Sampai hari ini saya belum mendapat salinan putusan praperadilan. Saya sudah berkirim surat kepada teman minta tolong dicarikan salinan putusan tersebut. Hanya dari dokumen putusan itu, saya baru bisa mengkajinya secara utuh. Hal yang terpenting dari semua putusan pengadilan adalah pertimbangan hakim. Pertimbangan itu semacam dalil yang menjadi dasar adanya amar putusan. Sebenarnya hanya satu bagian pertimbangan saja yang saya butuhkan yakni apa dalil yang digunakan hakim Sarpin hingga dapat menarik kesimpulan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Sembari menunggu salinan putusan tersebut, untuk sementara saya menggunakan bahan dari pemberitaan di media massa online.
Saya akan mencoba untuk menguji satu per satu premis yang ada dalam pertimbangan dalam putusan tersebut.
Premis pertama: penetapan tersangka adalah hasil dari penyidikan. Sarpin merujuk pada fakta persidangan dengan mengutip pendapat ahli Bernard Arif Sidharta. Apakah premis ini benar. Menurut saya benar.
Premis kedua: praperadilan tempat untuk menguji tindakan upaya paksa aparat penegak hukum dalam proses tindakan penyidikan. Apakah premis ini benar? Tidak. Tidak semua upaya paksa dalam proses penyidikan dapat diuji di praperadilan. Salah satunya adalah pemanggilan saksi/tersangka untuk diminta keteranggannya. Saksi/tersangka yang mangkir atau tidak datang setelah ada pemanggilan sebanyak 2 (dua) kali, penyidik dapat melakukan tindakan penjemputan paksa. Bila pemanggilan saksi/tersangka yang dikatagorikan sebagai upaya paksa, dapatkah diuji dan menjadi obyek perkara praperadilan? Padahal Pasal 77 KUHAP tidak memberi wewenang praperadilan untuk menjadikan pemanggilan saksi/tersangka dengan cara paksa menjadi obyek perkara. Meskipun pemanggilan saksi/tersangka adalah upaya paksa aparat penegak hukum dalam proses penyidikan. Contoh sebaliknya, penghentian penyidikan bukan termasuk upaya paksa. Meski bukan upaya paksa tetapi masuk dalam obyek perkara praperadilan. Upaya paksa dalam proses penyidikan yang masuk dalam obyek perkara penyidikan adalah penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan.
Premis ketiga: Segala tindakan penyidikan dan penuntutan adalah upaya paksa karena ada label pro justitia. Pada dalil ini hakim Sarpin membuat kesimpulan yang sembrono. Karena fakta dan normanya tidak semua tindakan penyidikan dan penuntutan = upaya paksa. Untuk mengumpulkan bukti (barang bukti dan alat bukti) penyidik tidak selalu melakukan upaya paksa. Contohnya penggalian mayat untuk menemukan bukti. Penggalian mayat harus seizin keluarga atau ahli waris. Penyidik tidak dapat memaksa. Contoh lain adalah tindakan penyidik untuk mendapatkan alat bukti surat yang bernama visum et repertum. Misalnya, korban pemerkosaan tidak dapat dipaksa untuk divisum demi menemukan alat bukti. Contoh lain, meminta bantuan ahli demi pemeriksaan perkara bukan upaya paksa. Ahli dapat menolak pemanggilan penyidik. Berbeda dengan pemanggilan saksi/tersangka.
Sembrononya hakim sarpin ketika menyatakan “upaya paksa karena ada label pro justitia”. Arti harfiah pro justitia adalah demi hukum, dengan kata lain juga adalah demi undang-undang untuk menegakan keadilan. Semua berkas yang dihasilkan dari proses penyidikan selalu mencantumkan label “pro justitia”. Termasuk alat bukti surat yang bernama visum et repertum. Sudah dijelaskan di atas bahwa pencarian visum et repertum bukan upaya paksa meski ada label “pro justitia”. Tidak hanya dalam proses penyidikan, label “pro justitia” digunakan. Kita yang pernah mendapat surat tilang bukti pelanggaran lalu lintas dari Polantas, selalu tertera label “pro justitia”. Sedangkan Polantas bukan penyidik yang sedang melakukan upaya paksa.
Kesimpulannya: Karena penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan, maka lembaga hukum yang berwenang mengujinya adalah praperadilan. Dan penetapan tersangka menggunakan Surat Perintah Penyidikan ada label pro justitia”.
ketika premis dua dan tingga tidak sound, maka tentu kesimpulannya invalid.
Bila dianggap keputusan hakim Sarpin adalah penemuan hukum, dalam pertimbanganya tidak tertera pasal atau ayat dalam KUHAP yang akan ditafsirkan secara luas. Hakim Sarpin hanya mengartikan secara luas arti dari “pro justitia” yang jelas-jelas bukan norma yang tertera dalam KUHAP.
Saya kira itu saja. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H