantik Budi Gunawan “dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Saya tidak akan menanggapi hal ini, jika yang menyatakan masyarakat awam. Tapi sebagai pengamat dan ahli hukum tata negara, pernyataan Margarito itu dapat menyesatkan.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun