Dalam proses menyusun kementrian di kabinet, sebaiknya Jokowi berkordinasi dengan KPK. Bukan dengan bidang penyidikan tetapi bidang Litbang KPK dibawah koordinasi Busyro Muqodas. Semata untuk mendapatkan gambaran anatomi perselingkuhan antara jajaran kementrian dengan para pengusaha.
Saya kira Litbang KPK memiliki informasi tersebut. Seperti kasus kuota import daging sapi di kementrian pertanian, Litbang KPK sudah melakukan kajian satu tahun sebelumnya. Sebelum dilakukan tindakan penyidikan. Gambaran dan skema ini berguna bagi Jokowi untuk memutuskan siapa calon Menteri yang paling pantas. Membuat kebijakan pengawasan yang ketat terhadap kementrian yang berpotensi menyalahgunaan kekuasaan.
Saya punya pendapat sendiri tentang siapa calon Menteri yang akan ditempatkan. Paling penting: Jujur, Berani dan Tegas. Saya tidak terlampau ambil pusing, soal rangkap jabatan menteri dengan pengurus Partai Politik. Mesikpun memang ada kaitannya. Pun demikian orang yang memiliki kualifikasi akademis di bidangnya. Saya kira di negri ini, tidak sulit mencari orang yang memiliki kualifikasi keahlian. Taruhlah kandidat menteri Maritim. Dan juga pekerjaan gampang untuk mencari Menteri yang pintar bahkan jenius sekalipun. Tapi, atribut-atribut macam itu tidaklah cukup.
Kementrian tetap harus ditempatkan sebagai organ birokrasi yang telah lama tumbuh berkembang. Telah ada tradisi yang secara diam-diam disepakati bersama. Menteri baru bukanlah hanya sebatas harus menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY terdahulu. Tapi juga melakukan penyesuaian terhadap tradisi-tradisi yang memang sudah hidup (corporate culture). Dan diantara tradisi itu, sudah dianggap mahfum, bahwa proyek-proyek kementrian dijadikan bancakan. Tempat hidupnya para penyamun, para saudagar dan makelar.
Terlibatnya Menteri Pertanian, Menteri Olahraga dan Pemuda, Menteri Agama, Menteri ESDM dalam kasus korupsi sudah bisa mengindikasikan hal tersebut. Padahal apa yang dilakukan oleh KPK, semacam sampel random. Senyatanya semua kementrian punya potensi yang sama.
Bisa jadi Menteri Pertanian, Suswono, orang baik dan pintar. Namun terasa aneh, Menteri bisa dikendalikan oleh Luthfi Hasan Ishaq, Bunda Putri dan Elda. Sebagaiman juga Menteri Jero Wacik bisa takluk dengan mafia Migas yang mengendalikan dari kantor di Singapura. Sanking hebatnya, putusan MK pembubaran BP Migas tidak dijalankan.
Di semua kementrian, orang semacam Ahamd Fatonah beranak pinak. Sudah mengakar kuat yang bisa merangkul dari office boy sampai Dirjen. Seperti di kementrian pertanian, praktik perselingkuhan ini bukan barang baru. Ahmad Fathonah, hanya pemain baru yang meneruskan tradisi lama jauh sebelum Menteri Suswono ada.
Proyek proyek kementrian, sudah menjadi bagian kartel yang terorganisir dan melibatkan banyak pihak. Para pemburu rente bisa diperankan oleh siapa saja. Anak istri, keluarga, pengurus partai, sampai kawan sejawat. Pada beberapa kasus, kebijakan menteri atas nama kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat, skenarionya telah disusun oleh para penyamun. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan keuntungan proyek yang sebesar-besarnya.
Secara sederhana, seperti terjadi di kementrian pendidikan. Ganti Menteri, ganti buku. Pengadaan buku ke sekolah-sekolah dasar bukan hitungan anggaran senilai Miliar, tapi Triliun. saudagar dan makelar mana yang tidak tergiur. Termasuk partai politik yang memang membutuhkan biaya operasional. Kalau Menterinya serakah, proyek seperti ini akan dimakan sendiri dengan melibatkan rekan sejawat dan keluarga. Tapi bila tidak, hanya pasrah dan tunduk pada kepentingan para penyamun.
Maksud saya, syarat Menteri harus pintar dan cakap (kapasitas) tidak cukup. Dan tidak berguna jika menteri tidak jujur dan punya sikap berani tegas. Walaupun ketegasan sikap tidak selalu ditampakan secara vulgar. Hal ini membutuhkan kecakapan siasat dalam berpolitik. Untuk menghancurkan tradisi lama dan dominasi para penyamun, membutuhkan siasat tersendiri. Karena bagaimanapun juga, para penyamun yang sudah lumutan di sana, hampir menguasai jajaran kementrian dari bawah sampai atas.
Pengalaman Jokowi di DKI Jakarta, bisa dijadikan pembelajaran. Bagaimana dia tidak bisa menjangkau jajaran SKPD di bawahnya secara intensif. Seperti kejadian Kepala Dinas Perhubungan yang bermain-main dengan pengadaan bis transjakarta. Ujungnya, menyerempet juga ke Gubernur.
Di luar itu, manusia macam Fathanah yang bersatus sebagai makelar, memang mengandalkan hidup dari bancakan proyek-proyek kementrian. Pekerjaan sebagai makelar terbilang paling enak. Tidak melakukan produksi, bukan pejabat negara, tapi punya pendapatan berlipat. Hanya bermodal cakap dan mengumbar omongan, “Menteri itu kawan SMA saya, dan bisa diatur”.
Kajian dari KPK berupa anatomi perselingkungan, modus, dan mekanisme operasi para penyamun di kementrian paling tidak bisa membantu Jokowi mendapatkan peta itu. Sehingga tahap pertama, untuk menempatkan kandidat Menteri bisa dirasa cukup pas. Dan tentu tahap selanjutnya melakukan pengawasan. Jika keliru mengelolanya, rakyat jua yang menderita. Harga daging sapi mahal, ongkos naik haji berlipat setiap tahun, BBM langka, Jalanan pantura yang setiap tahun rusak… hanya karena ulah para penyamun di kementrian.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H