Terus terang, dalam minggu ini saya menunggu ulasan pak Prayitno Ramelan melalui tulisannya. Membuat analisa atas peristiwa-peristiwa politik yang lagi heboh dengan prespektif intelejen. Menurut saya ada dua kekuatan yang selalu ada dalam tulisan pak Prayitno. Pertama, informasi-informasi yang disajikan relatif lebih lengkap dan bahkan bersumber dari kalangan internal. Saya kira lumrah saja, sebagai pengamat intelejen, Pak Prayitno tentu harus memenuhi dahulu informasi yang dibutuhkan.Kedua, ilmu intelejen digunakan sebagai kerangka teori atau lensanya. Salah satu ilmu yang saya peroleh dari pak Prayitno tentang Conditioning operation yang ditulis di artikel ConditioningOperationTerhadapGolkar. Saya berharap pak Prayitno bisa menggunakan lensa ini untuk menganalisa peristiwa-peristiwa politik yang saling terkait itu. Walaupun analisa itu tidak mudah karena ada banyak peristiwa politik yang terjadi. Bisa jadi, ada benang merah dari semua peristiwa itu.
Saya tidak punya kemampuan untuk membuat analisa intelejen. Disebabkan informasi yang saya peroleh hanya bersumber dari media massa dan penguasaan terhadap teori intelejen yang sama sekali saya tidak paham. Tapi, saya ingin belajar dan mencobanya. Tulisan ini percobaan saya. Bila salah, wajar saja wong saya bukan pakar intelejen.
Pada dasarnya conditioning operation atau operasi penggalangan bertujuan “untuk mengubah target agar mau berbuat, berpikir dan memutuskan seperti yang dikehendaki oleh si perencana”. Begitu kata pak Prayitno dalam tulisan ConditioningOperationTerhadapGolkar. Bila demikian, saya kemudian berpikir apakah kondisi yang terjadi saat ini yang dikehendaki oleh si perencana.
Kondisi dimana masyarakat menghujat Presiden Jokowi karena lembek dan tidak tegas menyelesaikan pertikaian KPK-Polri. Karena salah mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Karena salah menunda pelantikan, memberhentikan Jendral Sutarman, dan menugaskan Wakapolri. Situasi ini menciptakan benturan antara Jokowi dengan relawan yang mendukungnya saat Pilpres. Benturan semakin dibuat panas oleh pernyataan Tedjo Eddy dan Hendropriyono yang seakan membela Jokowi namun memancing kemarahan lanjut dari relawan. Kondisi ini dapat menjadi alasan masuk akal untuk relawan menarik dukungan. Kondisi ini memang masuk akal, namun sesuatu yang masuk akal itu tidak lahir begitu saja. Dalam teori conditioning operation, kondisi itu diciptakan. Sebagaimana diketahui, kekuatan utama Jokowi ada pada pendukungnya yang non partisan yang mengatasnamakan dirinya relawan. Melepaskan ikatan ini, akan memudahkan lawan politik untuk melakukan operasi lanjutan.
Kondisi dimana masyarakat punya alasan untuk mencaci maki Jokowi boneka Megawati dan petugas PDIP. Jokowi tidak dapat menolak pencalonan Budi Gunawan, dan tidak mengganti calon lain setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Bertambah kisruh, dengan keterlibatan Hasto dan Sugiantoyang kesemuanya adalah kader PDIP menyerang KPK. Ada alasan masuk akal, untuk meminta Jokowi melepaskan diri sebagai anggota dan kader PDIP. Agar Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan berdiri disemua golongan dan kepentingan. Tetapi, sekali lagi alasan masuk akal itu, diciptakan.
Apakah benar dua kader PDIP yang membenturkan diri dengan KPK, merupakan rencana dari PDIP? Jika ya, alangkah bodohnya partai itu. Saya kemudian teringat ucapan Prabowo. Pada tahun 2009, saya bertemu dengan Prabowo di Hotel Dharmawangsa Jakarta. Saya bertanya perihal penculikan teman-teman saya tahun 1997. Saat itu Prabowo mengatakan “ada operasi didalam operasi. Dan kita tahu sama tahu”. Berkaitan dengan keterlibatan dua kader PDIP tersebut, apakah ada indikasi “operasi didalam operasi”.
