Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

MenkumHAM Membela Koruptor

17 Maret 2015   21:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:30 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konteks tulisan ini berkaitan dengan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi yang tengah menjadi topik hangat minggu ini. Obyeknya Pasal 34A ayat (1) huruf (a) dan (b) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat-syarat pemberian remisi bagi narapidana -- salah satunya -- tindak pidana korupsi. MenkumHAM (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) yang dimaksud dari judul tulisan ini meliputi Yasonna Hamonangan Laoly dan mantan MenkumHAMYusril Ihza Mahendra, Patrialis Akbar dan Amir Syamsuddin. Sengaja saya tidak memasukan mantan MenkumHAMHamid Awaluddin karena mantan menteri satu ini bukan saja membela koruptor tetapi juga terlibat dalam kasus korupsi yang menjerat dirinya sendiri. Tulisan ini akan menunjukan (mantan) MenkumHAM – yang namanya disebut di atas – dengan kesungguhan hati mempersoalkan PP 99/2012 dengan pelbagai alasan. Kesimpulannya hanya satu: cabut PP 99/2012. Tetapi sebelumnya saya ingin menegaskan bahwa kebijakan pemberian remisi adalah wewenang MenkumHAM bukan wewenang Presiden (baca: kepala pemerintahan) atau badan-badan lain. Oleh karena itu, saya lebih fokus pada profil masing-masing (mantan) MenkumHAM.

PATRIALIS AKBAR

Lahirnya PP 99/2012 tidak terlepas dari peristiwa berupa kebijakan MenkumHAM Patrialis Akbar yang memberi remisi yang saat itu disebut “obral remisi”. Pada tahun 2010, MenkumHAM memberikan remisi atau pengurangan hukuman kepada42.823 na­rapidana, 25 di antaranya ter­sangkut kasus korupsi.Sejumlah nama terpidana ko­rupsi yang mendapat re­misi di antaranya, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, mantan wa­kil walikota Medan Ramli Lubis, mantan Sesditjen Depnakertrans Bach­run Effendi dan mantan Dirjen AHU Ke­menkum HAM Zulkarnaen Yunus dan mantan Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo (sumber). Kebijakan MenkumHAM Patrialis Akbar mendapat reaksi keras dari Komisi III DPR (sumber).

MenkumHAM Patrialis Akbar berdalih bahwa terpidana kasus korupsi akan terus mendapatkan remisi jika aturannya masih ada.“Kalau remisi tidak diberikan yang terjadi penjara bisa pecah. Karena orang berusaha berkelakuan baik untuk mendapatkan penghargaan dari negara. Kalau dia tidak berkelakuan baik, haknya pasti tidak diberikan. Itu yang mereka takutkan,” ungkap Patrialis (sumber). Masih pada tahun yang sama (2010), menyambut hari ulang tahun ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia, MenkumHAM Patrialis Akbar kembali memberikan remisi kepada 341 terpidana kasus korupsi. Termasuk di dalamnya besan Presiden SBY, yang mendapatkan remisi tiga bulan (sumber).

Kebijakan MenkumHAM Patrialis Akbar “obral remisi” dimasa lalu yang menjadi salah satu latar belakang lahirnya PP 99/2012. Peraturan Pemerintah tentang perubahan kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan (pertama) atas PP 32/1999 melahirkan PP Nomor 28 Tahun 2006. PP 28/2006 inilah yang menjadi pegangan MenkumHAM Patrialis Akbar melakukan “obral remisi”. Dengan terbitnya PP 99/2012 tanggal 12 November 2012, mengubah dengan memperketat persyaratan pemberian remisi dalam Pasal 34A. Ringkasnya, MenkumHAM Patrialis Akbar menggunakan PP 28/2006 yang persyaratannya sangat longgar sedanng MenkumHAM Amir Syamsuddinmenggunakan PP 99/2012 dimana syarat pemberian remisi diperketat.

Lalu apa tanggapan Patrialis Akbar –yang sudah tidak lagi menjabat sebagai MenkumHAM – dengan terbitnya PP 99/2012? Patrialis meminta MenkumHAM Amir Syamsuddin agar merevisi PP 99/2012. Ini mengerikan bagi Napi terutama menjelang Idul Fitri dan 17 Agustus 2013 ini. Juga pentingnya perbaikan-perbaikan Lapas agar layak dan memadai bagi Napi itu sendiri,” ujarnya.Menurut Patrialis semua Napi itu berhak mendapat remisi, pengurangan pidana, pengurangan hukuman, asimilasi, cuti, dan bebas (sumber). Patrialis Akbar menilai penerbitan PP 99/2012 sangat mengerikan bagi narapidana. Sebab, PP itu membuat para napi putus asa karena menghapus peluang mendapatkan remisi pada hari-hari khusus seperti Hari Raya Idul Fitri maupun hari besar nasional lain (sumber).

