Tulisan ini sekedar pelengkap dari artikel yang ditulis rekan kompasioner Bambang Setyawan dengan judul Aduh, Kakek 73 Tahun Ditahan Nyuri 1 Kg Kedelai. Bagi rekan-rekan kompasioner lain yang hendak mengetahui kasus posisi dapat dibaca pada artikel tersebut atau dapat juga membaca beritanya di sini. Tulisan ini hanya melengkapi satu bagian dengan pokok bahasan tindak pidana ringan. Tulisan ini juga terstimulasi dari komentar rekan Mike Reyssent di artikel tersebut dengan kutipan “ Seharusnya Undang Undang kita itu diubah. Misalkan harga barang yang dicuri itu dijadikan bahan pertimbangan untuktidak ditahan tapi kerja sosial gitu”.
Saya akan memulainya dengan pasal sangkaan yang dikenakan pada tersangka Ngatmanu. Dalam pemberitaan disebut tersangka Ngatmanu dijerat delik pencurian pasal 362 KUHP. Selain itu saksi korban Hariyanto meminta polisi menjerat tersangka dengan pasal perusakan barang seperti Pasal 406 KUHP. Saya asumsikan saja bahwa tersangka Ngatmanu dikenakan pasal berlapis: Pasal 362 dan Pasal 406 KUHP.
Ketentuan dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp900,-. Tetapi, ketentuan tentang delik pencurian tidak bisa dibaca separuh-separuh sebagaimana secara keseluruhan ada dalam Bab XXII tentang Pencurian. Pasal 362 KUHP terhubung dengan Pasal 364 KUHP. Berikut bunyi lengkap Pasal 364 KUHP “ Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.
Jika dibaca apa adanya, nilai uang yang tertera dalam pasal tersebut “dua puluh lima rupiah” dan denda “dua ratus lima puluh rupiah” belum ada penyesuaian sejak tahun 1960. Oleh karena itu Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Harga barang yang dicuri yang berbunyi “dua puluh lima rupiah” dibaca menjadi (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Baik mari kita uji kasus ini. Dalam pemberitaan dinyatakan bahwa tersangka Ngatmanu mencuri kedelai bahan baku pembuat tahu sebanyak 2 kilogram yang nilainya Rp 22.000,-. Artinya harga barang yang dicuri tidak lebih dariRp 2.500.000,- maka terpenuhilah (salah satu) unsur dalam Pasal 364 KUHP sebagai delik pencurian ringan.
Sekarang kita lihat Pasal 406 KUHP (pasal pesanan saksi korban Hariyantokepada polisi). Pasal 406 sebagai delik perusakan barang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Seperti juga delik pencurian di atas, delik inipun harus dibaca utuh sebagai satu kesatuan dalam Bab XXVII. Terhubung dengan Pasal 407. Bunyi lengkap Pasal 407 KUHP “Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 406, jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”. Berdasarkan Perma 2/ 2012, nilai barang yang berbunyi “dua puluh lima rupiah” dibaca menjadi (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Tidak jelas dalam pemberitaan, barang apa yang dirusak oleh tersangka Ngatmanu. Saya berasumsi saja, barang yang dimaksud sejenis baskom wadah kedelai bahan baku pembuat tahu sebanyak 2 kilogram. Saya kira wadah sejenis baskom, di pasaran harganya tidak ada yang melebihi Rp 2.500.000,- kecuali wadah itu terbuat dari logam mulia. Dengan pikiran waras bahwa harga barang yang dirusak tidak lebih Rp 2.500. 000,- maka terpenuhilah (salah satu) unsur dalam Pasal 407 KUHP.
Dengan begitu tersangka Ngatmanu yang dijerat Pasal 364 dan Pasal 407 KUHP dikatagorikan sebagai perbuatan tindak pidana ringan (tipiring). Ketentuan tentang tipiring dilihat dari ancaman pidana paling lama tiga bulan. Sebagaimana disebut dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP. Dipertegas oleh Perma 2/ 2012, perbuatan yang dijerat dengan Pasal 364 dan Pasal 407 termasuk katagori tipiring.
Apa konsekwensi dari perbuatan tipiring? Ada dua: pertama, proses pengadilan yang akan memeriksa perkara dan kedua tentang penahanan.
Proses pengadilan kasus-kasus tipiring menurut Perma 2/2012 dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut : (1) ketua pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara (tidak lebih dari Rp 2.500.000,-); (2) Ketua Pengadilan segera menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan acara pemeriksaan cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP; dan (3) Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, ketua pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan. Artinya, terdakwa Ngatmanu akan disidang secara cepat dengan dipimpin oleh hakim tunggal dan dia tidak ditahan selama proses persidangan berlangsung.
Konsekwensi kedua tentang penahanan. Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap pelaku tipiring yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan tidak dapat dilakukan penahanan. Ketentuan pasal 21 ayat (4) ini disebut syarat obyektif penahanan.
Lalu apa yang terjadi pada tersangka Ngatmanu? Sebelum Ramadhan tahun lalu, Polsek Sukodono, Lumajang telah menahan tersangka Ngatmanu selama seminggu. Dia kemudian mendapat penangguhan penahanan dan dilepas. Tetapi kemudian jaksa penuntut kembali menahan Ngatmanu sejak 9 Maret 2015 atau sudah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2B Lumajang (sumber). Hingga hari ini tersangka Ngatmanu telah ditahan oleh jaksa selama 11 hari.
Andai saja, Ngatmanu seorang pejabat dan mampu membayar pengacara kondang, apa yang dialami oleh dirinya sudah dapat digugat ke praperdilan. Jelas-jelas pihak penyidik kepolisian dan penuntut kejaksaan telah bertindak sewenang-wenang melakukan penahanan kepada tersangka/terdakwa perbuatan tipiring. Dan melanggar syarat obyektif Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sayangnya Ngatmanu yang berusia 73 tahun itu hanya seorang penarik becak dan sesekali mencari rumput untuk makanan sapi.
Sebagai catatan penutup, Mahkamah Agung tengah berupaya memperbaiki sistem peradilan yang memungkinkan kasus-kasus kecil, seperti pencurian sandal, piring dan kasus kecil lainnya tidak perlu disidangkan di pengadilan.Upaya itu disiasati melalui revisi UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang MA yang saat ini sedang digodok di Komisi III DPR RI.Dengan aturan baru tersebut, dimungkinkan adanya mediasi dalam kasus pidana, sesuatu yang selama ini hanya dikenal dalam kasus perdata.Dasar pertimbangan pembuatan aturan baru itu adalah, aspek keadilan sosial yang harus jadi pertimbangan hakim dalam menyidangkan perkara. Kalau kasus kecil dinilai secara filosofis dan justifikasi kurang layak disidangkan, maka hakim akan menyarankan mediasi. Hal ini disebut juga penal mediasi, demi hukum dan keadilan progresif dan restoratif. Sayangnya, upaya ini tidak seiring sejalan dengan aparat penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Pada prakteknya kasus-kasus tipiring dipaksakan untuk segera disidangkan. Dan bahkan menabrak aturan hukum dengan melakukan penahanan sewenang-wenang seperti yang dialami mbah Ngatmanu.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H