Kondisi dimana masyarakat juga menghujat Kabareskrim Komjen Budi Waseso. Karena tidak memberitahu Wakapolri dan menangkap Bambang Widjojanto dengan prosedur yang janggal. Bertambah panas saat mantan Wakapolri Oegroseno, ikut-ikutan menyerang. Sementara dalam informasi yang saya terima, penangkapan BW dilakukan oleh orang-orang Suhardi Alius. Sejak Budi Waseso diangkat sebagai Kabareskrim, belum ada mutasi dan pergantian orang dalam kantor Bareskrim. Apakah terjadi “operasi dalam operasi?”. Kondisi ini menjadi alasan pembenar dugaan masyarakat terjadinya perang bintang dalam tubuh Polri. Menjadi alasan pembenar atas usulan agar Polri direformasi, agar Polri ditaruh dibawah kementrian saja.
Sementara Abraham Samad entah atas inisiatif sendiri atau ada bisikan, menelpon Panglima TNI untuk meminta pengamanan. Saat ini di kantor KPK ada sejumlah pasukan khusus dari semua angkatan (Kopasus, Denjaka dan Paskas) yang siap berbenturan dengan Polri. Seperti diketahui umum, ada “dendam nenek moyang” bersemayam didada prajurit TNI jika berhadapan dengan Polri. Bila kemudian Polri mengeledeh ruangan BW di KPK atas alasan penyidikan, sudah bisa menjadi alasan terjadinya benturan. Alasan benturan ini masuk akal, tetapi sekali lagi hal yang masuk akal itu diciptakan.
Saya justru mencurigai pihak-pihak yang menjadi “penonton”. Sedang senyum-senyum menyaksikan pertikaian di lapangan. Memang sesekali Wakil Presiden Yusuf Kalla, memberi pernyataan yang membenarkan tindakan Jokowi. Tapi, dia minim bicara. Padahal semua pejabat negara yang akan diangkat oleh hak prerogatif Presiden – termasuk calon Kapolri – melalui Tim Peniai Akhir (TPA) yang melibatkan BIN dan dipimpin oleh Wakil Presiden. Anehnya, KMP yang biasanya jadi “pemain” kini menempatkan diri sebagai “penonton”. Komunikasi tokoh KMP seperti Amin Rais, Prabowo dan Akbar Tanjung intensif dengan Yusuf Kalla.
Demikian pula halnya dengan SBY. Ditengah kekisruhan, SBY sempat membuat pernyataan “pembersihan orang-orang SBY”. Paralel dengan pernyataan politisi partai Demokrat seperti Beny K Harman, yang seolah-olah tidak mau ikut bertanggungjawab atas lolosnya Budi Gunawan di Komisi III DPR. Namun, pada sisi lain ikut menyerang Abraham Samad dengan sebutan “koruptor terbesar”.
Kisruh ditubuh KPK saat ini, karena dua pimpinannya bermasalah ditambah lagi dengan dilporkannya Adnan PanduPraja, menjadi alasan pembenar agar Presiden Jokowi mengambil sikap tegas. Bahwa benar saat ini terjadi “darurat KPK”, dan dapat dibenarkan Presiden mengambil tindakan. Seperti efek bola biliar, tindakan Jokowi yang sedang ditunggu. Banyak orang menyarankan agar Jokowi mengeluarkan Perppu. Tentu alasan ini masuk akal. Tetapi jika DPR mengacu pada pengalaman tahun 2009, saat Perpu 4/2009 dari SBY ditolak, maka untuk kesekian kalinya Jokowi akan dipermalukan lagi.
Pertanyaan dasarnya siapakah sang perencana yang melakukan operasi penggalangan ini. Saya menduga tidak dilakukan oleh aktor atau kelompok tunggal. Karena masing-masing pihak punya kemahiran sebagai pemain. Baik sebagai perencana maupun sebagai target. Justru saya menduga ada “operasi dalam operasi”. Sehingga sang perencana akan berbalik menjadi target.
Itu saja, tulisan percobaan ini saya buat. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H