AMIR SYAMSUDDIN

Benar PP 99/2012 diterbitkan saat MenkumHAM dijabat oleh Amir Syamsuddin yang ditetapkan pada 12 November 2012. Poin penting pada PP 99/2012 adalah adanya persyaratan ketat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.

Tetapi kemudian PP 99/2012 diperlemah sendiri oleh MenkumHAM Amir Syamsuddin dengan diterbitkannya Surat Edaran MenkumHAM M.HH-04.PK.01.05.06 pada tanggal 12 Juli 2013. Surat itu berisi Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemberlakuan PP 99/ 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Intinya, koruptor tertentu yang kasusnya sudah inkracht dan berkekuatan hukum tetap, sebelum November 2012 menggunakan PP 28/2006.

Akibat dari keluarnya Surat Edaran tersebut dengan memasukan frasa “berkekuatan hukum tetap”, sejumlah koruptor mendapat remisi pada Hari Kemerdekaan ke-69 RI pada tahun 2014. Di antaranya, Gayus Tambunan, yang mendapat potongan hukuman lima bulan penjara. Begitu pula dengan Urip Tri Gunawan yang mendapat remisi enam bulan. Koruptor lain yang mendapat remisi adalah D.L. Sitorus dengan pengurangan empat bulan. Kemudian Agusrin Najamudin juga mendapat remisi tiga bulan.Begitu pula dengan koruptor perpajakan, Bahasyim Assifie, yang mendapat remisi empat bulan penjara, Anggodo Widjojo lima bulan, dan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad empat bulan. Jadi setidaknya sampai dengan Agustus 2014, Amir Syamsuddin telah dua kali memberikan remisi kepada para narapidana kasus korupsi. Pada hari raya Idul Fitri 2014, memberikan remisi kepada 235 narapidana kasus korupsi. Surat Edaran ini dapat dinilai sebagai upaya kompromi dan belas kasihan kepada koruptor dan jauh dari semangat pemberantasan korupsi.

Keluarnya Surat Edaran tersebut dihubungkan dengan peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Tanjung Gusta, Medan pada 11 Juli 2013. Tetapi sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali, karena peristiwa di Tanjung Gusta dengan terbitnya Surat Edaran hanya berselang satu hari. Meski Amir berdalih dengan menyatakan bahwa kerusuhan di LP Tanjung Gusta tidak semata-mata terputusnya aliran listrik dan air. “Ini tentang penerapan PP 99 Tahun 2012,” kata Amir 13 Juli 2013 (sumber).

Perihal ini, politisi senayan Pramono Anung mengatakan bahwa kasus LP Tanjung Gusta tak ada kaitannya dengan PP 99/2012 namun murni karena pengelolaan LP yang tidak profesional. “Tanjung Gusta itu bukan persoalan remisi tapi persoalan mengenai manajemen lembaga permasyarakatan yang amburadul,” tegasnya.Sedangkan Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Thohari menyatakan, SE Menkum HAM tersebut dinilai bertentangan secara diametral dengan PP No. 99/2012 tentang pengetatan pemberian remisi. Menurutnya, PP 99/2012 bersemangat salah satunya terkait sikap antikorupsi, namun sebaliknya, SE Menkum HAM justru bersemangat untuk kompromi dan belas kasihan pada koruptor (sumber).

Anehnya, Amir Syamsuddin mengakui ada kekeliruan dalam penerbitan PP 99/ 2012 "PP 99/2012 ini keluar tidak terlepas dari serangan media, betapa katanya terjadi obral remisi para koruptor. Kalau saya mau jujur, saya akui lahirnya PP 99/2012 adalah semangat saya paling keliru selama masa jabatan saya," ujar Amir, 28 Agustus 2014. Amirmengungkapkan, sebenci apa pun masyarakat terhadap tindakan korupsi, Kementerian Hukum dan HAM seharusnya bisa membuat para koruptor sadar dan menjadi orang baik. "Seharusnya, kami tidak punya hak menghukum orang dua kali," kata dia. (sumber).

YUSRIL IHZA MAHENDRA
Pada 13 Juni 2013, mantan MenkumHAMYusril Ihza Mahendra bertindak sebagai kuasa hukum para koruptor yang mengajukan gugatan uji materi terhadap PP 99/2012 ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal yang diuji antara lain Pasal 34 ayat (1) huruf (a) dan (b) PP 99/2012. Permohonan atas nama Rebino dan Jumanto. Rebino terpidana kasus korupsi kasus saluran udara tegangan tinggi (SUTET) yang divonis empat tahun penjara. Sedang Jumanto terpidana korupsi program sosial penanggulangan sosial ekonomi masyarakat di Probolinggo, dia divonis enam tahun penjara. Didukung puluhan orang narapidana yang juga minta bantuan kepada Yusril Ihza Mahendra supaya ada pengujian terhadap  Peraturan Pemerintah tersebut.

Atas gugatan tersebut MA telah memberi putusan MAnomor 51 P/HUM/2013. Point-poin pertimbangan MA antara lain : (1) keberadaan PP 99/2012 mencerminkan nilai keadilan. Perbedaan perlakukan merupakan konsekuensi etis; (2) PP 99/2012 menunjukan adanya konsistensi spirit penanggulangan kejahatan berat yang bersifat Extra Ordinary Crimes, agar kejahatan tersebut tidak sampai meruntuhkan tatanan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia; (3) antara undang-undang dan PP 99/2012 tidak terdapat “irrelevansi ideolistik Hukum” didalamnya, dan tidak pula terdapat pelanggaran terhadap asas “Kewerdaan/ penjenjangan” peraturan perundang-undangan;dan (4) PP 99/2012 tidak bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011. Karena keberadaan PP 99/2012 merupakan perintah Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995.

Dalam waktu yang bersamaan atau sebelumnya pada 22 Mei 2013, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meneruskan aspirasi sebanyak 109 narapidana korupsi yang keberatan dengan PP 99/2012. Menurut Priyo Budi Santoso, surat yang dikirim itu merupakan permohonan narapidana yang disampaikan ke DPR pada tanggal 11 Februari 2013. Perwakilan narapidana yang merasa dirugikan atas Pasal 34A PP 99/ 2012. Adapun pelapor yang dikatakan sebagai perwakilan narapidana adalah mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin, Soetejo Yuwono, Muchtar Muhammad, Jumanto, Abdul Syukur Ganny, Haposan Hutagalung, dan Abdul Hamid. Dari peristiwa tuntutan 109 para koruptor inilah yang menginsipirasi Yusril melakukan uji materi PP 99/2012 ke MA.

YASONNA HAMONANGAN LAOLY

Kini, MenkumHAM Yasonna Hamonangan Laoly kembali mempersoalkan PP 99/2012. Hanya kemudian MenkumHAM Loly membiaskan topik wacana dari pengetatan persyaratan pemberian remisi menjadi isyu pelarangan pemberian remisi bagi koruptor. Padahal pokok yang dipermasalahkan adalah (khususnya) Pasal 34A PP 99/2012. Dengan menyatakan bahwa PP itu sangat diskriminatif. Kalau memang kita sepakat terpidana korupsi tidak mendapatkan remisi, robohkan saja undang-undangnya,” imbuh Yasonna (sumber).

Sebagai penutup, saya ingin memberi catatan. Pertama, masalah remisi kepada koruptor selalu menghantui kebijakan MenkumHAM sejak Patrialis Akbar sampai saat ini. Dengan menggunakan pelbagai dalil yang jungkir balik (mantan) MenkumHAM hendak mematahkan aturan hukum yang telah dibuatnya sendiri. Kedua, semua alasan-alasan hukum yang diajukan oleh (mantan) MenkumHAM telah terbantahkan oleh putusan Mahkamah Agung yang punya wewenang memberi tafsir atas produk perundang-undangan. Jadi (tetap) mempersoalkan persyaratan ketat pemberian remisi dalam pasal a quo, sama sekali tidak beralasan hukum; Ketiga, obyek yang dipermasalahkan yakni Pasal 34A PP 99/2012, tidak saja diperuntukan bagi terpidana korupsi tetapi juga bagi terpidana terorisme, narkotika dan kejahatan HAM yang berat lainnya. Namun intonasinya lebih dititikberatkan kepada terpidana korupsi. Mengapa hanya para koruptor saja yang dibela? Mengapa tidak membela juga napi kasus terorisme yang juga berhak menerima remisi. Intonasi hanya pada napi koruptor memunculkan kecurigaan bahwa MenkumHAM memang benar (hanya) membela koruptor.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun