[caption id="attachment_385384" align="aligncenter" width="560" caption="Jokowi di Konfrensi APEC (Kompas.com)"][/caption]
Sudah tidak terhitung lagi, banyaknya ucapan dan tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden Jokowi hingga saat ini. Saya menggunakan istilah penghinaan sebab frasa tersebut yang tercantum dalam KUHP. Dalam KUHP terdapat padanan istilah penghinaan dalam katagori: menista, memfitnah, dan mencemarkan. Pada pokoknya penghinaan memiliki pengertian perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan seseorang. Atau jika merujuk pada Pasal 310 KUHP, unsur-unsur penghinaan atau pencemaran nama baik: (1) dilakukan dengan sengaja dengan maksud agar diketahui umum (tersiar); (2) bersifat menuduh yang tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan itu; dan (3) mengakibatkan rusaknya kehormatan atau nama baik seseorang.
Pertanyaannya, apakah penghinaan terhadap Presiden (insulting the president)dapat dikenakan sanksi hukum? Jawabnya: Tidak !. Sejak tanggal 4 Desember 2006, perbuatan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.Putusan yang menghapus Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Artinya sejak tanggal itu, seseorang yang menghina Presiden SBY dan Presiden Jokowi (saat ini) tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Maksud sanksi hukum adalah sanksi pidana penjara atau pidana denda.
Memang, setelah itu pemerintah lewat Kementrian Hukum dan HAM, mengusulkan perubahan KUHP dengan memasukan pasal 265 yang berbunyi “setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta”. Namun, sampai hari ini status ketentuan hukum tersebut masih berupa draft undang-undang. Belum disahkan oleh DPR dan belum diundangkan.
Tetapi, masyarakat umum kadang tergelincir dan tidak dapat membedakan Jokowi sebagai individu dan Jokowi sebagai Presiden. Misalnya tuduhan FPI yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi murtad. Karena ada kehendak Jokowi sebagai Presiden memberi ucapan selamat hari Natal kepada kaum nasrani. Hal ini berkaitan dengan Jokowi sebagai Presiden yang akan memberi ucapan tersebut. Meskipun hinaan atau tuduhan FPI tersebut dapat dikatagorikan sebagai penghinaan terhadap Presiden Jokowi, FPI tidak dapat dikenakan sanksi hukum.
Ada juga yang mengatakan Presiden Jokowi adalah PKI. Harus dilihat konteksnya. Ketika penuduh mengkaitkan hinaan itu misalnya atas kebijakan Presiden memberi grasi atau rehabilitasi pada tahanan politik PKI – seperti yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid – jelas tuduhan itu diarahkan kepada Jokowi sebagai Presiden. Namun, jika tuduhan atau hinaan itu dikaitkan dengan asal-usul keluarga Jokowi, berarti diarahkan kepada Jokowi sebagai individu bukan sebagai Presiden. Sebab Presiden sebagai pejabat negara tidak memiliki asal-usul keluarga. Jika demikian, maka penuduh dapat dikenakan pasal-pasal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik (Pasal 310 dan 311 KUHP). Atau kalau disiarkan lewat media elektronik terjerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Hanya Pasal 310, Pasal 311 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE termasuk delik aduan. Telah diputuskan oleh MK lewat putusan nomor 50/PUU-VI/2008. Perbuatan tersebut dapat diproses hukum jika ada pengaduan (laporan) dari korban. Bahasa MK “mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut”.Artinya hanya korban secara subyektif yang dapat menilai apakah perbuatan tersebut dianggap mencemarkan nama baiknya atau tidak (defamation). Orang lain termasuk aparat penegak hukum tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Selama korban tidak melaporkan atau mencabut laporannya, perbuatan tersebut dianggap tidak ada.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Arsyad (MA)? Bukankah Jokowi sudah memaafkan dan mencabut laporannya di kepolisian. Benar MA tidak dapat lagi dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Tetapi yang patut diingat bahwa MA terkena pasal berlapis. Selain menyangkut perbuatan pencemaran nama baik Jokowi – yang sudah dicabut itu, MA Juga terkena perbuatan yang berkaitan dengan pornografi (kesusilaan). Terjerat Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 UU ITE. Perbuatan ini masuk dalam delik biasa. Aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Jokowi secara individu memaafkan MA dalam perbuatan pencemaran nama baik. Namun Jokowi tidak dapat menghentikan perkara yang berkaitan dengan tindak pidana pornografi yang bukan delik aduan.
Memang sepatutnya, Presiden sebagai simbol negara harus mendapat perlindungan hukum. Namun, beranjak dengan azas legalitas, sejak 4 Desember 2006,Presiden tidak terlindungi lagi dari perbuatan penghinaan. Sementara menghina wakil negara asing (Pasal 134 KUHP), menghina terhadap penguasa dan badan umum (Pasal 207, Pasal 2008 KUHP) dan menghina kepala negara sahabat (pasal 142 KUHP) dapat dikenakan sanksi hukum.
Sebelum MK menghapus pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dalam pemerintahan SBY sudah ada setidaknya 5 orang yang terkena sanksi hukum: Wayan Gendo Suardhana, Bay Harkat Firdaus, Fahrul Rohman, Eggy Sudjana, dan Pandapotan Lubis. Sebagai pesakitan, Eggy Sudjana, dan Pandapotan Lubis menjadi pemohon meminta MK menghapus Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Dan MK mengabulkannya.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H