Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK Pernah Salah

10 Februari 2015   22:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua lembaga negara pernah melakukan kesalahan, tak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah dalam menerapkan hukum. Salah dalam mejalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Hanya tudingan kesalahan yang kerap ditujukan kepada KPK, kebanyakan berasal dari pikiran subyektif dan sarat kepentingan. Terutama yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang dirugikan kepentingannya, khususnya para kuasa hukum tersangka.

Ada satu kesalahan KPK yang luput dari pengamatan, yakni pada peristiwa penangkapan Mulyana Wirakusumah pada tahun 2005. Kesalahannya: KPK memperoleh alat bukti berupa rekaman CCTV (Closed Circuit Television) dengan teknik penjebakan.

Poinnya bukan pada peristiwa tertangkap tangan tapi pada keabsahan alat bukti CCTV yang didapat dari teknik penjebakan. Sedangkan UU KPK dan UU Tipikor tidak memberi wewenang kepada KPK untuk melakukan penjebakan.

Pengakuan tidak adanya regulasi yang memberi kewenangan itu pada KPK, dikemukakan oleh Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sudjanarko. Dinyatakan saat tim UNCAC(United Nations Convention Against Corruption)bertandang ke kantor KPK pada Maret 2011.

Dalam rangka melakukan review terhadap implementasi UNCAC di Indonesia. Diakui bahwa teknik penjebakan (entrapment) yang tertuang dalam Aricle 350 konvensi UNCAC belum diakomodir dalam regulasi di Indonesia. Kalau di kita kan sekarang (jebakan, red) hanya boleh terkait kasus drugs atau narkotik, tapi korupsi belum. Padahal, Konvensi UNCAC memperbolehkan hal itu,” kata Sudjanarko(sumber).

Sudjanarko secara tidak langsung mengatakan bahwa teknik penjebakan hanya ada dalam kasus narkotika. Benar, Pasal 55 UU Psikotropika dan Pasal 75 UU Narkotika, memberi kewenangan kepada penyidik melakukan teknik penjebakan. Dimana penyidik diberi kewenangan “melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (videPasal 75 huruf j UU Narkotika).

Tetapi kewenangan penyidik KPK sebagaimana tertulis dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK, dari 10 (sepuluh) kewenangan itu tidak satupun adanya kewenangan untuk melakukan teknik penjebakan. Dengan demikian, apa yang terjadi pada kasus Mulyana Wirakusumah merupakan tindakan yang tidak sah dan melawan hukum.

Sekilas mundur kebelakang. Dalam operasi KPK, pada tanggal 7 April 2005, Mulyana Wirakusumahtertangkap tangan di lantai dua, kamar 609, Hotel Ibis Jakarta.

Ketika itu, Mulyana menjabat Komisioner KPU ditangkap oleh KPK karena memberikan uang kepada Khairiansyah Salman. Mulyana memberikan uang kepada Khairiansyah agar auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)itubersedia mengubah hasil audit yang dilakukan oleh BPK atas proyek pengadaan barang/jasa di KPUtahun 2004.

Pemberian uang yang dilakukan oleh Mulyana terhadap Khairiansyah tersebut pun direkam oleh kamera CCTV yang telah dipersiapkan oleh KPK sebelumnya. KPK memperoleh rekaman CCTV atas penyerahan uang yang dilakukan oleh Mulyana terhadap Khairiansyah setelah bekerjasama terlebih dahulu dengan Khairiansyah.

Bentuk kerjasama ini yang dimaksud dengan teknik penjebakan. Oleh karenanya, rekaman CCTV yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan pada kasus Mulyana merupakan alat bukti yang tidak sah dan seharusnya tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim(admissible).Mulyana akhirnya divonis dua tahun tujuh bulan penjara.

Belajar dari peristiwa itu, apakah diperlukan revisi UU KPK untuk memasukan kewenangan penyidik KPK melakukan penjebakan sebagaimana Aricle 350 konvensi UNCAC? Agar peristiwa itu tidak terulang dikemudian hari, dan KPK dianggap bersalah telah melampaui kewenangannya. Tidak mudah, menggunakan teknik penjebakan dalam kasus suap/ gratifikasi, bila disandingkan dan dibandingkan dalam kasus narkotika.

Alasan pertama, pada tindak pidana narkotika teknik penjebakan dimungkinkan untuk dilakukan. Karena sebelum dilakukan teknik penjebakan tersebut, penjual/pengedar memang telah menjual narkotika kepada pihak lain, sebelum akhirnya menjual narkotika kepada penyidik yang​​melakukan penjebakan dengan menyamar sebagai pembeli. Artinya, sebelum penyidik melakukan penjebakan, tindak pidana tersebut telah selesai secara sempurna.

Pada kasus Mulyana, ketika KPK bekerjasama dengan Khairiansyah untuk melakukan penjebakan, Mulyana belum menyerahkan uang yang dijanjikan kepada Khairiansyah. Padahal syarat selesainya tindak pidana suap adalah penyuap telah menyerahkan uang yang dijanjikan kepada orang yang disuap. Sehingga tindak pidana suap yang didugakan kepada Mulyana ketika KPK bekerjasama dengan Khairiansyah belum ada. Belum terjadi peristiwa tindak pidana penyuapan sebelumnya yang menjadi dasar digunakannya teknik penjebakan.

Alasan kedua, teknik penjebakan hanya dapat dilakukan oleh seorang penyidik dan dengan surat perintah tertulis dari pimpinan atau pejabat yang ditunjuk. Pada teknik penjebakan yang dilakukan oleh KPK terhadap Mulyana, Khairiansyah bukan agen penyidik yang menyamar yang diberi tugas berdasarkan perintah tertulis dari atasan.

Khairiansyah adalah seorang auditor BPK dan bukan penyidik. Lantas, apa kewenangan Khairiansyah untuk melakukan penjebakan. Sebagaimana Article 350 konvensi UNCAC mensyaratkan adanya agen yang menyamar (undercover agents are permitted to create opportunities).

Namun demikian harus dibedakan antara penjebakan (entrapment) dan tertangkap tangan (redhanded). Untuk banyak kasus penangkapan, KPK melakukan operasi tangkap tangan. Tapi untuk kasus Mulyana, operasi tangkap tangan yang dilakukan menggunakan teknik penjebakan yang tidak ada dasar hukumnya.

Bila publik luput memperhatikan hal tersebut, ada kemungkinan KPK akan melakukan hal serupa dikemudian hari. Khususnya alat bukti yang diperoleh KPK untuk menjerat tersangka/ terdakwa diperoleh dari penjebakan.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun