Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

20 Februari 2015   21:03 Diperbarui: 27 Februari 2018   12:10 1577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan tanggal 16 Februari 2015 sudah bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Disebut demikian karena tidak ada upaya hukum biasa yang dapat memeriksa tingkat lanjut atas putusan tersebut. Putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2012 yang membatalkan Pasal 83 ayat (2) KUHAPyang mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan. Dan berdasarkan Pasal 45A UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwabahwa kasasi terhadap perkara praperadilan tidak dapat dibenarkan.

Hal yang bisa dilakukan oleh penyidik dalam hal ini KPK dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). PK adalah upaya hukum luar biasa. Berbeda dengan banding dan kasasi yang disebut upaya hukum biasa. Dasarnya menggunakan Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2014 tanggal 28 Maret 2014. Surat Edaran yang dihasilkan dari rapat pleno kamar pidana MA pada 19-20 Desember 2013. Rumusan hukum hasil rapat pleno kamar pidana point 1 (dari 10 poin) menyatakan PK terhadap praperadilan tidak diperbolehkan kecuali dalam hal ditemukan indikasi penyelundupan hukum. Rumusan ini dibuat oleh tim yang diketuai oleh hakim agung Andi Samsan Nganro dan dihadiri oleh ketua Kamar Pidan MA, Artidjo Alkostar.

Pertanyaan kemudian, apa yang dimaksud dengan “penyelundupan hukum” tersebut? Tidak ada penjelasan dalam lampiran SEMA itu. Istilah ini tidak lazim dipergunakan di hukum pidana. Karena istilah penyelundupan hukum hanya dikenal di hukum perdata internasional. Istilah lain penyelundupan hukum adalah Wetsontduiking. Secara substansial, istilah penyelundupan hukum berkaitan dengan tertib hukum. Dalam hukum perdata Internasional, ada upaya pengesampingkan hukum nasional dengan menggunakan hukum asing.

Karena tidak ada kejelasan arti dari penyelundupan hukum, saya sebatas mengutip pernyataan dua orang ahli hukum. Pertama, Hakim Agung Syarifuddin mengatakan "Menjadi kebijakan MA dalam rapat pleno kamar pidana yang dilakukan di Karawaci Tangerang dan rapat pleno kamar pidana di Mega Mendung Bogor untuk menyatakan tidak dapat diterima permohonan PK atas putusan praperadilan. Hal itu terdapat pengecualian yaitu hanya diperkenankan dalam hal terjadi penyelundupan hukum yaitu praperadilan yang melampaui kewenangannya sesuai pasal 77 KUHAP," katanya (sumber). Dr.Syarifuddinadalah salah satu dari 18 Hakim Agung kamar hukum pidana MA yang ikut terlibat dalam rapat pleno kamar hukum pidana MA hingga diterbitkannya SEMA di atas. Secara terang hakim agungSyarifuddinmengartikan penyelundupan hukum adalah “praperadilan yang melampaui kewenangannya sesuai pasal 77 KUHAP. Hal serupa pernah dilakukan oleh MA yang membatalkan putusan praperadilan lewat putusan PKNomor 87 PK/Pid.B/2013.

Pendapat kedua, mantan hakim konstitusi Harjonoyang menilaiputusan praperadilan tidak sesuai KUHAP. "Hakim ini (Sarpin) ini kan buat penafsiran-penafsiran sendiri tidak sesuai KUHAP. Maka sebaiknya untuk mencari kepastian hukum sebaiknya KPK ajukan PK saja," ujar Harjono(sumber).Dr. Harjono menyelesaikan tugasnya sebagai hakim konstitusi pada 25 Maret 2014 karena sudah masuk usia pensiun.

Dalam kaitan dengan pendapat MA atas putusan praperadilan yang melampaui kewenangannya dapat dirujuk pada dua hal: Pertama, Surat Badan Pengawas MA SuratNomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal21 Maret 2013.Pada pokoknya isi surat itu menerangkan bahwa hakimSuko Harsono terbukti melanggar kode etik hakimkarena telah melanggar undang-undang dengan memperluas objek praperadilan. Atau masuk dalamkategori unprofessional conduct (tindakan yang tidak profesional) dengan membuat keputusan sah/tidak sahnya penetapan seorang tersangka yang secara limitatif telah diatur dalam KUHAP.

Surat tersebut tentu saja tidak membatalkan putusan praperadilan karena bukan putusan PK MA. Disebabkan saat itu Kejaksaan Agung tidak mengajukan PK tetapi hanya sebatas surat dariJampidsus Andhi Nirwanto. Namun demikian, isi surat tersebut mengambarkan sikap MA atas putusan praperadilan yang dianggap telah melampaui kewenangannya. Denganmemperluas objek praperadilanyang sudah diatur secara limitatif dalam KUHAP.

Rujukan kedua, Putusan PK MANomor18 PK/PID/2009 tanggal 23 Juli 2009. Putusan MA yang membatalkan putusan praperadilan PN BandungNo. 04/PID/PRA/2008/PN.BDG. tanggal 26 September 2008.Putusan praperadilan sebelumnya menyatakan tidak sah penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Bandung. Atas putusan itu, MA membatalkannya denganmenyatakanpenangkapan dan penahanan atas diri Pemohon adalah sah menurut hukum.Walaupun obyek perkara itu berbeda (penangkapan yang tidak sah), tetapi ada beberapa hal yang dapat dipetik dari pertimbangan hakim agung dalam membuat putusan MA itu.

MA menilai hakim praperadilan melakukan kekeliruan dalam pemeriksaan perkara. Terjadi deviasi prosedural pemeriksaan yang perlu diluruskan melalui upaya hukum luar biasa. Kekeliruan yang dimaksud adalah Pertama, hakim praperadilan melakukan pemeriksaan dan proses pembuktian dengan masuk ke substansi pokok perkara. Fakta persidangan dengan memeriksa pokok perkara itu yang kemudian menjadi pertimbangan hakim dalam mengambilkeputusan. Artinya, hakim praperadilan tidak dibolehkan memeriksa dan memasukan pertimbangan yang terkait dengan substansi pokok perkara.

Kedua, dengan masuk pada pokok perkara, hakim praperadilan telah melanggar ketentuan proses pembuktian di dalam sidang praperadilan. Pembuktian dalam sidang praperadilan adalah pembuktian administratif.Pada prinsipnya pembuktian administratif memfokuskan mengenai tata cara prosedur dalam melakukan tindakan penahanan atau penangkapan, penghentian penyidikan atau penuntutan oleh Penyidik atau penuntut umum. Bahwa pemeriksaan praperadilan bukan memeriksa pada pokok perkara tetapi pada pembuktian administratif. Pembuktian pokok perkara itu kemudian dimasukan oleh hakim praperadilan dalam pertimbangan putusan, dan jelas oleh MA dianggap putusan tersebut tidak sah. Karena memasukan pertimbangan pembuktian pokok perkara bukan yang bersifat administratif.

Dari uraian di atas, pemohon PK dalam hal ini KPK harus dapat membuktikan tiga hal : (1) apakah putusan praperadilan itusudahmelampaui kewenangannya sesuai pasal 77 KUHAP, sehingga patut dianggap sebagai penyelundupan hukum?; (2) apakah hakim Sarpin, memasukan pertimbangan yang berkenaan dengan substansi pokok perkara yang bukan pertimbangan prosedural?; (3) apakah proses pemeriksaan perkara dilakukan dengan cara pembuktian pokok perkara dan bukan pembuktian yang bersifat administratif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun