Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menyongsong Pilkada Bernuansa Baru

4 September 2014   11:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika tak ada aral melintang, Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut RUU Pilkada), akhir September 2014, DPR RI akan mensahkan menjadi UU penggantiUU Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU Nomor 12 Tahun 2008. (sumber). Setelah melewati pembahasan selama dua tahun, dan sempat terhenti saat Pemilu dan Pilpres, DPR akan segera mensahkan UU Pilkada yang terdiri atas 7 bab dan 181 pasal itu.Walaupun beberapa kalangan menilai DPR seperti mengejar tayang dengan terburu-buru mensahkan UU Pilkada di penghujung periode (sumber). Beberapa perubahan dan perbedaan dibanding dengan Pilkada sebelumnya, diantaranya:

1.PILKADA SERENTAK

Pilkada akan diselenggarakan serentak dalam dua tahap. Tahap pertama pada tahun 2015, dan tahap kedua tahun 2018. Pilkada tahun 2015 diberlakukan bagi seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota yang masa jabatannya berakhir di tahun tersebut. Sedangkan, Pilkada serentak tahap kedua tahun 2018, untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017 dan 2018. Khusus Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2016 dan 2017, akan ditunjuk pejabat demisioner (pelaksana tugas) sementara hingga terpilih Kepala Daerah definitif di tahun 2018. Pilkada pada tahun 2015, diperkirakan akan berlangsung di 239 Kabupaten/ Kota dan 7 Provinsi (Gubernur). (sumber)

Pada tahun 2019, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Akan berlangsung Pemilu dan Pilpres serentak. Pada tahun 2020, akan digelar Pilkada serentak seluruh Indonesia (Nasional). Untuk Kepala Daerah yang terpilih pada Pilkada 2018, masa jabatan hanya selama dua tahun (2020).

Sampai hari ini, telah terjadi pemahaman yang sama antara Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada dengan Kemendagri yang mewakili pemerintah. Pertimbangannya: Melakukan penghematan anggaran negara, menjamin stabilitas politik dan penyesuaian dengan Pemilu – Pilpres yang akan digelar serentak pada tahun 2019.

2.WAKIL KEPALA DAERAH AKAN DITUNJUK

Dalam RUU Pilkada, tidak ada lagi kalimat “pasangan” sebagai penanda keiikutsertaan Wakil Kepala Daerah. Pilkada hanya memilih Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Mekanisme pengisian wakil kepala daerah, masih belum ada kesepakatan bersama. Masih ada dua opsi: ditunjuk langsung oleh Kepala Daerah terpilih atau diangkat dan ditetapkan oleh DPRD. Termasuk syarat sebagai Wakil Kepala Daerah masih dalam perdebatan. Apakah berasal dari PNS atau bisa datang dari non PNS. Demikian juga jumlah Wakil Kepala Daerah, pun masih dalam perdebatan, apakah satu atau dua wakil kepala daerah. Meskipun demikian, RUU tidak atau belum memasukan tata cara dan mekanisme pemilihan wakil kepala daerah dalam pasal-pasal di dalamnya (sumber)

Dihilangkannya paket pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahsebagai pasangan, merujuk pada pengalaman selama ini. Dari catatan Kemendagri, sekitar 70% pasangan ini, pecah kongsi ditengah jalan. Ditandai dengan majunya Wakil Kepala Daerah sebagai pesaing dengan Kepala daerah dalam Pilkada berikutnya. Tidak akurnya pasangan ini, berakibat pada kinerja pemerintahan daerah yang akhirnya terlibat pada konflik dan intrik politik yang tidak sehat.

3.KELUARGA PETAHANA TIDAK BISA MENJADI CALON

Salah satu syarat calon Kepala Daerah: Tidak punya ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan kepala daerah kecuali ada selang waktu minimal satu tahun masa jabatan. Aturan ini mengadopsi tuntutan masyarakat akan maraknya politik dinasti dalam pemerintahan daerah. Dalam penjelasan RUU ini, tidak diterangkan rentang skala garis keturunan. Apakah sepupu 15x misalnya, termasuk dalam ketentuan aturan ini.

Ayat dalam pasal ini rentan diuji di Mahkamah Konstitusi, jika ada yang menggugatnya. Atas pertimbangan konstitusi memberikan hak dipilih dan hak memilih yang sama seluruh warga negara.

4.PTTUN dan MA MENGGANTI PERAN MK

Sengketa Pilkada tidak lagi akan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Penggantinya akan diperankan oleh Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara (PTTUN) dan Mahkamah Agung (MK).Dan untuk beberapa hal akan didelegasikan ke Pengadilan Tinggi. Peran Bawaslu dan Pengadilan Negeri tidak mengalami perubahan, yang juga turut serta mengadili/ memeriksa sengketa Pilkada.

Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai tahapan. Sejak tahap pendaftaran calon. Berbeda sebelumnya, penyelesaian sengketa menumpuk di akhir dan diajukan ke MK. Diantaranya, jika ada calon Kepala Daerah yang merasa dirugikan pada tahap pendaftaran pencalonan oleh KPU, dapat langsung mengajukan gugatan ke PTTUN. Jika dikabulkan, KPU wajib menjalankan putusan PTTUN, yang konsekwensinya mengulang tahap pendaftaran pencalonan.
Uniknya, putusan PTTUN bukan putusan akhir, final dan mengikat. Pihak-pihak yang tidak puas dapat mengajukan kasasi ke MA. Putusan MA inilah yang merupakan peradilan akhir, dan tidak ada upaya hukum lain sesudahnya.

Sementara penyelesaian tindak pidana, dilakukan penyelidikan oleh polisi. Berkas kemudian diserahkan ke penuntut umum lalu dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN), sidang pemeriksaan oleh majelis khusus. Jika dirasa tidak puas, para pihak dapat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Dan putusan PT adalah peradilan terakhir mengikat dalam perkara tindak pidana.

5.PEMILIHAN OLEH DPRD

Dalam RUU Pilkada yang diajukan Pemerintah, ada dua model pemilihan. Model pertama, pemilihan Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi. Sedangkan model kedua, pemilihan Bupati/Walikota seperti biasa dilakukan langsung oleh rakyat. Namun dalam perkembangan pembahasan dengan Panja DPR RI, telah terjadi kesepakatan bersama. Pemilihan Gubernur tetap melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

Justru pasca ditangkapnya Akil Mochtar oleh KPK, timbul wacana, agar pemilihan Bupati dan Walikota dilakukan oleh DPRD Kabupaten/ Kota. Usul dari DPR RI makin menguat pasca Pilpres, dengan terbentuknya Koalisi Merah Putih. Sampai hari ini, belum ada kesepahaman bersama antara DPR dan Pemerintah, apakah Pemilihan Bupati/Walikota lewat mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan oleh DPRD Kabupaten/ Kota. Kita tunggu saja !

6.PENGATURAN SYARAT PENCALONAN

Selain syarat pencalonan Kepala Daerah yang menegasikan politik dinasti (point 3), ada beberapa hal lain yang berkait dengan syarat pencalonan. Antara lain, calon Kepala Daerah tidak berstatus sebagai Gubernur/Bupati/Walikota. Ada syarat agar calon Kepala Daerah berhenti dari jabatannya (petahana). Yang dibuktikan dengan surat pemberhentian dari Presiden (Gubernur) dan surat keputusan dari Mendagri (Bupati/Walikota).

Dalam RUU Pilkada, tertera juga ancaman pidana yang berkenaan dengan syarat pencalonan. Diataranya, jika terbukti calon memanipulasi surat sah seperti ijazah sekolah. Atau calon perseorangan memanipulasi data dukungan KTP. Tidak hanya terkena ancaman pidana, lebih dari itu calon akan dicabut statusnya sebagai calon. Bila sudah terpilih sebagai Kepala Daerah, akan dilakukan diskualifikasi atau pembatalan calon.

Termasuk jika calon kepala daerah atau tim sukses terbukti di pengadilan, melakukan politik uang untuk mempengaruhi pemilih, akan dibatalkan pencalonannya (diskualifikasi). Sangsi tegas diskualifikasi juga diberlakukan bagi calon Kepala daerah yang memanipulasi data laporan keuangan yang diserahkan ke KPU.

7.MEMINIMALISIR TRANSAKSI DENGAN PARTAI POLITIK

RUU Pilkada juga mengatur terkait politik transaksional partai dan calon kepala daerah.Partai dilarang menerima imbalan dalam proses pencalonan kepala daerah. Jika terbukti dikenai sanksi denda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima. Dan kepada calon, akan dibatalkan pencalonannya atau diskualifikasi. Jika dalam Pilkada sebelumnya, diskualifikasi dilakukan oleh MK, dalam RUU Pilkada ini, diskualifikasi dilakukan oleh KPU berdasarkan keputusan pengadilan negeri/tinggi atas tindak pidana yang dilakukan.

Laporan harta kekayaan calon kepala daerah yang disampaikan ke KPU dan LHKPN, akan dilakukan uji publik.Uji Publik melalui panel yang terdiri dari 1 orang KPU, 2 akademisi, dan 2 tokoh masyarakat. Dilakukan secara terbuka pada masa pendaftaran calon.

8.SURVEY DAN HITUNG CEPAT

Hal yang baru pada RUU Pilkada ini, pengaturan tentang survey, jajak pendapat dan hitung cepat. Semua termaktub dalam bab Partisipasi Warga.Lembaga/ institusi yang akan melalukan aktivitas suvey wajib mendaftar dan melaporkan ke KPU berkenaan dengan identitas lembaga, sumber dana, badan hukum dan metodologi yang dipergunakan. Publikasi survey dilarang dilakukan pada hari tenang. Hasil hitung cepat baru boleh dipublikasi satu hari setelah waktu pemungutan suara usai. Pelanggaran atas ketentuan ini dikatagorikan sebagai tindak pidana (kejahatan), dan dikenakan sangsi kurungan dan denda.

9.TENTANG PENYELENGGARA

Beberapa hal yang berkaitan dengan penyelenggara diantaranya:

a.Jumlah anggota PPK 5 orang dan harus memperhatikan keikutsertaan 30% perempuan.

b.Pengangkatan PPS oleh KPU atas usulan Kepala Desa/ Lurah bersama BPD.

c.KPPS dengan sengaja tidak memberikan salinan Berita Acara penghitungan suara (formulir C1) kepada saksi, dikatagorikan sebagai tindak pidana.

Catatan Penutup:

Dua tahun lalu, saya ditemui oleh tim dari Depdagri bidang Otonomi Daerah. Mereka meminta saya memberi masukan dan saran untuk penyusunan RUU Pilkada.Karena mendadak dan wawancara lisan, saya tidak sempat membuat concept paper. Beberapa hal yang saya usulkan saat ini menyangkut: (1) meminimalisir adanya politik dinasti dalam Pilkada; (2) Adanya pengaturan yang tegas tentang praktek politik uang. Jika dimungkinkan adanya sangsi diskualifikasi; (3) Pengaturan survei, polling dan hitung cepat berdasarkan norma akademik dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Khusus survey, saya menyarankan agar publikasi survey dilarang 1 bulan sebelum pemungutan suara, karena berpotensi menimbulkan bandwagon effect. (4) Harus ada pengaturan tentang Laporan Dana Kampanye secara jujur, karena selama ini hanya bersifat formal administratif; (5) Saya mengeluhkan kedudukan dan fungsi wakil kepala daerah yang dianggap ban serep belaka, dan sering menimbulkan konflik dengan Kepala daerah; (6) Kewenangan Panwas yang tidak optimal mengawasi tahap-tahap penyelenggaraan oleh KPU; (7) Harus adanya security printing bukan saja pada surat suara tetapi juga formulir/ dokumen lain seperti C1; (8) KPU sebaiknya membuat real count (parallel vote tabulation) sehingga masyarakat punya informasi pembanding; (9) Sebaiknya biaya kampanye diambil dari APBN dan dikelola oleh KPU. Sehingga calon tidak diperlukan mengeluarkan biaya kampanye (baliho, spanduk, iklan). Hal ini untuk menyeimbangkan calon yang memiliki uang (modal) besar dengan calon lain. Instrumen kampanye yang dilakukan oleh calon, hanya melakukan tatap muka dengan pemilih; (10) KPU punya kewenangan untuk memecat atau memberi sangsi lain kepada PPK, PPS dan KPPS jika terindikasi melakukan pelanggaran. Tidak harus menunggu putusan DKPP; (11) sosialisasi DPS harus lebih masif, jangka waktu agak panjang, dan menggunakan banyak media agar masyarakat punya kesempatan yang lebih luas untuk memberi masukan sebelum ditetapkan menjadi DPT. …. [selebihnya saya lupa, sudah lewat dua tahun yang lalu]

Sekian. Salam Kompasiana.

Sumber:

·RUU Pemilihan Kepala Daerah

·Naskah Akademik RUU Pemilihan Kepala Daerah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun