Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Momentum Pengumuman Presiden Jokowi

19 Februari 2015   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Entah disengaja atau tidak, Presiden Jokowi membuat keputusan penting kemarin (18/2/2015) saat DPR memasuki masa reses. Bila disengaja dalam pemilihan waktunya, Presiden cukup cerdas memanfaatkan momentum. Bila tidak sengaja, suatu berkah saja yang kadang disebut kebetulan yang menguntungkan. Keputusan Presiden yang baru dinyatakan secara lisan itu tetap harus dibaca sebagai keputusan politik. Dalam politik, dimensi waktu dan momentum bagian dari strategi. Bila meletakan Presiden head to head dengan DPR, maka dengan pilihan waktu tersebut, DPR sudah kalah langkah.

Apa hubungannya dengan DPR? Ada tiga hal dalam keputusan Presiden itu yang memerlukan respon DPR. Pertama, membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri; Kedua, mengusulkan pengangkatan Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri; dan Ketiga, Perppu pengangkatan pimpinan sementara KPK. Ketiga hal ini tidak dapat dilakukan oleh DPR dalam waktu dekat, karena masa reses. Anggota DPR melaksanakan reses dari 19 Februari hingga 22 Maret 2015. Baru per tanggal 23 Maret 2015, DPR dapat membuat respon atas tiga putusan Presiden tersebut.

Saya memilih kata respon, karena ada perihal yang tidak diatur dalam undang-undang. Yakni saat Presiden membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Secara ketatanegaraan, Presiden cukup memberi surat pemberitahuan kepada DPR perihal pencabutan surat tanggal 9 Januari 2015 tentang pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sifat surat tersebut sebatas pemberitahuan dan tidak membutuhkan persetujuan DPR.

Hal ini pernah dilakukan oleh Presiden SBY. Pada tanggal 26 Oktober 2004, Presiden SBY mengirim surat ke DPR perihal penarikan surat pencalonan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI. Sebelumnya Presiden Megawati lewat surat tanggal 8 Oktober 2004 mengajukan surat usulan pencalonan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI. Surat Presiden SBY tersebut kemudian menimbulkan perdebatan yang berujung dengan digunakannya hak interpelasi yang diusulkan oleh 49 anggota DPR pada 5 November 2004. Apakah surat pemberitahuan Presiden Jokowi yang membatalkan pencalonan Budi Gunawan itu akan berujung pada interpelasi? Tidak bisa dipastikan dengan sifat politik yang dinamis. Tetapi, walupun ada interpelasi tersebut, baru akan terjadi setelah bulan Maret 2015.

Usulan presiden untuk mengangkat Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri memerlukan persetujuan DPR. Apakah disetujui atau tidak semua kembali ke DPR. Bola itu sekarang sudah ada di DPR. Meskipun menurut dugaan saya, sangat berat DPR untuk memberi persetujuan. Andaipun disetujui, dilakukan dengan terpaksa dan tidak terencana. Baik Badrodin Haiti maupun anggota DPR harus menjalin komunikasi intensif selama masa reses ini. Negosiasi dan pertukaran kepentingan suatu yang lumrah saja terjadi di dunia politik. Tetapi masalahnya waktu yang begitu singkat. Bila dibandingkan dengan lobby politik yang dilakukan oleh PDIP dan Budi Gunawan ke fraksi/pimpinan parpol lain sudah terjadi sejak Januari 2014 (hasil investigasi Tempo). Jadi tak perlu heran jika semua fraksi (kecuali fraksi partai Demokrat) menyetujui pencalonan Budi Gunawan. Tidak ada lagi sekat KMP atau KIH.

Demikian juga dengan Perppu pengangkatan pimpinan sementara KPK memerlukan persetujuan DPR. Tentu selalu saja ada peluang disetujui atau ditolak oleh DPR. Peristiwa masa lalu bisa dijadikan rujukan. Presiden SBY pernah menerbitkan Perppu 4/2009 tanggal 21 September 2009 yang saat itu disebut dengan Perppu “penyelamat KPK”. Presiden SBY mengangkat tiga orang pimpinan sementara KPK: Tumpak Hatorangan Panggabean, Mas Achmad Santosa dan Waluyo. Perppu ini kemudian ditolak oleh DPR pada tanggal 4 Maret 2010. Tiga orang pimpinan sementara KPK yang sudah dilantik pada bulan Februari 2010, terpaksa dinyatakan batal.

Tapi situasi masa lalu bisa dibenarkan ketika Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang saat itu berstatus terasangka oleh Kejaksaan Agung dikeluarkan deponering. Praktis Chandra dan Bibit bisa kembali aktif dan hanya ada 1 (satu) kursi pimpinan KPK yang kosong.

Bila DPR menolak Perppu, mau tidak mau DPR harus mempercepat proses seleksi dan pemilihan Pimpinan KPK yang rencana awal baru akan dilakukan Desember 2015. Saat ini sudah ada dua nama: Roby Arya Brata dan Busyro Muqodas.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju DPR atas Perppu itu, tersedia waktu pimpinan sementara KPK + dua pimpinan yang ada sekarang untuk memperbaiki komunikasi dengan Badroddin Haiti dari pihak Polri. Posisi Badroddin Haiti saat ini lebih kuat pasca pengumuman Presiden. Dia punya legitimasi politik sebagai calon Kapolri. Sebelumnya terjadi mata hari kembar di tubuh Polri, karena Badroddin Haiti hanya sebatas Wakapolri, jabatannya mentok sebagai Komjen dan tinggal menunggu masa pensiun. Sebaliknya Budi Gunawan meski secara de jure belum sebagai Kapolri tapi secara pragmatis perwira-perwira tinggi di Mabes Polri lebih merapat kepada calon Kapolri ketimbang Wakapolri. Dengan demikian, posisi Badroddin Haiti saat ini bukan sekedar Wakapolri tetapi sebagai calon Kapolri. Sumberdaya akan lebih melimpah ditujukan kepada calon Kapolri.

Ada waktu lebih dua bulan ke depan, Badroddin Haiti dengan pimpinan KPK untuk menyelesaikan ketegangan antara KPK dan Polri. Semua kemungkinan dapat saja lahir dari kesepakatan diantara pimpinan itu. Sinyal yang sudah ditunjukan oleh Badroddin Haiti bahwa 21 penyidik yang sebelumnya diperkarakan oleh Bareksrim bukan masalah serius. Tapi apapun kesepakatan yang diambil oleh para pimpinan sementara KPK dan Badroddin Haiti, kendali sepenuhnya ada dalam arahan Presiden Jokowi. Badroddin Haiti tidak terindikasi “milik” partai manapun. Sepenuhnya Presiden yang memilihnya. Demikian juga dengan 3 (tiga) orang pimpinan sementara KPK. Sebelumnya KPK sudah mengusulkan kepada Presiden 7 (tujuh) nama calon pimpinan sementara, tapi tak satupun yang dipilih oleh Presiden.

Putusan presiden Jokowi yang tepat menggunakan momentum dan membuat mati langkah DPR, tersirat dari pernyataan Trimedya Panjaitan.Anggota Komisi III DPR ini mengatakan seharusnya presiden melayangkan opsi tersebut seminggu lalu. Jika ingin melihat efektifitas waktunya. Jadi, DPR bisa menggelar sidang untuk menentukan sikap dan tidak perlu menunggu reses berakhir. Dengan keputusan Presiden tersebut, DPR tidak bisa mengambil sikap karena masa reses. DPR tidak bisa menggelar rapat paripurna di masa itu, karena faktanya tidak mudah mengumpulan semua anggota fraksi-fraksi pada masa reses.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun